5 Mitos HIV/AIDS yang Dipercaya Banyak Orang, Kamu Salah Satunya?

HIV (human immunodeficiency virus) masih jadi hal yang menakutkan di kalangan masyarakat. Di Indonesia sendiri, HIV/AIDS termasuk penyakit yang cukup populer di kalangan masyarakat. Sayangnya meski namanya gak asing, pengetahuan soal penyakit ini masih sangat rendah. Dilansir Cleveland Clinic, HIV sebetulnya adalah virus yang menginfeksi dan menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh.
Di kalangan masyarakat, HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit kotor dan sederet konotasi negatif lainnya. Akibatnya gak sedikit pasien yang mendapatkan perlakuan buruk. Mulai dari dipandang rendah, dijauhi, bahkan dikucilkan. Gak hanya perlakuan yang buruk, minimnya pengetahuan soal HIV/AIDS membuat banyak mitos berkembang dengan mudah. Mitos seperti apa yang sering dikaitkan dengan HIV/AIDS?
1. Mitos: HIV dan AIDS adalah penyakit yang sama

Mitos pertama yang dipercaya banyak orang adalah bahwa HIV dan AIDS adalah dua penyakit yang sama. Nyatanya meski keduanya punya keterikatan satu sama lain, HIV dan AIDS adalah dua hal yang berbeda. Dilansir Cleveland Clinic, human immunodeficiency virus atau yang juga dikenal dengan HIV sebetulnya adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Ketika memasuki tubuh, virus ini akan menyerang sel darah putih yang juga dikenal dengan nama sel T CD4 yang tugas utamanya adalah melindungi tubuh dari berbagai serangan penyakit.
Sedangkan acquired immunodeficiency syndrome atau AIDS merupakan kondisi tahap akhir dari HIV. Biasanya hal ini terjadi pada penderita HIV yang gak mendapatkan perawatan memadai selama 8 hingga 10 tahun. Seorang penderita HIV bisa dikatakan terdiagnosis AIDS ketika sel T CD4 di dalam tubuhnya turun di bawah 200 sel/mm3 atau mereka mengalami penyakit serius lainnya. Kabar baiknya, gak semua penderita HIV juga menderita AIDS. Namun mereka yang menderita AIDS, pasti juga terinfeksi HIV.
2. Mitos: Bersentuhan dengan penderita HIV akan membuat kita tertular

Salah satu hal yang ditakutkan banyak orang ketika berdekatan dengan penderita HIV adalah, mereka takut tertular. Saking takutnya, gak sedikit orang yang menolak mentah-mentah untuk melakukan interaksi sosial dengan penderita HIV. Dilansir Mayo Clinic, benar bahwa penyakit ini menular. Namun kamu perlu mengerti bahwa HIV bukanlah penyakit yang akan menular lewat udara atau sentuhan biasa.
Kamu gak akan tertular HIV jika hanya berjabat tangan, berpelukan, atau bicara dengan penderita HIV. Virus ini menular melalui cairan tubuh seperti darah, air mani, cairan vagina, ASI, dan cairan dubur dari orang yang terinfeksi. Selama gak ada cairan tubuh penderita HIV yang masuk ke tubuh kamu, maka kamu gak akan ketularan. Cara penularan yang paling umum biasanya melalui hubungan seksual tanpa pengaman dan melalui jarum suntik yang digunakan bersama untuk penggunaan obat-obatan terlarang.
Selain dua cara ini, HIV juga bisa menular melalui transfusi darah. Namun kasus seperti ini cukup jarang terjadi, mengingat rumah sakit serta bank darah pasti sudah mengecek dan memastikan bahwa darah yang digunakan aman dan steril. Terakhir, HIV bisa menular dari proses kehamilan, melahirkan, dan menyusui. Seorang ibu yang menderita HIV bisa saja menularkan virus ke janin yang ada di kandungannya. Kabar baiknya, saat ini risiko janin tertular HIV dari ibu bisa dikurangi dengan mengonsumsi obat-obatan yang diresepkan oleh dokter dan perawatan lainnya.
3. Mitos: Penyakit HIV bisa dideteksi dari penampilan

Salah satu mitos lain yang sering kali dipercaya adalah kita bisa menilai seseorang terkena HIV atau gak hanya dari penampilannya aja. Faktanya, seseorang bisa mengidap HIV selama bertahun-tahun tanpa ada gejala apa pun. Jika ada, biasanya gejala yang muncul justru mirip gejala flu biasa. Penderita akan mengalami demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, munculnya ruam di kulit, sakit tenggorokan dan sariawan yang parah, pembengkakan kelenjar getah bening, diare, batuk, penurunan berat badan, hingga berkeringat malam. Gejala ini muncul antara 2 hingga 4 minggu setelah tertular, dan meski gejalanya tergolong ringan, justru di saat awal seperti inilah jumlah virus sedang meningkat dengan pesat.
Dilansir CDC, satu-satunya cara untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi HIV atau gak, adalah dengan melakukan tes di rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Tes HIV sendiri terdiri dari beberapa jenis, yaitu tes antibodi, tes antigen, atau uji asam nukleat alias NAT. Bagi beberapa orang, tes HIV mungkin perlu dilakukan dua kali karena tubuh kita memerlukan waktu untuk mengembangkan antibodi. Biasanya berkisar antara 10 sampai 90 hari, tergantung pada jenis tes yang kamu pilih.
4. Mitos: HIV hanya menyerang orang dengan orientasi seksual tertentu

Banyak orang beranggapan bahwa HIV hanya bisa menginfeksi golongan tertentu aja, misalnya kaum LGBT. Well, sama seperti kebanyakan penyakit, HIV juga gak pandang bulu dalam mencari korban. Gak peduli usia, gender, ras, atau etnis, semua orang bisa terkena HIV. Dilansir Women's Health, seorang pria yang melakukan hubungan seksual dengan pria memang memiliki risiko lebih tinggi terkena HIV. Meski begitu, mayoritas penderita tertular melalui hubungan heteroseksual antara laki-laki dan perempuan.
Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan juga lebih mudah tertular HIV. Ini karena air mani memiliki konsentrasi virus yang lebih tinggi, dan ketika memasuki tubuh perempuan, air mani ini akan bertahan selama beberapa hari di vagina. Selain itu faktor lain seperti diskriminasi gender, budaya, dan faktor ekonomi juga membuat perempuan cenderung lebih rentan terinfeksi HIV.
Perempuan juga lebih rentan mengalami kekerasan seksual, pemaksaan hubungan seksual, hingga pernikahan dini. Lebih parahnya lagi, gak sedikit perempuan yang sering dimanfaatkan oleh laki-laki. Laki-laki yang sudah terinfeksi HIV menularkan virus tersebut melalui hubungan seksual tanpa memberi tahu perempuan mengenai status kesehatannya tersebut.
5. Mitos: Orang yang menderita HIV gak bisa hidup lama

Banyak orang beranggapan jika seseorang terinfeksi HIV, maka hidupnya akan segera berakhir. Itu mungkin benar, jika kamu hidup di tahun 1980 hingga awal 1990, di mana pengobatan belum sebaik sekarang. Namun di masa kini, orang yang terinfeksi HIV bisa hidup panjang hingga tua. Dilansir Medical News Today, saat ini orang yang terinfeksi HIV bisa melakukan Antiretroviral Therapy (ART) dan meminum obat yang diresepkan dokter secara teratur. Semakin dini perawatan ini dilakukan, maka akan semakin baik.
Antiretroviral Therapy (ART) memang gak bisa menyembuhkan HIV, namun setidaknya Antiretroviral Therapy (ART) bisa menekan aktivitas virus, meningkatkan kekebalan tubuh, hingga mengurangi kemungkinan penularan terhadap orang lain. Orang yang baru terpapar HIV dan menyadarinya dengan cepat, bisa mencegah perkembangan virus dengan menggunakan Post-Exposure Prophylaxis (PEP). Obat Post-Exposure Prophylaxis (PEP) paling efektif jika diminum sesegera mungkin atau setidaknya kurang dari 72 jam setelah paparan. Jika dilakukan dengan cepat, PEP bahkan bisa mencegah infeksi HIV. Sebaliknya, orang yang gak mendapatkan perawatan hingga HIV-nya masuk ke stadium 3 hanya memiliki harapan hidup selama kurang lebih 3 tahun.
Topik pembicaraan mengenai HIV sering dianggap sebagai hal yang tabu di kalangan masyarakat. Seolah-olah kita akan tertular hanya dengan membahasnya. Benar bahwa HIV itu menular, dan karena belum ada obatnya, orang yang menderita HIV harus melakukan perawatan seumur hidup. Namun justru inilah tepatnya kenapa edukasi mengenai HIV jadi lebih penting. Semakin banyak yang kita tahu mengenai penyakit ini, akan semakin baik. Bukan hanya bagi penderitanya itu sendiri, tapi juga baik untuk masyarakat luas yang masih awam mengenai penyakit satu ini.