Studi: Trauma Emosional Berkepanjangan Picu Kerusakan Otak

Kinerja dan fungsi otak menurun akibat trauma emosional

Orang-orang yang mengalami trauma emosional atau post-traumatic stress disorder (PTSD) biasanya menunjukkan bekas luka emosional selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan seumur hidupnya.

Mereka sering kali menunjukkan rasa takut dan stres yang tinggi terhadap situasi atau peristiwa. Mungkin kamu bertanya-tanya, “Apa mungkin trauma emosional menyebabkan kerusakan otak?”

Sebuah penelitian tahun 2016 telah menunjukkan bahwa trauma emosional berkepanjangan akan memengaruhi fungsi otak dalam berbagai cara.

Tiga area otak yang paling terkena dampaknya adalah amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal. Semua area ini berperan dalam mengatur emosi dan merespons rasa takut.

Setelah mengalami trauma emosional berkepanjangan, area-area otak tersebut memiliki kinerja dan fungsi yang berbeda dari sebelumnya.

Ketahui lebih mendalam mengenai dampak trauma emosional berkepanjangan terhadap kerusakan otak yang dijelaskan di bawah ini.

1. Trauma emosional bisa menyebabkan cedera otak

Studi: Trauma Emosional Berkepanjangan Picu Kerusakan Otakilustrasi trauma sebabkan kerusakan jaringan saraf otak (freepik.com/Studio DC)

Trauma emosional dapat menyebabkan serangkaian peristiwa neurobiologis yang memiliki konsekuensi jangka panjang, bahkan dapat mengubah ekspresi gen.

Menurut penelitian dalam jurnal Psychiatriki tahun 2020, paparan terhadap pemicu stres emosional yang berulang tanpa adanya diagnosis telah terbukti menghasilkan peningkatan pembentukan sinapsis dan pertumbuhan dendritik di amigdala basolateral, retraksi dendritik pada hipokampus dan perilaku seperti kecemasan terhadap pemicu tertentu, seperti fobia ruang terbuka.

Artinya trauma emosional memang mengakibatkan cedera atau kerusakan otak. 

Dampak trauma emosional terhadap amigdala

Amigdala merupakan bagian jaringan saraf di otak yang berperan dalam mendeteksi rasa takut. Saraf ini mengenali dan mengumpulkan informasi di sekitar untuk mengidentifikasi ancaman. Ini semua terjadi secara tidak sadar, jauh di dalam otak.

Saat mengalami trauma emosional, amigdala menjadi hiperaktif. Orang dengan trauma emosional sering kali menunjukkan lebih banyak rasa takut terhadap penyebab stres traumatis dibandingkan dengan orang lain.

Seringkali, rangsangan dapat memicu aktivitas berlebihan di amigdala jika dikaitkan dengan peristiwa traumatis pada seseorang. Hal ini juga membuat orang tersebut lebih sulit untuk tenang atau bahkan tidur.

Dampak trauma emosional terhadap hipokampus

Hipokampus adalah bagian dari sistem limbik di otak, sebagian besar bertanggung jawab untuk menyimpan dan mengambil ingatan, sekaligus membedakan antara pengalaman masa lalu dan masa kini.

Penelitian tahun 2019 menunjukkan bahwa pada orang dengan trauma emosional, volume hipokampusnya lebih kecil dibandingkan dengan orang lain, terutama pada bulan ketiga pasca trauma. 

Akibatnya, hipokampus akan memengaruhi kemampuan mengingat beberapa kenangan bagi penyintas trauma.

Dampak trauma emosional terhadap korteks prefrontal

Korteks prefrontal ventromedial adalah bagian otak yang mengatur emosi. Bagian ini sering kali terpengaruh setelah trauma emosional dan menjadi rentan terhadap bagian otak lainnya.

Biasanya, amigdala akan merasakan emosi negatif, seperti ketakutan, dan korteks prefrontal akan bereaksi secara rasional terhadap emosi ini. Namun pasca trauma, penyintasnya tidak dapat berpikir secara rasional dan korteks prefrontal akan kesulitan mengatur rasa takut dan emosi.

Sebuah studi tahun 2015 menemukan bahwa selama stres terjadi pelepasan katekolamin tingkat tinggi sehingga dengan cepat dapat merusak fungsi kognitif top-down dari korteks prefrontal, sekaligus memperkuat respons emosional dan kebiasaan amigdala dan ganglia basal.

Baca Juga: Trauma Masa Kecil Dikaitkan dengan Disfungsi Seksual Perempuan

2. Bisakah otak menyembuhkan dirinya sendiri?

Studi: Trauma Emosional Berkepanjangan Picu Kerusakan Otakilustrasi otak manusia (freepik.com/freepik)

Orang yang pernah mengalami penurunan fungsi otak akibat trauma emosional mungkin bertanya-tanya, bisakah otak menyembuhkan dirinya sendiri?

Jawabannya, bisa.

Otak sangat tangguh dan memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri melalui proses neuroplastisitas. 

Sebuah penelitian tahun 2023 memaparkan bahwa otak memiliki kemampuan bawaan yang dinamakan neuroplastisitas, sehingga mampu merekonstruksi dirinya sendiri setelah cedera otak yang disebabkan oleh trauma.

Fenomena itulah yang menjadi alasan mengapa banyak penyintas cedera otak akibat trauma emosional dapat mengalami pemulihan yang signifikan.

3. Cara menyembuhkan trauma emosional

Studi: Trauma Emosional Berkepanjangan Picu Kerusakan Otakilustrasi pengobatan pascatrauma (freepik.com/atlascompany)

Mengatasi trauma emosional membutuhkan proses yang panjang. Namun, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempercepat pemulihan seperti:

Pengobatan trauma emosional

Salah satu cara mengatasi trauma emosional adalah dengan berbagai jenis pengobatan trauma. Sering kali, psikiater akan meresepkan obat yang memengaruhi neurotransmiter, serotonin atau norepinefrin. Hal ini untuk membantu menyeimbangkan bahan kimia yang terjadi secara alami di otak.

Beberapa pilihan pengobatan yang biasanya direkomendasikan untuk para penyintas, menurut studi tahun 2022, adalah antidepresan, inhibitor monoamine oksidase, antipsikotik, beta-blocker, atau benzodiazepin.

Pengobatan akan tergantung pada tingkat keparahan trauma emosional yang diderita sehingga perlu evaluasi dari dokter.

Terapi trauma emosional

Perawatan umum lainnya untuk membantu para penyintas untuk pulih dari trauma emosional adalah terapi.

Ada banyak jenis terapi yang berbeda, tetapi tujuan utamanya adalah mengubah proses berpikir. Bentuk terapi yang dapat dilakukan seperti:

  • Terapi kognitif: Berfokus pada mengubah emosi negatif yang menyakitkan yang membuatnya terjebak dalam trauma masa lalu.
  • Terapi paparan: Bertujuan melatih seseorang untuk menghadapi situasi dan ingatan yang menakutkan dengan aman.
  • Desensitisasi dan pemrosesan ulang gerakan mata: Terapi ini menggabungkan terapi paparan dengan gerakan mata untuk memproses ingatan traumatis dan mengubah cara seseorang bereaksi.

Kesimpulannya, amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal adalah tiga bagian otak yang paling terkena dampak trauma emosional.

Hal itu dapat membuat penyintas trauma terus-menerus, terutama jika dipicu oleh peristiwa dan situasi yang mengingatkan akan trauma masa lalu.

Mengatasi trauma emosional bisa menjadi proses yang panjang, tetapi sangat bisa untuk dilakukan.

Baca Juga: Cara Mengatasi Trauma pada Anak Sesuai Usia, Orangtua Harus Tahu!

Referensi

Neurobiology of Stress, Januari 2015. The Effects of Stress Exposure on Prefrontal Cortex: Translating Basic Research into Successful Treatments for Post-Traumatic Stress Disorder.
Dialogues in Clinical Neuroscience, Desember 2006. Traumatic stress: effects on the brain.
Cochrane Database of Systematic Reviews, Maret 2022. Pharmacotherapy for post traumatic stress disorder (PTSD).
Biological Psychiatry: Cognitive Neuroscience and Neuroimaging, November 2018. Relationship of Hippocampal Volumes and Posttraumatic Stress Disorder Symptoms Over Early Posttrauma Periods.
Cureus, September 2023. Adaptive Neuroplasticity in Brain Injury Recovery: Strategies and Insights.

Niko Utama Photo Verified Writer Niko Utama

Hi, People usually call me Niko. Medical health is a science that I have studied. Currently I work as a freelance writer, radio announcer and lecturer at a private university in Surabaya.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia R F

Berita Terkini Lainnya