Associate Professor and Chief of the Section of Administration in the Department of Emergency Medicine dari Yale University, Arjun Venkatesh, MD, MBA, MHS., memuji studi pracetak ini.
"Tidak hanya melihat jumlah kematian dan rawat inap seperti studi terdahulu, studi ini melibatkan status vaksinasi dan faktor medis pasien, sekaligus membandingkannya dengan kelompok orang yang serupa," ujar Dr. Arjun yang tak terlibat dalam penelitian tersebut, dilansir Reuters.
Meski begitu, ada beberapa kekurangan studi ini. Pertama, studi ini masih menjalani peer review. Karena mengesampingkan pasien yang menjalani rapid test di rumah, para peneliti mencatat bahwa analisis studi bisa salah menghitung jumlah pasien yang sudah divaksinasi pada gelombang COVID-19 Omicron dan total infeksi keseluruhan.
Selain itu, studi ini tak memperhitungkan perawatan yang diterima pasien, seperti terapi antibodi monoklonal dan antivirus, yang bisa mengurangi risiko rawat inap dan memengaruhi hasil penelitian.
ilustrasi vaksin LSD. (IDN Times/Aditya Pratama)
Salah satu halangan yang dihadapi dunia dalam mengendalikan COVID-19 adalah banyaknya orang yang tak mau divaksinasi COVID-19. Saat Omicron mulai beredar di dunia, orang-orang merasa sedikit lega hingga jemawa karena gejalanya yang disebut-sebut tidak separah VOC COVID-19 lainnya, sehingga tidak merasa perlu divaksinasi.
Jika lulus peer review, studi ini bisa membuktikan bahwa Omicron tidak bisa diremehkan dan harus diwaspadai seperti varian-varian COVID-19 sebelumnya. Salah satunya adalah dengan cara memperluas cakupan vaksinasi COVID-19 sekaligus vaksinasi lanjutannya atau booster.