ilustrasi pandemi COVID-19 (pexels.com/Anna Shvets)
Studi ini mengamati 113 pasien COVID-19 hingga satu tahun setelah mereka pertama kali terinfeksi, bersama dengan 39 pasien kontrol yang sehat. Dalam jangka waktu enam bulan, sebanyak 40 pasien telah mengalami gejala long COVID.
Sampel darah yang diulang menunjukkan perbedaan penting dalam darah mereka, yaitu sekelompok protein menunjukkan bahwa bagian dari sistem kekebalan tubuh yang disebut sistem komplemen tetap aktif lama setelah sistem tersebut seharusnya kembali normal.
Sistem komplemen adalah salah satu sistem imun bawaan yang berperan dalam melindungi tubuh dari sel-sel asing dan juga menjadi jembatan antara sistem imun bawaan dengan sistem imun adaptif.
"Saat kamu terkena infeksi virus atau bakteri, sistem komplemen menjadi aktif dan mengikat virus dan bakteri tersebut lalu menghilangkannya,” kata Onur Boyman, profesor imunologi di Universitas Zurich, Swiss, dan salah satu peneliti studi. Sistem tersebut kemudian kembali ke keadaan istirahatnya, yang mana tugas rutinnya adalah membersihkan tubuh dari sel-sel mati, katanya, mengutip dari CNBC.
Namun, jika sistem komplemen tetap dalam kondisi melawan mikroba setelah virus dan bakteri dimusnahkan, itu akan mulai merusak sel-sel sehat.
“Bisa berupa sel endotel yang melapisi lapisan dalam pembuluh darah, sel darah itu sendiri, dan sel di berbagai organ, seperti otak atau paru-paru,” lanjutnya.
Hasilnya adalah kerusakan jaringan dan gumpalan mikro di dalam darah.
Penelitian sebelumnya telah mendokumentasikan pembekuan darah dan kerusakan jaringan pada penderita long COVID. Akan tetapi, studi baru ini membahas mekanisme molekuler tentang bagaimana hal itu bisa dimulai.
Kerusakan jaringan dan pembekuan darah dapat menyebabkan gejala long COVID yang melumpuhkan, termasuk intoleransi terhadap olahraga.
Selama berolahraga, jantung memompa lebih banyak darah dan menggerakkan sel-sel endotel di dalam pembuluh darah, yang ada di seluruh tubuh.
“Pada orang sehat, sel endotel normal bisa menerima perubahan ini, tetapi sel endotel yang meradang pada pasien long COVID tidak bisa,” kata Boyman.
Sementara itu, gumpalan mikro di dalam darah dikatakan dapat mengurangi tingkat oksigen dan nutrisi yang dikirim ke berbagai organ. Jika otak, misalnya, tidak mendapat cukup oksigen, maka bisa terjadi masalah pada daya ingat, kabut otak, dan kelelahan.
Meski demikian, studi ini tidak menjelaskan kenapa bagian sistem kekebalan tubuh ini tetap dalam kondisi siaga tinggi pada beberapa orang, sementara yang lain bisa pulih. Namun, temuan ini sejalan dengan beberapa hipotesis utama tentang akar penyebab kondisi tersebut.
Dengan temuan studi ini, diharapkan perusahaan diagnostik dapat mengembangkan tes untuk protein yang terlibat dalam disregulasi sistem komplemen.