Dalam media briefing pada Rabu (26/10) di Plataran Menteng, Jakarta Pusat, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero), Honesti Basyir, menceritakan bagaimana asal-usul ide mengembangkan IndoVac. Menurutnya, pandemik COVID-19 mengajarkan pentingnya kolaborasi pemangku kepentingan.
"300 miliar investasi untuk IndoVac sangat berisiko gagal sehingga dilakukan dengan sangat berhati-hati. Semua dana berasal dari Bio Farma, bukan pemerintah," kata Honesti.
Masuk pada Maret 2020, Honesti mengakui bahwa vaksin bukanlah hal yang pertama dipikirkan, melainkan pengobatan. Mendekati pertengahan 2020, Honesti dan tim memutuskan untuk segera berkomunikasi dengan pihak luar yang melakukan penelitian vaksin COVID-19. Salah satunya saat itu adalah Sinovac dari China.
"Kita diskusi dengan Sinovac dibantu Pak Erick [Thohir] (Menteri BUMN) dan Bu Retno [Marsudi] (Menteri Luar Negeri) ... Pemerintah amat suportif dengan Bio Farma. Ada transfer teknologi dan ilmu pengetahuan," ia bercerita.
Presiden Jokowi menunjukkan vaksin IndoVac buatan Bio Farma. (Dok. Bio Farma)
Pertahanan utama melawan pandemik COVID-19 adalah vaksin. Jika ditanya "Apakah Bio Farma bisa bikin vaksin sendiri?", Honesti mengatakan bahwa dengan pengalaman lebih dari 100 tahun, Bio Farma dijamin sanggup.
Untuk mengembangkan vaksinnya sendiri, Bio Farma kemudian bergandengan tangan dengan Baylor College of Medicine (BCM) di Amerika Serikat (AS).
"Kita bertemu dengan Baylor di AS, sehingga kita dapat seed dari mereka," tambah Honesti.
Tidak hanya soal keamanan, kualitas, dan efikasi, IndoVac juga harus halal. Oleh karena itu, demi menaati UU Jaminan Produk Halal (JPH) no. 33 tahun 2014, Bio Farma meminta seed untuk IndoVac tidak berbasis hewan.