DBD dan COVID-19 memang memiliki gejala awal yang hampir mirip, yaitu demam dan batuk-batuk.
Menurut studi berjudul “Covert COVID-19 and false-positive dengue serology in Singapore” dalam jurnal The Lancet yang terbit pada Maret 2020 lalu, disebutkan bahwa DBD dan COVID-19 menjadi sulit dibedakan karena keduanya punya ciri-ciri gejala dan hasil laboratorium yang mirip.
Namun begitu, menurut ahli infeksi dan pedriati tropik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dr. Mulya Rahma Karyanti, SpA(K), seperti melansir laman resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mengungkapkan perbedaan mendasar dari kedua penyakit ini.
Katanya, virus SARS-CoV-2 lebih menyerang ke sistem saluran napas atas, sementara pada DBD yang paling tampak adalah demam serta pendarahan kulit seperti mimisan, gusi berdarah, atau memar. Pasien DBD biasanya mengalami panas tinggi yang mendadak, terkadang disertai wajah memerah, nyeri kepala, nyeri di belakang mata, muntah-muntah, dan biasanya disertai pendarahan.
"Itu yang tidak ada pada COVID-19; pendarahan spontan, mimisan, gusi berdarah, atau timbul bintik-bintik merah di kulit, itu bisa terjadi," ujar dr. Mulya.
Ia juga menambahkan, apabila panas tubuh pada penderita DBD tidak juga kunjung turun di hari ketiga, maka diharuskan untuk lebih banyak meminum air. Karena, panas tinggi menunjukkan infeksi virus tinggi di dalam tubuh penderita. Pada fase ini, suhu badan bisa mencapai 40 derajat.
"Jadi, kalau hari ketiga dia kurang minum, akhirnya pasti ada gejala-gejala tanda bahaya, warning sign kita sebutnya," terang dr. Mulya.
Kalau demam 2-3 hari tidak membaik, dia sangat menyarankan untuk segera ke rumah sakit.