Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Acara "Deklarasi Aksi Kolaborasi untuk Meningkatkan Akses Terhadap Layanan Kesehatan dan Alat Bantu Penglihatan yang Merata dan Terjangkau" di Bandung, Jawa Barat pada Kamis (09/10/2025).
Acara "Deklarasi Aksi Kolaborasi untuk Meningkatkan Akses Terhadap Layanan Kesehatan dan Alat Bantu Penglihatan yang Merata dan Terjangkau" di Bandung, Jawa Barat pada Kamis (09/10/2025) (IDN Times/Misrohatun)

Intinya sih...

  • Prevalensi kebutaan di Indonesia mencapai 3 persen, dengan kelainan refraksi sebagai penyebab utama.

  • Pemerintah membuat Peta Jalan Upaya Kesehatan Penglihatan 2025-2030 untuk memperluas akses layanan kesehatan mata dan kacamata yang terjangkau.

  • Kolaborasi multipihak dilakukan untuk menyelaraskan kebijakan, memperluas layanan, dan memastikan kelompok rentan memperoleh manfaat setara.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia. Rapid Assessment of Avoidable Blindness yang dilakukan pada 2014-2016 menemukan bahwa prevalensi kebutaan di Tanah Air masih tinggi, yaitu 3 persen.

Salah satu penyebabnya adalah kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Kelainan ini dapat mengenai segala kelompok usia, terutama anak-anak karena akan mengganggu proses belajar dan pencapaian di masa yang akan datang.

Upaya pemerintah dalam kesehatan mata

Secara global, 2 dari 3 orang yang membutuhkan kacamata belum mendapatkannya, terutama di negara berpenghasilan rendah. Masih dari data yang sama, diperkirakan sekitar 15 juta penduduk di Indonesia usia 50 tahun ke atas mengalami gangguan penglihatan, dengan katarak dan kelainan refraksi sebagai penyebab utama. Sementara itu, riset lain menunjukkan 44 persen anak usia sekolah memiliki masalah penglihatan.

Berdasarkan hal ini, pemerintah Indonesia melakukan suatu aksi, yakni membuat Peta Jalan Upaya Kesehatan Penglihatan 2025-2030. Bersama para pemangku kepentingan, mereka menandatangani deklarasi bersejarah untuk memperluas akses layanan kesehatan mata dan kacamata yang terjangkau.

Langkah ini sekaligus menandai bergabungnya Indonesia dalam WHO SPECS 2030, sebuah inisiatif global untuk memastikan setiap orang yang membutuhkan koreksi penglihatan mendapatkan layanan berkualitas, terjangkau, dan berpusat pada masyarakat.

Kesenjangan pada penyandang disabilitas mata

Ketua Tim Kerja Kesehatan Gigi Mulut dan Indra, dr. Prihandriyo Sri Hijranti, M.Epid dalam acara "Deklarasi Aksi Kolaborasi untuk Meningkatkan Akses Terhadap Layanan Kesehatan dan Alat Bantu Penglihatan yang Merata dan Terjangkau" di Bandung, Jawa Barat pada Kamis (09/10/2025) (IDN Times/Misrohatun)

Ketua Tim Kerja Kesehatan Gigi Mulut dan Indra, dr. Prihandriyo Sri Hijranti, M.Epid mengatakan bahwa Survei Kesehatan 2023 menemukan bahwa 6 dari 100 orang yang berusia 1 tahun mengalami disabilitas penglihatan, tetapi hanya 12 dari 100 orang yang menggunakan alat bantu.

"Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangannya sangat tinggi sekali. Karena itu kita mencoba menyusun inisiatif-inisiatif untuk bisa membantu generasi ini melesat ke generasi emas. Salah satu upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui pemeriksaan kesehatan gratis," ujarnya dalam acara "Deklarasi Aksi Kolaborasi untuk Meningkatkan Akses Terhadap Layanan Kesehatan dan Alat Bantu Penglihatan yang Merata dan Terjangkau" di Bandung, Jawa Barat pada Kamis (09/10/2025).

Sejak 10 Februari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah secara bertahap melakukan pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat dan juga anak sekolah. Komitmen ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menegaskan tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan layanan kesehatan mata yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Langkah strategis yang dilakukan

Melalui pendekatan Perawatan Mata Terpadu yang Berpusat pada Masyarakat, Indonesia menargetkan peningkatan skrining dini dan perluasan akses alat bantu penglihatan sesuai Peta Jalan Kesehatan Penglihatan 2025–2030.

Langkah strategis yang ditempuh antara lain pendirian Vision Centre di layanan primer, penerapan teleoftalmologi untuk menjangkau wilayah terpencil, penguatan tenaga kesehatan dan fasilitas, serta peningkatan literasi publik tentang pentingnya pemeriksaan mata rutin.

Kolaborasi multipihak ini melibatkan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, profesi medis, kelompok disabilitas, lembaga pembangunan dan mitra swasta. Fokus utamanya adalah menyelaraskan kebijakan, memperluas layanan, dan memastikan kelompok rentan memperoleh manfaat setara.

Dampak nyata dari kolaborasi ini diharapkan mencakup peningkatan prestasi belajar, turunnya angka putus sekolah, meningkatnya produktivitas pekerja, berkurangnya cedera dan kecelakaan, serta terjaganya kemandirian lansia. Masyarakat di daerah terpencil pun akan semakin mudah mendapatkan layanan kesehatan mata berkualitas melalui skrining bergerak dan teknologi telemedisin.

Editorial Team