Studi yang diterbitkan dalam Journal of the American Heart Association pada 14 Mei 2025 ini menggunakan Nationwide Inpatient Sample (NIS), basis data publik berisi data rawat inap untuk mengidentifikasi kasus sindrom patah hati antara tahun 2016 dan 2020.
Studi ini mengidentifikasi hampir 200.000 kasus selama periode ini, dengan perempuan yang merupakan mayoritas (83 persen) pasien.
Usia rata-rata pasien yang dirawat dengan sindrom patah hati adalah 67 tahun. Pola demografi muncul dalam data, karena 80 persen kasus didiagnosis pada pasien kulit putih, yang menunjukkan potensi perbedaan ras dalam prevalensi atau tingkat diagnosis.
Meskipun pria merupakan bagian yang jauh lebih kecil dari mereka yang dirawat karena sindrom patah hati, tetapi mereka memiliki kemungkinan lebih dari dua kali lipat untuk meninggal, 11,2 persen dibandingkan dengan 5,5 persen untuk perempuan.
Studi ini tidak dapat menentukan alasan kesenjangan mortalitas ini, karena desain observasional retrospektif (metode penelitian yang menganalisis data dari kejadian atau kondisi yang telah terjadi di masa lalu) membatasi peneliti untuk mengidentifikasi hubungan daripada menetapkan sebab akibat.
Para peneliti telah mengajukan hipotesis mengenai kesenjangan antara pria dan perempuan. Sindrom patah hati diyakini disebabkan oleh lonjakan hormon stres, yang dipicu oleh stres fisik atau emosional; stres fisik bisa berupa operasi atau infeksi, sedangkan stres emosional bisa berupa perceraian atau kematian orang yang dicintai.
Stres fisik sindrom patah hati lebih umum terjadi pada pria, yang mungkin menjelaskan tingginya angka kematian yang disebabkan oleh kondisi tersebut. Para peneliti juga berpikir perbedaan keseimbangan hormon antara kedua jenis kelamin dapat berperan.
Komorbiditas kardiovaskular lainnya umum terjadi pada pasien yang mengalami sindrom patah hati, seperti yang diamati dalam penelitian tersebut. Komplikasi kardiovaskular yang paling sering dilaporkan meliputi:
- Gagal jantung kongestif (36 persen kasus)
- Fibrilasi atrium (21 persen)
- Syok kardiogenik (7 persen)
- Stroke (5 persen)
Angka kematian keseluruhan di antara pasien dengan sindrom patah hati secara signifikan lebih tinggi (6,58 persen) dibandingkan pasien lain (2,41 persen), sehingga mereka hampir tiga kali lebih mungkin meninggal.
Namun, sindrom patah hati umumnya bersifat sementara. Sebagian besar individu pulih dalam waktu dua bulan, dengan risiko rendah untuk kambuh.
Akan tetapi, desain penelitian dan adanya beberapa penyakit penyerta yang serius menyulitkan untuk menarik kesimpulan pasti tentang tingkat kematian yang terus meningkat pada sindrom patah hati.
Studi ini tidak memberi tahu tentang karakter klinis orang-orang yang mengidap sindrom patah hati. Pasien-pasien ini sakit kritis, dan mungkin ada penyakit penyerta lain yang memengaruhi kematian mereka. Jadi, sangat sulit untuk mengetahui apa penyebab pasti kematiannya.