Sindrom Diogenes: Gejala, Penyebab, Diagnosis, dan Perawatan

Sindrom Diogenes digambarkan sebagai bentuk penyimpangan perilaku yang sering menjangkit lansia. Pengidap sindrom ini menunjukkan tanda-tanda pengabaian seperti kurang merawat diri, acuh terhadap kebersihan lingkungan, serta memilih terisolasi secara sosial.
Sindrom Diogenes biasanya terjadi disertai kondisi lain, misalnya demensia. Dikarenakan masih sedikit penelitian yang berfokus pada kondisi ini, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition (DSM-V) tidak mencantumkan sindrom Diogenes sebagai kondisi kejiwaan yang berdiri sendiri.
1.Temuan ilmiah terkait sindrom Diogenes

Kata Diogenes diambil dari nama filsuf Yunani yang hidup sekitar abad ke-4. Sementara istilah lain untuk mendefinisikan sindrom ini adalah gangguan sosial yang parah, sindrom pikun, sindrom pengabaian diri, dan sindrom rumah berantakan.
Studi dalam Journal of Pakistan Association of Dermatologists menunjukkan, sindrom Diogenes paling umum menjangkit orang-orang dengan kecerdasan rata-rata, lansia usia 60 tahun ke atas, dan seseorang yang hidup sendiri. Adapun studi lain dalam Dialogues in Clinical Neuroscience menjelaskan, sekitar 0,05 persen lansia usia 60 tahun ke atas mungkin mengidap sindrom Diogenes. Kondisi demikian masih dianggap langka sehingga membutuhkan penelitian lanjutan khususnya untuk mengetahui sebaran prevalensi.
2. Gejala

Perlu diketahui bahwa sindrom Diogenes sifatnya bisa primer atau sekunder. Dikatakan primer apabila tidak ada kondisi medis lain yang memicu sindrom tersebut terjadi. Sebaliknya, dikatakan sekunder apabila gejala sindrom Diogenes disebabkan oleh gangguan kesehatan mental lain.
Berbicara perihal gejala, sifatnya bisa bervariasi pada masing-masing pengidapnya. Namun beberapa gejala umum mungkin ditunjukkan dengan karakteristik sebagai berikut:
- Pemahaman buruk mengenai kebersihan, kesehatan, dan keselamatan diri sendiri
- Melakukan penimbunan barang atau limbah rumah tangga secara berlebihan
- Menjalani kehidupan yang tidak sehat
- Mengembangkan perasaan agresi, permusuhan, dan tidak percaya pada orang lain
- Cenderung menyendiri dan enggan menerima bantuan
- Mengalami kecemasan sosial yang ekstrem atau obsesif-kompulsif
- Mengalami masalah terkait kondisi kulit, yakni dermatitis passivata
3. Penyebab

Sampai saat ini para ahli masih mengembangkan penelitian untuk memahami lebih dalam terkait sindrom Diogenes. Beberapa sumber ilmiah memperkirakan bahwa sindrom ini terjadi tanpa disertai kondisi kesehatan mental sebelumnya. Sementara itu, dalam BMC Research Notes dijelaskan, sindrom Diogenes mungkin terjadi akibat peristiwa traumatis (misalnya kematian orang yang dicintai) yang kemudian memicu reaksi stres.
Meskipun demikian, kondisi medis juga dapat memicu timbulkan gejala sindrom Diogenes, di antaranya adalah:
- Demensia
- Depresi
- Stroke
- Masalah penglihatan
- Terganggunya mobilitas akibat patah tulang atau radang sendiri
- Gagal jantung kongestif
4. Diagnosis

Belum ada diagnosis formal yang ditetapkan untuk sindrom Diogenes. Untuk membuat diagnosis, dokter mungkin akan mengkaji keseluruhan informasi terkait riwayat kesehatan meliputi pola perilaku dan sosial pasien dengan bantuan pekerja sosial.
Selain itu, prosedur lain seperti pemeriksaan fisik, tes darah, dan tes pencintraan otak (MRI atau PET scan) mungkin juga akan diberlakukan. Tes-tes tersebut dilakukan unuk membantu dokter mengidentifikasi penyebab dasar kesehatan sang pasien.
5. Perawatan

Setelah diagnosis berhasil digalakkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan opsi pengobatan dan perawatan untuk meminimalkan gejala dan dampaknya. Namun, saat ini belum ditetapkan secara pasti mengenai resep obat dan terapi khusus untuk mengelola sindrom Diogenes.
Jika pasien mengembangkan gejala-gejala tertentu, misal paranoia, dokter akan memberikan obat khusus untuk membantu meringankan gejala tersebut. Selain itu, sesi konseling dan terapi psikologis mungkin juga dapat membantu beberapa orang dengan sindrom Diogenes. Hal yang tidak kalah penting adalah dukungan secara moral baik dari keluarga, kerabat, dan tetangga.
Lansia dengan sindrom Diogenes sering kali mengabaikan kesejahteraan diri mereka sendiri. Di samping itu, banyak di antara mereka memilih untuk tidak mengonsultasikan masalah mereka pada dokter. Jika kamu menjumpai kasus yang merujuk pada masalah sindrom Diogenes, tidak salahnya membujuk lansia ke dokter untuk mencari bantuan melalui intervensi medis.