Studi ini melibatkan peserta berusia 19 tahun ke atas, yang datanya dikumpulkan sejak tahun 1988 hingga 1994. Selama masa tindak lanjut, para peneliti mencatat penyebab kematian dari berbagai faktor, lalu menghubungkannya dengan pola asupan protein.
Mengukur asupan protein memang rumit, karena pola makan bisa berubah setiap hari dan data sering bergantung pada ingatan responden. Jadi, untuk mengurangi eror, tim peneliti menggunakan multivariate Markov Chain Monte Carlo (MCMC) model, sebuah metode statistik canggih yang memperkirakan asupan gizi “sehari-hari” dengan lebih akurat.
Asupan protein dipisahkan dari sumber hewani (daging, telur, susu) dan nabati (kacang-kacangan, biji-bijian, serealia). Tim peneliti juga memasukkan pengukuran kadar hormon insulin-like growth factor 1 (IGF-1)—hormon yang sebelumnya sempat dikaitkan dengan risiko kanker.
Hasilnya konsisten, bahwa tidak ada hubungan signifikan antara kadar IGF-1, protein yang dikonsumsi, dan angka kematian. Bahkan, pada sebagian peserta, asupan protein hewani justru sedikit menurunkan risiko kematian akibat kanker.
Yang menarik, efek ini tidak berubah meski dianalisis berdasarkan kelompok usia, baik pada peserta usia di bawah 65 tahun, usia paruh baya, maupun yang sudah lanjut usia. Hal ini berbeda dengan penelitian lama yang menganggap diet tinggi protein berbahaya terutama bagi usia pertengahan.
Tim peneliti menduga, perbedaan metodologi menjelaskan mengapa studi terdahulu menemukan hasil sebaliknya. Banyak penelitian lama mengandalkan metode estimasi sederhana, sementara studi terbaru ini menggunakan pendekatan lebih mutakhir dan data yang lebih seimbang.
Singkatnya, protein, apa pun sumbernya, tidak terbukti memperpendek harapan hidup.