ilustrasi vaksin dan DNA (news-medical.net)
Biasanya, vaksin menggunakan patogen yang dilemahkan (attenuated) atau dimatikan (inactive) untuk melatih sistem imun merespons patogen. Vaksin DNA mengirimkan sebagian informasi genetik sehingga menghasilkan antigen patogen, zat yang memicu sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi untuk melindungi infeksi patogen.
Salah satu contoh studi mengenai vaksin DNA muncul dari Amerika Serikat (AS) pada tahun 1992, berjudul "Genetic immunization is a simple method for eliciting an immune response". Penelitian tersebut menemukan bahwa plasmid DNA dapat menghasilkan respons antibodi.
Kemudian, sebuah penelitian tahun 2011 di University of Pennsylvania School of Medicine (UPSM), AS, yang dimuat dalam jurnal Clinical Infectious Diseases kembali membuktikan keampuhan vaksin DNA. Secara teori, vaksin DNA menghasilkan respons imun yang luas tanpa perlu replikasi patogen.
Sementara penelitian tersebut memberikan hasil yang menjanjikan, studi awal memberikan hasil yang mengecewakan. Kesimpulannya, para peneliti UPSM menyatakan bahwa vaksin DNA tidak menghasilkan respons antibodi yang efektif.
ilustrasi penyuntikan vaksin (nytimes.com)
Vaksin mRNA untuk COVID-19 terkini, seperti yang digunakan oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna, adalah variasi lain dari vaksin DNA. Beda dengan DNA, vaksin mRNA tidak perlu mencapai inti sel untuk aktif. Inilah yang membuat mRNA ampuh.
Akan tetapi, di sisi lain vaksin DNA bisa tetap stabil pada suhu ruangan, sehingga lebih mudah diangkut, didistribusikan, dan disimpan. Sementara itu, vaksin mRNA butuh tempat penyimpanan bersuhu dingin ekstrem. Dengan keampuhan yang relatif mirip dan kemudahan dalam teknik penyimpanan, vaksin DNA pun dilirik oleh banyak peneliti sebagai salah satu opsi.