Pertama kali ditemukan pada 1958, penyakit ini disebut monkeypox karena memang berawal dari monyet di Jerman. Penyakit yang disebabkan oleh monkeypox virus (MPXV) ini kemudian menyebar ke manusia pertama kali pada 1970 di Kongo.
Mencuat pada 2022, penyakit ini konon beredar di komunitas laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. Meski begitu, pemerintah AS khawatir bahwa nama monkeypox menekankan stigma (terutama terhadap kalangan etnis kulit hitam). Selain itu, stigma ini juga bisa menghambat laju vaksinasi cacar monyet.
Dalam sebuah studi gabungan mengenai stigma cacar monyet yang dimuat dalam jurnal Frontiers in Public Health pada September 2022, stigma berarti "pengucilan sosial" karena kondisi cacar monyet. Para peneliti memperingatkan kalau stigma tersebut bisa berdampak buruk, terutama di negara-negara berpenghasilan menengah ke rendah.
"Stigma adalah perilaku negatif terhadap kondisi mental, fisik, atau sosial sekelompok orang ... Ini berarti mereka dirundung label, stereotipe, diskriminasi, dikucilkan, dan kehilangan status sosial karena dihubungkan dengan penyakit," tulis penelitian bertajuk "Stigma during monkeypox outbreak".
ilustrasi virus cacar monyet atau monkeypox virus/MPXV (bbc.com)
Dilansir Politico, berbagai pakar kesehatan masyarakat dan aktivis LGBT juga mendorong dunia untuk mengganti nama monkeypox. Selain tidak tepat sasaran, nama tersebut juga mendorong stereotipe rasisme terhadap rakyat dan negara Afrika serta berdampak buruk terhadap respons global terhadap cacar monyet.
Menurut pernyataan "Urgent need for a non-discriminatory and non-stigmatizing nomenclature for monkeypox virus" dalam situs Virological, para peneliti dari Afrika, Eropa, dan AS menyatakan ketidaksetujuannya terhadap nama monkeypox. Oleh karena itu, mereka meminta nama yang "netral, tidak diskriminatif, dan tak mengandung stigma".