WHO Beberkan Syarat Persiapan Pandemik di Masa Depan

Selama beberapa dekade, dunia melihat virus-virus berlalu-lalang dari hewan dan menemplok ke manusia. Epidemik dan pandemik silih berganti, dan dalam beberapa dekade, dunia menghadapi setidaknya dua pandemik.
Bukan tidak mungkin pandemik lainnya akan terjadi di masa depan. Dari Ebola hingga kolera, kita hidup berdampingan dengan hewan dan lingkungan. Jadi, perlu disadari bahwa ada banyak faktor yang bisa meningkatkan risiko kemunculan atau mencuat kembali penyakit zoonosis yang mematikan.
Akan selalu ada "penyakit X"

Dalam perhelatan World One Health Congress 2022 (WOHC 2022), COVID-19 Technical Lead Badan Kesehatan Dunia (WHO), Dr. Maria van Kerkhove, tidak berbasa-basi. Ia membuka penjelasannya dengan mengatakan bahwa akan selalu ada "Penyakit X". Sebagai contoh, SARS-CoV-2 yang awalnya adalah penyakit baru.
"Kita hidup di dunia yang saling terhubung. Jadi, patogen yang muncul di lokasi mana pun bisa menyebar amat cepat ke sudut planet lainnya. Penting bagi kita untuk mengetahui pemicu, faktor yang memperparah pandemik, dan bagaimana cara mengatasinya," kata Maria.
Lalu, ia membeberkan bahwa saat ini WHO tengah menghadapi 52 kondisi darurat kesehatan. Setiap minggu, WHO mendapatkan surel mengenai dugaan penyakit berpotensi meresahkan dunia yang perlu diinvestigasi atau segera ditindaklanjuti.
"Jadi, apakah penyakit yang akan baru atau muncul kembali tersebut, dan bagaimana mempersiapkan diri untuk meningkatkan analisis data," imbuhnya.
Efek pandemik di masa kini
Dari pandemik COVID-19, Maria mengatakan bahwa perlu penguatan arsitektur global untuk pencegahan, persiapan, dan respons (PPR) darurat kesehatan. Ini karena melihat efek destruktif dari SARS-CoV-2 yang saat ini masih berkecamuk, baik dari sektor medis hingga ekonomi.
Ia kemudian memaparkan beberapa data mencengangkan dari pandemik COVID-19, seperti:
- Sebanyak 6,5 juta kematian akibat COVID-19 (angkanya diproyeksikan sebenarnya tiga kali lebih tinggi).
- Kerugian hingga US$16 triliun (hampir Rp250 kuadriliun).
- Sebanyak 1,6 miliar anak dunia tak sempat sekolah karena banyak negara yang masih menutup akses sekolah.
- Investasi energi bersih menurun 30 persen.
- 135 juta orang terperosok ke jurang kemiskinan per 2030.
- Lebih dari 300 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan akibat bencana iklim dan krisis geopolitik.
Pemetaan zoonosis yang lebih andal
Kembali membicarakan PPR, Maria mengatakan bahwa WHO bekerja sama dengan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dan PREventing ZOonotic Diseases Emergence (PREZODE) untuk mengevaluasi kembali berbagai pemetaan dan memutuskan untuk menyatukannya agar bisa mencegah risiko zoonosis.
“Bukan untuk menciptakan peta yang memanjakan mata, melainkan peta yang interaktif yang bisa dihubungkan ke kondisi gawat darurat yang belum diketahui dan yang telah diketahui, serta kapasitas yang ada saat ini untuk bisa lebih siap di masa depan," papar Dr. Maria.
Dengan begitu, WHO bisa lebih siap memprediksikan kapan wabah terjadi dan mempersiapkan imunitasnya. Dari taksonomi hingga intervensi, WHO tengah memantau berbagai virus untuk mempersiapkan diri. Maria mengatakan bahwa WHO menggunakan berbagai sarana yang telah ada dan meningkatkannya.
Selain itu, WHO juga bekerja sama dengan pemilik data dan sumber daya serta figur lokal untuk meningkatkan kesadaran dan memenuhi kebutuhan global dan lokal. Semua untuk mencegah agar zoonosis tidak menular dari hewan ke manusia hingga menyebabkan pandemik di kemudian hari.
“Tujuannya bukanlah 'sebuah peta', melainkan agar dunia lebih siap dari skala lokal ... memutarbalikkan waktu sehingga wabah tersebut bisa terdeteksi dan meningkatkan aktivitas pemantauan,” ujar Maria.
Melibatkan seluruh masyarakat dan komunitas dunia
Ada lebih dari 300 rekomendasi yang diterima WHO selama beberapa tahun terakhir, terutama saat pandemik COVID-19. Dari rekomendasi tersebut dan konsultasi ke rekan dan negara WHO, WHO mencatat 10 rekomendasi untuk dunia yang dipersembahkan dalam World Health Assembly pada Mei 2022 silam.
Inti rekomendasi tersebut adalah memperkuat arsitektur global untuk persiapan, respons, dan penanganan gawat darurat kesehatan (HEPR). Untuk mewujudkannya, ada tiga aspek utama yang harus dibenahi: kepemimpinan, sistem, dan pendanaan.
"Kita harus bisa menciptakan kondisi lebih baik menghadapi wabah di masa depan, dibanding saat ini [dengan pandemik COVID-19]," kata Maria.
Jadi, hal pertama yang ia tunjuk adalah keterlibatan seluruh masyarakat dan menanamkan konsep ini dalam sistem kesehatan masyarakat yang telah diperkuat. Penguatan ini berarti melibatkan kesehatan hewan, arsitektur, ekonomi, pendanaan, kesejahteraan dan jaminan sosial, pengelolaan bencana, keamanan nasional, dan lingkungan.
“Ini semua saling terkait dan seharusnya diterapkan di masa depan dalam sistem One Health yang telah diperkuat,” ia menambahkan.

Konsep tersebut didasari oleh resiliensi komunitas dan layanan kesehatan primer. Menurut Maria, jika komunitas diperkuat dan didukung dengan skala nasional, regional, hingga global, dunia bisa lebih siap dalam mencegah pandemik berikutnya. Dalam presentasinya, ia mengingatkan lagi prinsip 5C, yaitu:
- Kolaborasi pengawasan (Collaborative surveillance)
- Perlindungan komunitas (Community protection)
- Kepedulian yang aman dan terukur (Safe and scalable care)
- Akses penanggulangan (Access to countermeasures)
- Koodinasi gawat darurat (Emergency coordination)
“Tidak hanya COVID-19, kami juga berfokus ke penyakit pernapasan, mengakhiri darurat kesehatan di dunia, dan membangun sistem perawatan penyakit pernapasan yang diperkuat,” ucap Maria.
Komitmen Joint Plan of Action dari WHO
Maria kemudian membeberkan keinginan untuk memanfaatkan dan memperluas kerja sama WHO. Selain dengan institusi akademik dan tenaga kesehatan profesional, WHO mengumumkan kerja samanya dengan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH).
“Dan, kami ingin memperluas dan memperkuat [kerja sama] ini ... didukung oleh dukungan operasional dan teknis skala regional hingga global,” Maria berucap.
Oleh karena itu, WHO menekankan komitmen globalnya terhadap One Health. Sementara ini bukanlah hal baru, Dr. Maria mencatat bahwa pandemik COVID-19 menyerukan One Health agar disatukan ke kehidupan sehari-hari di masa depan.
“Mari kita ambil kesempatan untuk mendorong One Health di masa depan,” ia menyerukan.
Hal ini terlihat dengan peluncuran Joint Plan of Action yang dilaksanakan oleh WHO, UNEP, FAO, dan WOAH. Inilah bentuk komitmen yang dipegang teguh oleh WHO dan mitranya untuk mewujudkan dunia yang lebih baik dan demi menciptakan lingkungan kondusif di mana One Health bisa diterapkan.
Maria: Visi WHO adalah dunia yang waspada dan siap menghadapi pandemik

Maria melanjutkan bahwa untuk memenuhi Joint Plan of Action, perlu sarana dan teknologi (baik yang ada atau yang tengah dikembangkan), sumber daya, pendanaan, dan proses pembelajaran. Makin cepat respons, maka makin kecil kemungkinan penyakit zoonosis berpindah dari hewan ke manusia sehingga risiko pandemik bisa ditekan.
“Riset dan inovasi harus terus didukung ... dan dunia juga harus mengembang tanggung jawabnya. Jadi, kami ingin melihat dunia yang waspada dan siap menghadapi ancaman kesehatan yang muncul,” kata Maria.
Ia menekankan bahwa WHO menggunakan sarana yang telah ada dan ditingkatkan fungsinya. Kerja sama WHO, UNEP, FAO, dan WOAH melahirkan banyak kolaborasi, tetapi ia mengatakan bahwa butuh kontribusi masyarakat dunia agar kolaborasi ini bisa diterapkan dalam pendekatan One Health.
“Kita semua punya tujuan yang sama, untuk sama-sama lebih bersiap dan respons lebih baik. Ini adalah hal yang baik, dan di masa pandemik ini, sains tengah berkembang pesat ... lebih dari agenda politik atau pemilu mana pun, dan saya berterima kasih karenanya.”
Koordinasi dan disinformasi masih jadi masalah
Sementara prinsip 5C tengah diterapkan, masih ada banyak hal yang perlu dikerjakan. Pertama adalah tak adanya ruang dan pendanaan yang cukup untuk mendukung pemeriksaan zoonosis. Jadi, apa solusinya?
"Mengalibrasikan jumlah pemeriksaan patogen zoonosis yang berpotensi memicu epidemik dan pandemik. Bukan dengan kacamata COVID-19, melainkan memanfaatkan tenaga kerja, infrastruktur, dan sistem melawan patogen yang membahayakan masyarakat dunia," jawabnya.
Sementara proses sekuens terus berkembang, perlu koordinasi untuk memastikan pendanaan terdistribusi merata sehingga proses sekuens bisa digunakan secara lokal dan dibagikan global. Dengan begitu, WHO bisa mempertimbangkan tindakan lanjutnya.
Selain itu, ia menekankan bahaya disinformasi di tengah pandemik. Terlihat jelas di tengah pandemik COVID-19, disinformasi menghalangi inovasi yang bisa menyelamatkan umat manusia. Ia mengambil contoh hoaks yang beredar mengenai vaksinasi COVID-19.
"Tak peduli seberapa efektif sebuah vaksin, akan sia-sia bila tak ada yang mau menerimanya karena misinformasi ... Di masa depan, hal ini perlu ditanggulangi karena tren ini akan terus berlanjut,” ia menekankan.
Apresiasi untuk nakes masih kurang

Terakhir, Maria menyorot apresiasi untuk tenaga kesehatan di kala pandemik COVID-19. Meski begitu, selama pandemik, tak sedikit tenaga kesehatan yang keluar dari profesinya hingga mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) karena merasa tak aman dan terlindungi.
"Mereka merasa terancam karena hoaks yang beredar, keadaan geopolitik yang berkecamuk," tutur Maria.
Hal ini juga menjadi perhatian utama karena akibatnya, para tenaga kesehatan dan ilmuwan dunia tak bisa melakukan tugasnya. Jika tak ada data, analisis, atau perundingan yang konstruktif, maka WHO dan organisasi kesehatan dunia lainnya tak bisa melakukan bagiannya melawan pandemik.
“Kita perlu memastikan para peneliti dan tenaga kesehatan memiliki cukup ruang untuk mengerjakan bagiannya. Inilah yang sedang kami usahakan."