ilustrasi sex surrogate (pexels.com/SHVETS production)
Penting untuk dicatat, terapi sex surrogate tidak selalu melibatkan aktivitas seks secara vulgar. Seseorang yang bertugas sebagai surrogate (pengganti) dapat membantu klien mengelola keterampilan seksual, sosial, serta mendukungnya dalam proses penyembuhan.
Misalnya, dalam kasus ketika klien pernah mengalami peristiwa traumatis seperti pelecehan seksual. Dengan menerapkan praktik terapi ini, klien akan belajar untuk membedakan antara sentuhan yang aman, perhatian, suka sama suka, sampai sentuhan agresif dan berbahaya.
Menurut studi dalam Journal of Counseling Sexology & Sexual Wellness Research Practice and Education tahun 2019, terdapat protokol khusus yang wajib dilaksanakan oleh terapis sex surrogate. Protokol tersebut mencakup empat tahap yang berbeda, yakni:
- Hubungan emosional: Dasar awal melakukan pekerjaan ini adalah membangun hubungan emosional yang baik. Sama halnya dengan hubungan intim di kehidupan nyata, penting bagi klien dan pekerja pengganti untuk memiliki tingkat keintiman emosional terlebih dahulu.
- Sensualitas: Dalam tahap, ini teknik yang sering digunakan adalah fokus pada indra, yang melibatkan sentuhan penuh perhatian. Selain itu, individu yang terlibat harus berkonsentrasi pada perasaan, pengalaman, dan persepsi sensoris (bukan tentang alat kelamin atau perilaku yang berorientasi pada pencapaian orgasme).
- Seksualitas: Meskipun terapi juga disebut sebagai terapi pasangan pengganti, tetapi bukan berarti kegiatan yang berlangsung selalu menomorsatukan hubungan seksual. Studi dalam jurnal Psychiatry Psychology and Law tahun 2013 menyoroti aktivitas seksual dalam terapi ini berkisar hanya 12 persen.
- Penutupan: Sedari orientasi awal, klien dan terapis pengganti harus diberi tahu bahwa praktik terapi sex surrogate tidak lebih dari hubungan profesional dan terapeutik. Mereka harus menghalau sisi romantisme agar terapi bisa berjalan optimal.