Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Georgia (dok. Jayil Pak/Georgia)

Meski umum dilakukan, ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan saat akan mengadaptasi tragedi ke dalam karya sinematik. Ini karena nantinya peristiwa tragis itu akan jadi komoditas alias dikomersialisasi sehingga bisa mendorong munculnya asumsi-asumsi tertentu. Ada banyak contoh film berbasis tragedi yang justru dapat kritik pedas karena tak mengedepankan etika. 

Agar tak mengalami hal serupa, ada baiknya kamu nonton film berbasis tragedi nyata terbaik berikut. Aman dari kesan mengeksploitasi dan gak cuma berupa reka ulang, film-film berikut membuka wawasan dan meningkatkan kesadaran. Banyak juga yang ditulis langsung oleh para penyintas. Mari cek. 

1. Baby Reindeer (2024)

miniseri Baby Reindeer (dok. Netflix/Baby Reindeer)

Bukan cuma reka ulang masa lalu kelam seorang komedian, Baby Reindeer benar-benar membawa kita memahami sudut pandang korban. Ditulis langsung oleh si empu cerita, Richard Gaad, miniseri 7 episode ini mengikuti sosok komedian muda asal Skotlandia yang pernah dikuntit seorang perempuan. Namun, bukannya melaporkan kejahatan itu sesegera mungkin ke polisi, ia seolah membiarkannya berlangsung berbulan-bulan. Keputusan ganjilnya itu ternyata berkaitan erat dengan peristiwa mengerikan lain yang pernah ia alami beberapa tahun sebelumnya. 

2. Georgia (2020)

Georgia (dok. Jayil Pak/Georgia)

Georgia merupakan film pendek yang terinspirasi dari salah satu kisah pilu korban kasus Miryang yang menggemparkan Korsel pada 2004. Kasus itu berkenaan dengan pelecehan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan sekelompok remaja lelaki berprivilese terhadap beberapa bocah perempuan lebih muda. Film ini fokus pada orangtua salah satu korban yang dengan segala keterbatasannya mencoba menginisiasi gelombang protes karena kecewa atas penanganan aparat yang tak memihak korban.

3. To Kill a Tiger (2022)

To Kill A Tiger (dok. Notion Pictures/To Kill A Tiger)

Premisnya mirip dengan film sebelumnya, To Kill A Tiger adalah perjuangan pasutri mencari keadilan atas pemerkosaan yang menimpa putri remaja mereka. Tinggal di pedesaan yang masih memegang adat patriarki, mereka berkali-kali diancam agar mencabut laporan dan menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Mereka akhirnya mencari bantuan dari sebuah LSM yang bersedia mengawal kasus itu. Ini sebuah dokumenter yang bikin begidik, tetapi berhasil menyuguhkan realitas pedih soal victim blaming dan relasi kuasa. 

4. Collective (2019)

Collective (dok. MUBI/Collective)

Collective juga berformat dokumenter. Premisnya berkutat pada tragedi kebakaran di sebuah konser band rock di Rumania pada 2015. Saat itu, sebenarnya banyak korban yang berhasil diselamatkan dan kemudian dirawat di rumah sakit milik pemerintah. Namun, justru selama perawatan itulah korban jiwa justru berjatuhan. Sekelompok jurnalis mencoba melakukan investigasi mandiri dan seorang sineas mendokumentasikan prosesnya lewat film ini. 

5. Unbelievable (2019)

Unbelievable (dok. Netflix/Unbelievable)

Unbelievable adalah series brilian lain yang tak layak dilewatkan. Serial ini juga fokus pada proses investigasi kasus pemerkosaan berantai nyata yang terjadi di Amerika Serikat selama 2008–2011. Awalnya polisi gagal menemukan kaitan antara beberapa kasus serupa, bahkan salah satu korban terawal sebenarnya sempat melapor, tetapi justru dianggap membual karena kurangnya bukti. Hingga akhirnya dua detektif perempuan berhasil menarik benang merah dan menemukan pelaku. 

6. Fruitvale Station (2013)

Fruitvale Station (dok. Significant Productions/Fruitvale Station)

Fruitvale Station masih berlatarkan Amerika Serikat. Kali ini tragedinya menyangkut seorang pemuda kulit hitam yang terbunuh oleh polisi. Ia awalnya hanya terlibat pertengkaran dengan beberapa penumpang di kereta bawah tanah. Saat berhasil dilerai dan diamankan pihak berwenang, salah satu polisi tak sengaja menarik pelatuk senjatanya dan menewaskan sang pria di tempat. Kejadian itu terekam dan disaksikan banyak orang karena kereta bawah tanah dalam keadaan ramai. Bukan sekadar upaya mengenang sang korban, film ini turut membahas ketidakadilan rasial dan kekejaman polisi yang umum terjadi di negeri adidaya itu. 

7. By the Grace of God (2018)

By the Grace of God (dok. Unifrance/By the Grace of God)

Fakta gelap lain juga diungkap film Prancis berjudul By the Grace of God. Dengan apik dan rapi, film ini mengikuti perspektif seorang pria yang pernah jadi korban pelecehan seksual pemuka agama pada masa kecilnya. Bertahun-tahun berlalu, ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menuntut keadilan dengan mengumpulkan testimoni para penyintas. Namun, dengan stigma dan stereotip yang melekat pada laki-laki, banyak dari mereka yang enggan terlibat dalam upaya itu bahkan mengingkarinya. 

8. Only the Brave (2017)

Only the Brave (dok. Columbia Pictures/Only the Brave)

Only the Brave bisa dibilang film tragedi yang underrated. Padahal kualitas ceritanya cukup superior. Melibatkan beberapa nama prominen macam Miles Teller, Taylor Kitsch dan Jeff Bridges, film ini bisa dibilang tribut untuk para pemadam kebakaran hutan Arizona yang tewas saat berjuang memadamkan api. Dari 20 personel, hanya 1 dari mereka yang berhasil selamat dan jadi empu cerita film tragis itu. Memang ada perubahan minor dari cerita aslinya, tetapi sama sekali tidak menimbulkan distorsi. 

9. Beauty and the Dogs (2017)

Beauty and the Dogs (dok. MUBI/Beauty and the Dogs)

Diadaptasi dari buku berjudul Coupable d’avoir été violé karya Meriem Ben Mohamed, film one-take asal Tunisia ini adalah kisah tragis seorang korban pemerkosaan yang menemukan berbagai hambatan saat berusaha mendapat keadilan. Apalagi pelakunya adalah beberapa anggota polisi sekaligus. Filmnya memang didramatisasi dan menggunakan karakter fiksi, tetapi kerumitan birokrasi, sikap misogini dan tendensi victim blaming yang harus dilalui sang lakon memang sehoror realitasnya. 

10. Under the Bridge (2024)

Under the Bridge (dok. Hulu/Under the Bridge)

Under the Bridge merupakan reka ulang kasus pembunuhan remaja imigran India di Kanada, Reena Virk. Sebagai bagian dari minoritas ganda karena ras dan agamanya, ditambah penampilan fisiknya, Virk pun jadi sasaran perundungan di sekolah. Saat ia ditemukan tewas, beberapa teman sekolahnya dicurigai bertanggung jawab. Tak hanya soal perundungan, series ini juga berisi kritik pedas terhadap ketidakadilan sistemik yang harus dirasakan penduduk pribumi dan imigran di Kanada. 

Tanpa harus menyertakan adegan kekerasan seksual maupun tragedi lain secara eksplisit, sepuluh film dan serial tadi sukses membuat penonton merasakan kengerian yang dimaksud. Menambahkan pesan moral dan mendorong diskursus soal isu-isu tertentu pun jadi nilai plus untuk mereka. Itu yang membuatnya bukan sekadar komodifikasi tragedi belaka. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team