Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

10 Film Terbaik Pier Paolo Pasolini, Sineas Sarat akan Kontroversi

Salò, or the 120 Days of Sodom (dok. Les Productions Artistes Associés/Salò, or the 120 Days of Sodom)

Para sineas memiliki satu mimpi yang sama yakni meninggalkan warisan yang abadi, di mana karya-karyanya dikenang lintas generasi bahkan setelah mereka tiada. Pier Paolo Pasolini, dengan segala kontroversinya, telah mencapai hal tersebut. 

Sebelum terjun ke industri perfilman Italia pada awal 1950-an, Pasolini telah lebih dulu dikenal sebagai novelis dan penyair. Dalam karya literasinya, ia gemar memadukan dua hal yang bertolak belakang. Narasinya yang provokatif mengguncang pembacanya melalui subjek-subjek kelam dan radikal. Hal tersebut turut mempengaruhi gaya penyutradaraannya.

Meskipun karirnya terbilang singkat, Pasolini mengukir namanya dalam sejarah sinema sebagai sineas paling berani. Pasolini mengkritik isu politik dan norma sosial dalam tema eksperimental dengan brutal, menjadikan karya-karyanya berikut ini begitu menantang dan sulit untuk dinikmati.

1. Salo, or the 120 Days of Sodom (1975)

Salò, or the 120 Days of Sodom (dok. Les Productions Artistes Associés/Salò, or the 120 Days of Sodom)

Berlatar pada Perang Dunia II, Salò, or the 120 Days of Sodom mengisahkan empat sosok fasis bejat yang menculik sembilan remaja laki-laki dan sembilan remaja perempuan. Mereka dijadikan sebagai tahanan dan dipaksa menjalani berbagai macam penyiksaan yang tak manusiawi. Diadaptasi dari novel klasik besutan Marquis de Sade, Salò, or the 120 Days of Sodom menjadi salah satu film paling ekstrem dalam sejarah sinema.

2. Theorem (1968)

Theorem (dok. Aetos Produzioni Cinematografiche/Theorem)

Theorem berfokus pada seorang pemuda misterius dan karismatik datang tak diundang ke villa mewah milik keluarga konglomerat di Milan, Italia. Ia menjalin hubungan dengan setiap orang yang tinggal di villa tersebut–ayah, ibu, kedua anak mereka, hingga asisten rumah tangga mereka–lalu menghilang bak ditelan Bumi. Usai kepergiannya yang tiba-tiba, mereka tidak dapat menjalani hidup dengan tenang dan mengalami konflik batin tak berkesudahan.

3. The Gospel According to Matthew (1964)

The Gospel According to Matthew (dok. Arco Film/The Gospel According to Matthew)

The Gospel According to Matthew mengikuti perjalanan Yesus Kristus dari kelahiran hingga kebangkitan. Sebagai seorang provokator radikal yang penuh kontradiksi, Pasolini menggunakan pendekatan yang realis dan humanis. Sejalan dengan visi Pasolini yang berpegang teguh pada Injil Matius. Surat kabar Vatikan, L’Osservatore Romano, bahkan menobatkan The Gospel According to Matthew sebagai film tentang Yesus Kristus paling akurat yang pernah dibuat.

4. The Decameron (1971)

The Decameron (dok. Artemis Film/The Decameron)

The Decameron merupakan film pertama dari Trilogy of Life. Pasolini mengadaptasinya dari kumpulan cerita klasik karya Giovanni Boccaccio. Berlatar di Italia pada abad ke-14, The Decameron memuat sembilan kisah berbeda yang sarat akan humor, hasrat, dan kritik sosial yang tajam.

5. Accattone (1961)

Accattone (dok. Cino del Duca/Accattone)

Pasolini memulai debut penyutradaraannya melalui Accattone. Filmnya sendiri berfokus pada Accattone (Franco Citti), seorang germo yang menggantungkan hidupnya pada anak buahnya. Ketika sumber penghasilannya hilang, Accattone kalang kabut mencari cara lain untuk bertahan hidup.

6. Mamma Roma (1962)

Mamma Roma (dok. Arco Film/Mamma Roma)

Mamma Roma mengikuti seorang mantan pelacur bernama Mamma Roma (Anna Magnani) yang pindah ke Roma untuk memulai hidup baru sekaligus memperbaiki hubungan dengan putranya Ettore (Ettore Garofolo). Sialnya, sosok dari masa lalu datang dan membuat Mamma Roma terancam kehilangan segalanya.

7. Oedipus Rex (1967)

Oedipus Rex (dok. Arco Film/Oedipus Rex)

Oedipus Rex mengisahkan Edipo (Franco Citti), seorang pemuda yang terpaksa menghabisi nyawa ayahnya dan menikahinya ibunya karena tidak dapat menghindari takdirnya. Terinspirasi dari tragedi klasik Oedipus Rex karya Sophocles, Posilini yang menjadi penulis dan sutradara juga ikut berperan sebagai High Priest.

8. Arabian Nights (1974)

Arabian Nights (dok. Les Productions Artistes Associés/Arabian Nights)

Pasolini menutup Trilogy of Life dengan Arabian Nights. Sesuai dengan judulnya, film ini berangkat dari kumpulan cerita dalam One Thousand and One Nights dengan nuansa Timur Tengah yang kental. Arabian Nights sendiri mengikuti seorang pemuda yang berkelana untuk mencari kekasihnya. Di tengah perjalanannya, ia terjebak dalam petualangan penuh gairah dan keajaiban.

9. Medea (1969)

Medea (dok. Les Films Number One/Medea)

Satu lagi karya Pasolini yang terinspirasi dari tragedi Yunani klasik, Medea, karya Euripides. Filmnya sendiri mengikuti Medea (Maria Callas), yang rela mengkhianati bangsanya sendiri demi pahlawan Yunani yang dicintainya. Naas, suaminya justru meninggalkan Medea demi wanita lain. Dibakar oleh amarah, Medea membalaskan dendamnya dengan cara yang mengerikan.

10. The Canterbury Tales (1972)

The Canterbury Tales (dok. Les Productions Artistes Associés/The Canterbury Tales)

Sebagai film kedua dari Trilogy of Life, The Canterbury Tales diadaptasi dari buku berjudul sama karya Geoffrey Chaucer. The Canterbury Tales mengikuti sekelompok peziarah dengan latar belakang berbeda berada dalam rombongan yang sama dalam perjalanan menuju makam Santo Thomas Becket di Katedral Canterbury.

Pier Paolo Pasolini ditemukan tewas mengenaskan di pantai Ostia, Roma pada 2 November 1975. Dari hasil penyelidikan, Pasolini meninggal akibat penganiayaan brutal yang dilakukan oleh seorang pencuri. Namun, banyak yang meyakini jika kematian Pasolini yang janggal ini bukan sekedar tindak kriminal biasa melainkan terkait dengan karya-karyanya yang kontroversial.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febby Arshani
EditorFebby Arshani
Follow Us