Pernah dengar istilah validasi? Dalam psikoterapi, validasi diartikan sebagai proses mencari kebenaran dalam pikiran dan perasaan. Validasi sebenarnya bukan hal yang salah dan cukup alamiah diinginkan manusia sebagai mahkluk sosial.
Dalam sebuah riset yang dilakukan Kuo, dkk. berjudul 'The Who and What of Validation: An Experimental Examination of Validation and Invalidation of Specific Emotions and the Moderating Effect of Emotion Dysregulation,' validasi bahkan dipakai dalam berbagai metode psikoterapi untuk menangani gangguan psikis tertentu. Namun, validasi, apalagi yang bersifat eksternal atau datang dari orang lain, ternyata tidak selamanya dibutuhkan.
Dalam riset yang dipublikasikan Ballara berjudul 'The Power of Social Validation: A Literature Review on How Likes, Comments, and Shares Shape User Behavior on Social Media' pada International Journal of Research Publication and Reviews, validasi sosial atau yang datang dari entitas di luar sendiri sering kali membuat orang mengingkari jati dirinya karena punya level konformitas yang tinggi terhadap ekspektasi dan tren yang berkembang di masyarakat. Validasi eksternal juga bersikap adiktif karena bisa memicu produksi dopamin dalam otak yang menciptakan sensasi senang serta puas. Kedua sensasi itulah yang ingin kita ulang terus.
Kedua dampak buruk tersebut sebenarnya cukup menyakinkan kita untuk tidak lagi mencari validasi eksternal. Masalahnya, terkadang berdamai dengan keinginan mencari validasi eksternal butuh proses serta latihan. Ada yang bilang usia punya pengaruh besar dalam konteks ini. Artinya semakin dewasa, semakin berkurang pula keinginan seseorang mencari validasi dari luar diri sendiri. Namun, ternyata ini tidak berlaku secara umum. Masih banyak orang dewasa yang haus validasi dan harus merasakan ganjarannya. Seperti yang didemonstrasikan beberapa karakter dalam rekomendasi film berikut.