6 Film Singapura Terbaik, Potret Multikulturalisme di Negara Mungil

Meski berukuran mungil, Singapura adalah negara yang berhasil menjamin keadilan hak untuk komposisi warganya yang multikultur. Melansir tulisan Jeanine Lim yang berjudul "The Construction of 'Singapore' in Singapore Cinema", Singapura mulai berbenah usai terjadi beberapa kerusuhan sepanjang era 1950 sampai 1960-an.
Mulai dari tensi antar agama, ras, kelas sosial, sampai penolakan atas kebijakan wajib militer terjadi selama kurang lebih dua dekade. Memori kelam ini membuat Singapura memiliki kecenderungan menghindari diskusi atau diskriminasi berdasarkan etnik.
Masih merujuk riset Lim, badan milik pemerintah yang mengatur peredaran film dan acara televisi pun sampai membatasi penggunaan bahasa atau logat yang menonjolkan identitas ras tertentu. Terutama bahasa dominan seperti Singlish dan Hokkien yang identik dengan populasi keturunan Tiongkok di Singapura.
Sebagai gantinya, sineas dan produser diminta untuk menggunakan bahasa Inggris dengan meminimalisasi logat daerah. Sayangnya, hal ini dianggap sejumlah sineas yang diwawancara Lim sebagai penghalang karena mereka kesulitan menampilkan potret Singapura yang autentik dan multikultural.
Terlepas dari sensor bahasa, ide-ide cerita yang diadopsi para sineas asal Singapura tak bisa dianggap remeh. Beberapa bahkan bisa menembus festival bergengsi dan menyabet berbagai penghargaan. Buat kamu yang hendak berkenalan dengan film Singapura, berikut enam judul terbaik yang layak menyita waktu berhargamu.
1. Ilo Ilo (2013)
Ilo Ilo berlatarkan Singapura akhir tahun 1990-an. Penonton akan mengikuti kehidupan seorang pekerja migran asal Filipina yang bekerja untuk sebuah keluarga kaya raya. Seperti pada umumnya, ia sering kali dapat perlakuan tak menyenangkan dari majikannya, termasuk sang anak majikan yang masih berusia sekolah.
Namun, sebuah kecelakaan mengubah segalanya. Lama kelamaan sang majikan kecil merasa lebih dekat dengan sang ART ketimbang ibunya sendiri. Ilo Ilo merupakan salah satu film tersukses dari Singapura dengan puluhan nominasi yang direbutnya.
2. Fundamentally Happy (2015)
Hanya berlakonkan dua orang dan berlatarkan satu tempat, film minimalis ini mampu membuatmu tak santai sepanjang 70 menit durasi. Tensi sengaja dibuat meningkat perlahan.
Dimulai dengan kepulangan seorang pemuda ke kampung masa kecilnya. Di sana ia bertemu sosok bibi yang tampak menyambutnya dengan baik. Namun, seiring mereka mengobrol, sebuah kisah kelam masa lalu menyeruak membuat ruangan terasa sesak.
3. Apprentice (2016)
Tayang pada sesi Un Certain Regard dalam Festival Cannes, Apprentice mengikuti kisah seorang sipir berusia muda yang baru dipindah ke salah satu penjara terketat di Singapura. Ia kemudian berkawan dengan sosok senior bernama Rahim yang menjelma jadi mentor untuknya.
Ketika asisten Rahim mengundurkan diri, Rahim menunjuk sang sipir muda untuk menggantikan posisi tersebut. Seiring berjalannya waktu, barulah kita tahu bahwa Rahim bukan orang asing untuk si sipir muda.
4. Shirkers (2018)
Shirkers ditulis dan disutradarai oleh Sandi Tan. Formatnya dokumenter dengan latar belakang cerita yang menarik. Tan mengaku film ini ia garap sejak masih remaja dulu bersama kawan-kawan perempuannya. Ia kemudian bertemu sosok pria asal Amerika yang mengaku akan mencarikan distributor dan publisher untuk karyanya tersebut.
Ternyata semua itu hanya kebohongan. Filmnya dicuri dan baru beberapa dekade setelahnya, film tersebut secara misterius kembali padanya.
5. A Land Imagined (2018)
A Land Imagined merupakan film noir dengan latar belakang Singapura yang digarap sutradara Yeo Siew Hua. Kali ini ia mengikuti petualangan seorang polisi yang ditugaskan menyelidiki keberadaan dua pekerja migran asal Tiongkok yang menghilang usai terjadi insiden di tempat mereka bekerja.
Bukannya fokus melakukan penyelidikan dengan mengesampingkan emosi, sosok polisi di film ini justru digambarkan berkali-kali terkejut dengan kondisi tempat tinggal para pekerja migran di Singapura yang ternyata tak layak. Kritik sosial yang diselipkan dalam karya seni selalu menarik, sih.
6. Ramen Shop (2018)
Masato adalah seorang pemuda yang lahir dan besar di Jepang. Namun, ia lahir dari seorang ibu asal Singapura yang memperkenalkannya dengan sebuah hidangan bernama Bak Kut Teh. Sampai ayah dan ibunya meninggal, ia belum sempat belajar resep tersebut.
Masato yang mewarisi warung ramen dari ayahnya akhirnya berkelana ke Singapura untuk mencari tahu resep auntentik Bak Kut Teh. Namun, di sana ia justru belajar banyak tentang sentimen negara-negara bekas jajahan Jepang yang selama ini tak pernah ia tahu.
Film adalah perwujudan banyak hal. Angan-angan, sampai dramatisasi realita di sekitar kita. Sama seperti keenam film Singapura di atas yang bakal membawa kita belajar seluk beluk negara mungil dengan kultur beragam dan sejarah yang jarang terekspos.