Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Piggy (dok. Morena Films/Piggy)
Piggy (dok. Morena Films/Piggy)

Ada banyak film thriller berkualitas di luar sana, kebanyakan dibuat sutradara laki-laki. Itu fakta yang susah dibantah, mengingat pria masih mendominasi industri film, terutama untuk posisi-posisi strategis di balik layar. Lantas, apakah sutradara perempuan absen seratus persen dari genre thriller

Jawabannya, tidak dan trennya justru naik. Beberapa tahun belakangan, film thriller garapan perempuan naik popularitasnya. Kualitasnya bisa bersaing dan satu faktor plusnya, relevansinya dengan kenyataan bisa dibilang lebih tinggi. Akurasi ini jelas datang dari pengalaman yang eksklusif hanya dirasakan perempuan di masyarakat. Seperti apa? Berikut beberapa bukti terbaiknya. 

1. Fresh (Mimi Cave)

Fresh (dok. Hulu/Fresh)

Fresh adalah film garapan Mimi Cave yang premisnya kencan berakhir petaka. Semua bermula dari perkenalan seorang perempuan dengan pria di supermarket. Saling tertarik, mereka pun berkencan beberapa kali dan akhirnya satu hari memutuskan makan malam di rumah sang pria.

Di sinilah, modus operandi sang pria terbongkar. Meski jelas berupa dramatisasi, momen-momen seperti itu sebenarnya cukup awam ditemukan di dunia nyata. Menurut statistik United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), kasus pembunuhan yang dilakukan pria lebih banyak ketimbang yang pelakunya perempuan. Bahkan tak sedikit dilakukan terhadap orang terdekat seperti pasangan intim. 

2. Berlin Syndrome (Cate Shortland)

Berlin Syndrome (dok. Aquarius Films/Berlin Syndrome)

Ini pula yang terjadi pada lakon dalam Berlin Syndrome (2017), sebuah film thriller karya Cate Shortland. Film mengikuti seorang jurnalis perempuan yang jatuh cinta pada seorang pria kala berlibur di Jerman. Tak ada kecurigaan, ia menjalin hubungan asmara dengan pria yang baru dikenalnya itu dan tanpa sadar masuk ke sarang monster. Ia menemukan dirinya disekap di sebuah apartemen tanpa jalan keluar. 

Sama dengan Fresh, premisnya masih berkutat pada kencan yang berakhir mengerikan. Isu relasi gender dan dinamika kekuasaan jadi beberapa yang jadi titik berat. Mirisnya, meski fiktif, tak sedikit kejadian macam ini yang bertebaran di kanal berita. 

3. Woman of the Hour (Anna Kendrick)

Woman of the Hour (dok. Netflix/Woman of the Hour)

Memang terinspirasi dari cerita dan tokoh nyata, Woman of the Hour adalah reka ulang kisah monster bernama Rodney Alcala. Hidup dan aktif berbuat kejahatan pada 1970-an, Alcala secara spesifik menyasar perempuan-perempuan muda sebagai korbannya. Anna Kendrick selaku sutradara memilih menceritakan kasus Alcala lewat perspektif para korban dan penyintasnya. Keputusan yang membuat film ini penuh pesan pemberdayaan dan kritik pedas terhadap kultur subordinasi perempuan. 

4. Piggy (Carlota Martinez-Pereda)

Piggy (dok. Charades/Piggy)

Piggy berlatarkan sebuah desa di Spanyol, tempat seorang remaja perempuan hidup bersama orangtuanya. Tak memenuhi standar kecantikan yang seharusnya, ia pun jadi korban bulan-bulanan teman-teman sebayanya. Sampai satu hari, para perundungnya tak pulang ke rumah selama berhari-hari. 

Si lakon yang jadi saksi kunci penculikan itu berada di persimpangan. Haruskah ia membantu proses penyidikan atau membiarkan mereka hilang di telan bumi untuk kepentingannya sendiri? Menarik, nih, isu standar kecantikan dan misogini internal yang dilakukan perempuan pada sesama perempuan jadi bahasan utamanya. 

5. The Devil's Bath (Veronika Franz, Severin Fiala)

The Devil's Bath (dok. Tribeca Film Festival/The Devil's Bath)

Terinspirasi sebuah dokumentasi sejarah pada 1800-an, The Devil's Bath meneropong kultur misogini dan pengabaian kesehatan mental yang masih dinormalisasi pada masa itu. Lakonnya adalah perempuan muda yang harus merasakan tekanan bertubi-tubi dari banyak sisi karena tak kunjung diberi keturunan. Mentalnya mulai tergerus hingga memicunya melakukan sebuah kejahatan demi bisa lepas dari penderitaan itu.

Mirisnya, ia ternyata bukan yang pertama dan satu-satunya yang mengambil langkah nekat tersebut. Selisih waktu ratusan tahun ternyata tak mengubah banyak hal dalam peradaban manusia. Itu salah satu pesan menohok dari film ini. 

6. Bodies Bodies Bodies (Halina Reijn)

film Bodies Bodies Bodies (dok. A24/Bodies Bodies Bodies)

Bodies Bodies Bodies adalah potret keresahan anak muda yang berhasil disulap jadi premis menarik untuk sebuah film thriller. Film berkutat pada sekelompok anak muda dari keluarga kelas atas di Amerika Serikat yang berlibur di sebuah mansion selama akhir pekan. Berada di lokasi yang terpencil, sebuah insiden mengerikan terjadi tanpa sengaja. 

Bukannya bersikap tenang, mereka justru panik dan mulai saling menuduh. Kegagapan ini yang akhirnya membuat situasi makin tak terkendali. Diperparah dengan persahabatan mereka yang ternyata semu belaka dan penuh iri dengki. Relevan banget dengan kecenderungan pertemanan masa kini, bukan? 

Meski jelas banyak dramatisasi di sana-sini, isu yang diangkat film-film thriller garapan perempuan tadi punya akurasi yang cukup tinggi. Miris juga ketika masih banyak yang meremehkan pengalaman buruk serta kekhawatiran perempuan dengan menggunakan istilah paranoid. Padahal, nyatanya semua itu adalah ancaman nyata yang harus diantisipasi perempuan setiap saat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team