Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Sutradara yang Tawarkan Perspektif Langka dalam Sejarah Perfilman

Pawo Choyning Dorji saat penayangan perdana film The Monk and the Gun di TIFF 2023 (instagram.com/pawo)

Jenuh dengan film yang perspektifnya normatif? Biasanya didominasi karakter dengan latarbelakang kelompok mayoritas dan merupakan bagian dari kelas menengah atau bahkan kelas atas? Mungkin ini saatnya kamu mencoba mendalami sudut pandang alternatif lewat sutradara berikut. 

Keenamnya boleh lah disebut sutradara yang berhasil tawarkan perspektif langka dalam sejarah perfilman. Dengan berani dan akurat, mereka bakal membawamu menyelami kehidupan atau fenomena yang mungkin belum pernah terbesit di pikiran.  

1. Pawo Choyning Dorji setia angkat cerita dari kampung halamannya, Bhutan

The Monk and the Gun (dok. Toronto International Film Festival/The Monk and the Gun)

Pernahkah kamu terpikir bagaimana kehidupan orang-orang di Bhutan? Negara di kaki gunung Himalaya yang didominasi penganut Budha itu memang jarang banget diekspos media arus utama. Beruntung, sineas bernama Pawo Choyning Dorji berinisiatif membuat film dengan latar negara asalnya itu. 

Hingga kini, sang sutradara muda itu sudah menelurkan dua film fitur yang curi perhatian internasional. Pertama, lewat film Lunana: A Yak in the Classroom (2020) yang rebut satu nominasi Oscar dan. Disusul dengan The Monk and the Gun (2023) yang jadi primadona di Toronto International Film Festival 2023 dan sukses masuk shortlist Oscar 2024. 

2. Ousmane Sembene, sutradara pertama yang kenalkan sinema asli Afrika

film Mandabi karya Ousmane Sembene (dok. Criterion Collection/Mandabi)

Bila ingin dapat perspektif dari Afrika yang akurat dan tak didramatisasi berlebihan, coba cek film-film garapan Ousmane Sembene. Filmnya memang lawas, tetapi sudah melalui proses remaster dan dirilis ulang lewat beberapa platform streaming. Sembene yang berasal dari Senegal setia menggunakan perspektif penduduk lokal yang harus melalui masa transisi setelah pemerintah kolonial Prancis meninggalkan negeri itu. 

Mulai dari kemiskinan struktural, korupsi, rasisme, sampai inferiority complex jadi bahasan dalam filmnya. Uniknya, ia sering mengusung genre tragicomedy yang membuat filmnya kocak sekaligus getir. Beberapa karya Sembene yang wajib kamu tonton antara lain Mandabi (1968), Black Girl (1966), dan Borom Sarret (1963). 

3. Sergei Loznitsa hadirkan perspektif rakyat jelata di Uni Soviet dan Ukraina

Donbass (dok. Arthouse Traffic/Donbass)

Penasaran gak sih dengan kehidupan rakyat jelata di Uni Soviet saat dan setelah perpecahan melanda negara itu? Kamu bisa menemukannya lewat film-film Sergei Loznitsa. Sutradara asal Ukraina ini lebih sering bergulat di genre dokumenter, dokufiksi, dan neorealisme. Beberapa karyanya yang paling fenomenal antara lain Donbass (2018), Maidan (2014), State Funeral (2019), A Gentle Creature (2017), dan Babi Yar. Context (2021). Film terbarunya The Invasion (2014) direncanakan tayang perdana di Cannes Film Festival 2024. 

4. Andrea Arnold hadirkan sisi lain Inggris yang jarang terekspos media arus utama

Cow (dok. MUBI/Cow)

Sisi lain Inggris yang tak terekspos media mainstream bisa kamu temukan dalam film-filmnya Andrea Arnold. Sutradara Inggris ini sering banget mengangkat perspektif kelompok marginal di Inggris, seperti kelas pekerja yang harus berjibaku dengan adiksi dan masalah finansial. Ia juga pernah membuat dokumenter yang menggunakan sudut pandang sapi betina di sebuah peternakan. Untuk berkenalan dengan Arnold, coba tonton Cow (2021), Wasp (2003), dan Fish Tank (2009). 

5. Kaouther Ben Hania kritisi negaranya dengan cara yang unik dan menggugah

Beauty and the Dogs (dok. MUBI/Beauty and the Dogs)

Kaouther Ben Hania gak bakal mengecewakanmu, apalagi kalau kamu punya ketertarikan menonton film neorealis. Ben Hania pernah membuat film one-take yang bahas victim blaming dan gagapnya aparat Tunisia atasi kasus kekerasan seksual dalam film Beauty and the Dogs (2017). Ia juga pernah tembus Oscar lewat dua film The Man Who Sold His Skin (2020) dan Four Daughters (2023). Pendekatannya saat meramu cerita beda dengan sutradara lain, unik, segar, dan mindblowing

6. Pedro Costa fokus bahas nasib kelompok marginal terlupakan di Portugal

Horse Money (dok. Sociedade Óptica Técnica/Horse Money)

Sebagian besar dari kita mungkin tak pernah tahu kalau Lisbon, ibukota Portugal itu pernah punya kawasan pemukiman padat penduduk bernama Fontainhas. Banyak dihuni imigran dan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), Costa pun membuat beberapa film yang mewakili suara mereka. Beberapa di antaranya In Vanda's Room (2000), Colossal Youth (2006), Horse Money (2014), dan Vitalina Varela (2019). Film termutakhirnya itu bahkan sempat diajukan jadi submisi resmi Portugal untuk Oscar 2021. 

Namanya juga langka, perspektif alternatif yang ditawarkan keenam sutradara di atas memang susah ditemukan di laman pertama mesin pencarian. Semoga daftar di atas bisa membantumu menemukan film-film berfaedah dan membuka mata, ya. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us