7 Film Drama yang Dibuat dari Perspektif Anak-Anak, Mencerahkan!

Perspektif anak-anak adalah hal yang sudah biasa kamu temukan dipakai dalam karya sinematik. Misalnya dalam film Diary of Wimpy Kid atau serial Anne with an E. Namun, sadarkah kamu kalau perspektif tersebut justru jadi keunikan tersendiri untuk sebuah film?
Anak-anak identik dengan ketidaktahuan, rasa penasaran yang murni, dan kemurnian dari dosa. Ini yang bikin film dengan perspektif anak-anak jadi terasa reflektif. Beberapa bisa memantik diskusi, memperluas wawasan, bahkan membuat kita mempertanyakan kembali tentang mana yang benar dan salah.
Bagaimana bisa? Coba tonton tujuh film drama yang dibuat dari perspektif anak-anak berikut, deh. Pasti langsung paham maksudnya.
1. Softie (2021)

Softie yang saat ini tayang di MUBI dan Klikfilm adalah film Prancis yang memotret kehidupan seorang bocah 10 tahun bernama Johnny. Di usia yang masih amat belia itu, Johnny dibebani banyak masalah karena perceraian orangtuanya, ibu yang cenderung egois dan suka melakukan KDRT, serta kondisi finansial yang serba pas-pasan.
Bukannya fokus belajar dan bermain layaknya anak-anak seusianya, Johnny sering kali harus membantu merawat adik perempuannya dan mengurus sang ibu yang pulang dalam keadaan mabuk. Johnny kemudian menemukan kenyamanan dari dari sang guru dan istrinya yang belum dikaruniai anak.
Softie cukup berani mengangkat isu-isu yang sensitif, mulai dari kekerasan terhadap anak, pola asuh abai, sampai eksplorasi orientasi seksual. Ini bukan film yang heartwarming. Sebaliknya, ini adalah sebuah drama sosial yang mengajak kita merenung.
2. The Crossing (2021)

The Crossing dapat banyak pujian, baik dari segi ide cerita maupun estetika animasinya. Film ini merupakan hasil kolaborasi penulis naskah dan sutradara Florence Miailhe dan Marie Desplechin dengan beberapa pelukis menggunakan media cat minyak.
Dikemas dalam bentuk dongeng, sinema ini sebenarnya mengangkat tema krisis pengungsi. Lakonnya dua kakak beradik, Kyona dan Adriel, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri dari marabahaya.
Film ini mencoba mengingatkan penonton bahwa anak-anak pengungsi merupakan kelompok rentan. Mereka harus mengarungi perjalanan berbahaya yang disertai ancaman perdagangan manusia, prostitusi, hingga perbudakan modern.
3. The Night I Swam (2017)

The Night I Swam lebih minimalis. Ia mengikuti sudut pandang seorang bocah SD asal Jepang yang mengamati keseharian orangtuanya sebelum akhirnya berangkat sekolah sendiri. Ada banyak hal menarik yang terjadi ketika kita melihatnya dari kacamata bocah cilik.
Beda dengan ketika kita mengarungi rute tersebut sendiri, ada kalanya penonton dibikin khawatir akan keselamatan sanh bocah. Ada waktunya pula si bocah bikin kita berjungkit dari kursi karena melakukan sesuatu yang tak kita tahu apa konsekuensi dan tujuannya.
4. A Ciambra (2017)

A Ciambra bukan drama dengan perspektif anak-anak biasa. Sama dengan Softie, sang lakon, Pio juga lahir dari keluarga etnik Roma/Gypsy di Italia yang kondisi finansialnya tidak stabil. Beberapa anggota keluarganya bahkan pernah keluar masuk penjara. Anak-anak di komunitasnya pun sudah terbiasa dewasa sebelum waktunya.
Film ini mengikuti keputusan-keputusan Pio yang mulai beranjak remaja dan ingin membantu ekonomi keluarganya. Termasuk ketika ia mengikuti kecenderungan orang dewasa di komunitasnya yang mencari penghasilan dengan cara-cara ilegal.
5. I Wish (2011)

I Wish adalah film keluarga Jepang yang cukup unik karena memadukan realisme dengan narasi yang impulsif, hampir seperti fantasi. Lakonnya, dua kakak beradik yang tak terpisahkan. Kehidupan nyaman mereka berubah ketika orangtua mereka bercerai dan keduanya pun harus ikut terpisah.
Sang kakak tinggal bersama ibu, sementara sang adik ikut sang ayah tinggal di kota lain. Lama tak bertemu, sang kakak menemukan cara untuk bisa bertemu adiknya dengan bantuan kakek mereka.
6. Boy (2010)

Karya debut sutradara nyentrik Taika Waititi ini berlatarkan negara asalnya, Selandia Baru. Ia memotret kehidupan etnik Maori pada tahun 1980-an dengan lakon seorang bocah 11 tahun bernama Boy. Sejak kecil, ayahnya dipenjara atas kasus kriminal yang membuat Boy dan saudara-saudaranya tidak pernah mengenal sosok tersebut.
Satu ketika, sang ayah pulang bersama beberapa komplotannya. Boy selayaknya bocah naif memiliki ekspektasi tinggi dan amat memuja ayahnya. Sedikit berbeda dengan saudara-saudaranya yang justru tidak tertarik untuk mengenal sang ayah.
7. Kes (1969)

Salah satu film legendaris asal Inggris, Kes, mengisahkan kehidupan seorang bocah bernama Billy yang lahir dan besar di keluarga pekerja kerah biru. Ia dirundung di sekolah dan jadi korban KDRT di rumah. Untuk mendistraksi diri dari kemalangannya, Billy mengisi waktu luangnya melatih seekor burung yang ia beri nama Kes.
Meski tergolong film low-budget, Kes berhasil memotret nestapa kelas pekerja di Inggris sesuai realitas. Tak heran kalau mereka berhasil menyabet 2 Piala BAFTA. Mahakarya yang sayang kalau dilewatkan.
Sudut pandang anak-anak dalam film benar-benar memberikan perspektif yang segar dan baru untuk penonton. Sebuah pengalaman yang mencerahkan pokoknya. Silakan buktikan sendiri.