Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Intinya sih...

  • Debut film live action Snow White hanya menghasilkan 42,2 juta dolar AS atau setara dengan Rp699,8 miliar selama akhir pekan pembukaannya di Amerika.
  • Live action Snow White yang beranggaran besar harus menghasilkan 500 juta dolar atau setara dengan Rp8,2 triliun, jika ingin mendapat keuntungan.
  • The Little Mermaid, live action Dumbo, Cruella, dan film-film Disney lainnya juga gagal membuat gebrakan di box office.

Remake film live action Disney, Snow White (2025), hanya menghasilkan 42,2 juta dolar AS atau setara dengan Rp699,8 miliar selama akhir pekan pembukaannya di Amerika, seperti yang dilaporkan Box Office Mojo. Debut yang jauh dari ideal untuk sebuah film yang menghabiskan biaya pembuatan senilai 269 juta dolar AS atau setara dengan Rp4,4 triliun.

Ini berarti, live action Snow White meraup pendapatan yang lebih sedikit ketimbang remake film live action Dumbo (2019) yang berhasil memperoleh 45 juta dolar AS atau setara dengan Rp746,2 miliar selama akhir pekan pertamanya. Meski masih awal, tapi pendapatan tersebut cukup jelas bahwa live action Snow White gak akan balik modal.

Banyak pengamat dan netizen yang mengaitkan hal ini dengan banyaknya kontroversi sebelum dan sesudah film live action Snow White rilis. Namun, kritikus berpendapat kalau masalah di balik layar sebenarnya gak memengaruhi penonton untuk tetap menonton film live action Snow White. Kritikus pun mengaitkan bahwa adanya masalah yang lebih serius hingga live action Snow White gak diminati, bahkan di awal pembukaannya.

Apalagi, film remake Disney dibuat untuk mencari keuntungan. Jadi, kenapa remake live action Snow White ini justru jauh tertinggal dari film animasinya yang sukses besar, Snow White and the Seven Dwarfs (1937)? Film animasi klasik ini bahkan menjadi film terlaris Disney dan film berpengaruh lintas generasi yang gak lekang di makan usia.

Nah, kali ini, kita akan membahas masalah eksternal live action Snow White yang rupanya gak bisa diatasi House of Mouse. Gak hanya itu, ada juga masalah yang timbul dari produksi live action Snow White itu sendiri. Inilah alasan live action Snow White gagal total di box office.

1. Produksi Snow White makan waktu yang terlalu lama, tetapi hasilnya gak sesuai ekspektasi

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Pada Mei 2019, Marc Webb diumumkan sebagai sutradara live action Snow White. Proyek ini menghabiskan waktu selama 6 tahun, karena proses syutingnya mengalami penundaan. Setelah akhirnya ditetapkan untuk mulai syuting pada Juli 2020, proses syutingnya kembali ditunda hingga Maret 2022, tiga tahun sebelum rilis teatrikalnya. Kemudian, live action Snow White dijadwalkan akan dirilis pada Maret 2024, tetapi ditunda lagi hingga akhirnya rilis pada Maret 2025.

Jika dilihat dari banyaknya penundaan, sudah bisa ditebak kalau film ini memperhitungkan segalanya secara matang. Sebagai perbandingan, Disney mengumumkan remake live action Lion King kurang dari 3 tahun sebelum akhirnya dirilis pada Juli 2019. Pengumuman casting pertama untuk remake live action Lilo & Stitch dilakukan hanya dua tahun sebelum dirilis pada Mei 2025. Bisa bayangkan kalau live action Snow White butuh waktu lebih lama daripada proyek Disney lainnya.

Di sisi lain, penundaan tersebut juga ada hubungannya dengan pandemik COVID-19 yang menghentikan industri hiburan. Namun, Disney membuat kesalahan karena pembuatan Tujuh Kurcaci dengan efek CGI hanya memakan waktu 17 bulan saja sebelum film tersebut tayang di bioskop. Itu sebabnya, efek CGI-nya dinilai gak bagus-bagus amat.

2. Anggaran film live action Snow White terlalu besar

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Live action Snow White adalah film Disney yang beranggaran besar, yaitu 269 juta dolar AS atau setara dengan Rp4,4 triliun, sebagaimana dilansir Forbes. Anggaran yang jauh lebih mahal ketimbang anggaran live action Beauty and the Beast (2017), yang hanya 160 juta dolar AS atau setara dengan Rp2,6 triliun.

Itu berarti, live action Snow White harus menghasilkan 500 juta dolar atau setara dengan Rp8,2 triliun, jika ingin mendapat keuntungan. Pasalnya, live action Alice in Wonderland (2010), Aladdin (2019), Dumbo (2019), dan Cruella (2021), yang anggarannya di bawah live action Snow White, bisa menghasilkan Rp8,2 triliun secara global. Kalau tidak, live action Snow White akan rugi besar.

Akhir-akhir ini, film-film blockbuster gak berani lagi mengeluarkan biaya produksi senilai jutaan dolar. Jadi bisa dibilang, Disney cukup nekat untuk membuat live action Snow White dengan anggaran besar ini. Itu sebabnya, anggaran yang salah perhitungan ini membuat peluang live action Snow White gak sukses di box office sejak awal perilisannya.

3. Disney membuat keputusan keliru dengan mengubah kisah Snow White gak berdasarkan film animasi klasiknya

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Remake live action Disney, yaitu Beauty and the Beast (2017) dan Aladdin (2019) menjadi film live action yang ditunggu-tunggu penggemar Disney. Di sisi lain, film yang diadaptasi dari dongeng Grimm Bersaudara berjudul Snow White ini, hadir di layar lebar dengan film Mirror Mirror (2012) dan Snow White & The Huntsman (2012). Meski begitu, dua film ini bukan produksi Disney dan gak diangkat dari film animasi Disney berjudul Snow White and the Seven Dwarfs.

Itulah sebabnya, remake live action Snow White karya Marc Webb sangat ditunggu-tunggu penggemar Disney. Sayangnya, sejak pertama kali diumumkan, live action Snow White bersikeras mengubah beberapa alur cerita, yang berbeda dengan versi film animasi klasiknya. Bahkan, live action Snow White karya Disney memasukkan adegan-adegan yang mirip dengan film Mirror Mirror dan Snow White & The Huntsman, seperti ketika Tujuh Kurcaci menyelinap ke istana Evil Queen. Itulah sebabnya, remake live action Snow White gak terlalu istimewa bagi para penonton.

4. Disney keliru dengan memilih nama Gal Gadot untuk peran Evil Queen

cuplikan adegan yang diperankan Gal Gadot dalam film Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Dalam membuat remake live action, Disney biasanya memilih pemain yang gak terlalu dikenal sebagai pemeran utamanya, dan memilih aktor kawakan untuk menjadi pemeran pendukung. Contohnya saja Mia Wasikowska dan Johnny Depp dalam Alice in Wonderland, Mena Massoud dan Will Smith dalam Aladdin, serta Lily James dan Cate Blanchett dalam Cinderella. Nah, live action Snow White juga mengikuti tradisi yang sama, seperti dipilihnya Rachel Zegler sebagai pemeran utama.

Sayangnya, produser memilih Gal Gadot yang dianggapnya setara dengan Johnny Depp, Will Smith, dan Cate Blanchett, yang lagi-lagi salah perhitungan. Meskipun begitu, nama Gal Gadot memang sangat sukses sejak berperan sebagai Wonder Woman dalam film Wonder Woman (2017). Sayangnya, film-film Gal Gadot setelah Wonder Woman, seperti Wonder Woman 1984 (2020), Red Notice (2021), dan Heart of Stone (2023), mendapat kritikan pedas dari kritikus, bahkan dicemooh.

Gak sampai disitu, dukungan Gal Gadot terhadap Israel, mengingat dia orang Yahudi dan lahir di Israel, membuat netizen geram dan gak terima. Jadi, hadirnya Gal Gadot dalam live action Snow White sebenarnya gak memberikan keuntungan apa pun di box office. Malah justru sebaliknya. Apalagi seruan boikot live action Snow White di seluruh dunia, semakin membuat film ini terpuruk.

5. Antusias masyarakat memudar untuk menonton film-film remake yang diangkat dari kisah klasik

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

The Little Mermaid (2023) dibuka dengan pendapatan yang mengesankan, yaitu sebesar 117,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,9 trilium selama 4 hari libur dalam Memorial Day di Amerika, tetapi tetap saja film ini masih dianggap merugi. Hal ini terjadi setelah live action Dumbo dan Cruella gagal membuat gebrakan di box office.

Live action Mulan (2020) juga menuai kontroversi dan gak terlalu memikat publik. Di samping itu, film Disney+, Peter Pan & Wendy (2023) dan Pinocchio (2022), juga gak mendapat perhatian masyarakat. Jadi bisa dibilang, Disney sudah cukup terpuruk dalam membuat remake live action dari film-film animasi klasiknya.

Lantas, apa masalahnya? Apakah film-film live action Disney ini gak lagi diminati, atau apakah, seperti film-film Marvel, yang hanya populer diawal saja dan memudar seiring berjalannya waktu? Sebenarnya, ada dua kemungkinan.

Faktanya, live action Snow White terasa biasa saja pada 2025, sedangkan film animasi Snow White and the Seven Dwarfs punya daya tarik yang besar karena menjadi film animasi panjang dan berwarna pertama dalam sejarah. Jadi wajar, masyarakat pada waktu itu berbondong-bondong untuk nonton. Bisa jadi, masyarakat sudah bosan dengan kisah-kisah lama, meskipun remake-nya dibuat berbeda. Sampai-sampai, nama besar sekelas Disney saja bisa merugi di box office.

6. Komentar negatif dari mulut ke mulut membuat live action Snow White hanya mendapat nilai B+, dan hal ini memengaruhinya di box office

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Nilai F yang diberikan CinemaScore untuk sebuah film biasanya bisa menenggelamkan film tersebut dengan cepat. Film horor, misalnya, dapat nilai D+ saja dari CinemaScore, bisa langsung hilang bak ditelan bumi. Genre yang lebih umum dan ramah penonton, biasanya harus meraih nilai A, jika gak mau kena masalah. Itulah yang terjadi dengan film live action Snow White.

Selama akhir pekan pembukaannya, live action Snow White hanya mendapat nilai B+ dari CinemaScore. Memang gak buruk-buruk banget, tetapi hampir semua remake live action Disney selalu mendapat nilai di kisaran A. Namun, gak semua penonton menyambut live action Snow White dengan acuh tak acuh, penonton perempuan maupun penonton di bawah 18 tahun, memberikan nilai A- di CinemaScore, untuk film live action Snow White.

Mendapat nilai B+ bukanlah nilai terburuk untuk sebuah film keluarga. Akan tetapi, nilai ini mencerminkan masalah produksi film itu sendiri, yang memperjelas bahwa live action Snow White memang penuh kontroversi dan mengejutkan semua orang di box office.

7. Snow White adalah putri Disney yang gak terlalu diidolakan dibandingkan putri Disney lainnya

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Di antara semua ulasan negatif live action Snow White, satu ulasan positif justru datang dari Rachel Zegler yang memerankan Snow White. Aktris berbakat yang memamerkan kemampuan aktingnya dalam film West Side Story (2021) ini, rupanya menerima pujian positif untuk bakat menyanyinya maupun aktingnya yang memikat di layar. Meski begitu, aktris berbakat ini gak cukup sukses menarik banyak orang agar menonton dirinya.

Adapun, karakter Snow White memang sering kali diremehkan dan gak punya basis penggemarnya sendiri. Banyak kritikus yang membenarkan hal ini dengan menunjukkan bahwa Snow White gak punya kepribadian yang unik dalam film animasinya. Intinya, gak ada pencapaian yang bisa diraih Snow White, selain dikejar-kejar ibu tirinya yang jahat, diracuni hingga tertidur, dan hanya menunggu cinta sejati yang membangunkannya dari tidur panjangnya.

Mendiang kritikus film terkenal, Roger Ebert, bahkan pernah bilang. "Snow White and the Seven Dwarfs karya Walt Disney akan cepat dilupakan setelah pemutaran perdananya pada 1937. Film animasi ini dihargai hanya karena alasan historis saja, sebagai film animasi berwarna pertama berdurasi panjang. Snow White, bisa dibilang agak membosankan."

Sejak dirilisnya film animasi Snow White and the Seven Dwarfs pada 1937, Disney justru berfokus dengan kurcaci dalam film animasi tersebut, seperti Doc, Grumpy, Dopey, dan kurcaci lainnya. Tujuh Kurcaci ini bahkan dibuat wahana roller coaster-nya di taman hiburan Disney. Ada juga spin off The 7D (2014—2016), yang menceritakan Tujuh Kurcaci, ketimbang Snow White itu sendiri. Di samping itu, Snow White gak punya basis penggemar yang setara dengan putri-putri Disney lainnya.

8. Masyarakat lebih suka remake live action Disney era 90-an hingga 2000-an

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Biasanya, remake film-film dari Era Renaisans Disney (era 1989—1999), terkenal lebih baik dan sukses daripada remake film-film animasi klasik Disney. Namun, terkecuali live action The Jungle Book dan Alice in Wonderland. Pasalnya, Disney meraup kesuksesan besar berkat film live action Beauty and the Beast, Aladdin, dan The Lion King, yang menunjukkan bahwa penonton lebih tertarik dengan film animasi Disney era 1990-an ketimbang pada dekade-dekade sebelumnya. 

Pasalnya, anak-anak yang tumbuh di era 90-an, kebanyakan tumbuh dengan menonton film-film animasi Disney di era tersebut. Belum lagi, kebanyakan generasi 90-an, sudah menjadi orangtua dan tentu saja rela pergi ke bioskop bersama anak-anak mereka jika Disney membuat remake live action dari film-film animasi era 90-an ini.

Sebagai contoh, kesuksesan teaser trailer Lilo & Stitch. Pasalnya, hanya dalam 24 jam, trailer tersebut menjadi trailer live action Disney kedua yang paling banyak ditonton dengan 158 juta penayangan, setelah teaser trailer The Lion King. Sebuah rekor yang mencerminkan bagaimana penonton lebih menyukai remake live action Disney di era milenial dan gen Z. Itu kenapa live action Snow White harus berjuang mati-matian di box office.

9. Promosi live action Snow White gak digemborkan oleh Disney

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Meskipun perilisan live action Snow White sempat ditunda, pemasarannya justru sangat mepet dengan tanggal rilis filmnya. Iklan dan promosi live action Snow White baru digemborkan setelah filmnya dirilis. Berbeda dengan The Jungle Book, debut trailer teatrikalnya ditayangkan selama Super Bowl 2016.

Selang 3 tahun kemudian, debut trailer Aladdin dimunculkan di Grammy Awards, lengkap dengan penampilan Genie yang diperankan Will Smith. Setelah pandemik COVID-19, The Little Mermaid rilis di bioskop dengan trailernya di putar perdana selama acara Oscar.

Nah, live action Snow White sendiri gak menerima pemasaran seperti itu. Menjelang perilisannya, bahkan muncul artikel yang mempertanyakan ke mana merek produk untuk film andalan ini. Sementara itu, acara TV besar pada Februari 2025, seperti Grammy dan Super Bowl, gak menampilkan iklan live action Snow White sama sekali. Bahkan, taman hiburan Disney hanya mempromosikan Snow White dengan setengah hati. Jadi, kurangnya promosi Disney untuk live action Snow White, menjadi salah satu faktor mengapa film ini gagal di box office. 

10. Kontroversi tentang penggambaran Tujuh Kurcaci

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Sejak Disney mengumumkan akan membuat live action Snow White, banyak yang mempertanyakan bagaimana Disney akan menggambarkan Tujuh Kurcaci. Aktor dengan dwarfisme (kelainan genetik yang membuat seseorang kerdil), menyuarakan pendapat mereka. Salah satunya aktor Jason "Wee Man" Acuña yang gak setuju jika Tujuh Kurcaci dibuat dengan efek CGI. Lalu alumni Game of Thrones, Peter Dinklage, yang bilang kalau ia merasa dihina jika Disney gak menggunakan aktor dwarfisme dan lebih memilih efek CGI.

Nah, karena Disney memilih untuk menampilkan para kurcaci menggunakan efek CGI, banyak komentar negatif yang mengarah pada film live action Snow White. Itu sebabnya, Disney gak menampilkan Tujuh Kurcaci dalam poster filmnya. Gak hanya itu, Disney juga bikin geram netizen karena pengisi suara Tujuh Kurcaci juga bukan aktor dwarfisme. 

Sepertinya, 2025 memang menjadi tahun yang sulit bagi banyak industri, gak terkecuali industri hiburan besar sekelas Disney. Sungguh disayangkan, live action Snow White gagal di box office, padahal film ini gak punya saingan yang sepadan dengan anggaran besar yang dikeluarkan Disney, contohnya saja Novocaine (2025), yang juga gak tembus box office. Yap, 10 alasan di atas memang menjadi faktor utama kenapa live action Snow White gagal. Apa kamu punya tambahan lain?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team