3 Sineas Indonesia Bagi Pengalaman buat Film Pendek

Alumni Sundance Film Festival, lho

Jakarta, IDN Times - Sebelum resmi dimulai pada tanggal 23-26 September 2021 mendatang, Sundance Film Festival: Asia 2021, mengadakan sebuah webinar pembuka pada 17 September 2021 bertajuk “Focus on Indonesian Short Filmmaking". Beberapa sutradara dan produser film pendek kontemporer sukses asal Indonesia berkumpul untuk berbagi mengenai film pendek, bertukar cerita tentang pengalaman mereka, dan bagaimana membawa karya mereka ke panggung internasional.

Nama-nama yang hadir sebagai panelis, yang juga merupakan alumni Sundance Film Festival, yakni Wregas Bhanuteja (Tak Ada yang Gila di Kota Ini) dan Aditya Ahmad (Kado), serta produser Meiske Taurisia (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang baru saja memenangkan penghargaan Golden Leopard). Percakapan ini dimoderatori oleh Ernesto Foronda, mantan Programmer Sundance Film Festival Shorts yang kini menjabat sebagai Head of Features di Perfect Storm Entertainment (the Fast and Furious franchise, STAR TREK BEYOND).

1. Wregas dan Tak Ada yang Gila di Kota Ini

3 Sineas Indonesia Bagi Pengalaman buat Film PendekFilm Tak Ada yang Gila di Kota Ini

Raphael Wregas Bhanuteja, seorang alumni Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia adalah sutradara film pertama di Indonesia yang mendapatkan penghargaan film pendek terbaik di Semaine de la Critique, Festival Film Cannes 2016 dengan film pendeknya yang berjudul Prenjak. Banyak penghargaannya yang lain, seperti Leica Cine Discovery Prize, Cinema Nova Awards Best Short Film Melbourne International Film Festival 2016, Piala Citra Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2016, Silver Screen Awards Best Short Film Singapore International Film Festival 2016, dan Best Short Film Prague Short Film Festival 2016.

Ia juga merupakan seorang sutradara termuda di kompetisi 65th Berlin International Film Festival 2015 dalam kategori Berlinale Shorts Competition. Saat itu, ia masih berusia 22 tahun. Wah, turut bangga! Satu dari sekian banyak karyanya adalah Tak Ada yang Gila di Kota Ini, sebuah film pendek yang ia adaptasi dari cerita pendek karya Eka Kurniawan. Kisah tentang orang-orang yang tersisih dan dianggap gagal oleh masyarakat, bagi Wregas, selalu menjadi tema yang menarik, termasuk cerita mereka yang mengalami masalah kejiwaan.

2. Aditya dan Kado

3 Sineas Indonesia Bagi Pengalaman buat Film PendekFilm Kado

Di diskusi kali ini, ada pula Aditya Ahmad, yang memulai perjalanan di dunia perfilman melalui film Sepatu Baru. Mulanya, karya itu dibuat sebagai syarat kelulusannya di Institut Kesenian Makassar. Namun, film itu rupanya berhasil mendapat sejumlah apresiasi positif, seperti Special Mention dalam kategori Generation Kplus di Festival Film Internasional Berlin, Berlinale. Tak hanya itu, Adit pun mengantongi predikat Sutradara Film Pendek Asia Tenggara Terbaik di ajang Festival Film Internasional Singapura 2014.

Film pendek berjudul Kado yang muncul di berbagai festival film internasional, antara lain Sundance International Film Festival 2019, Venice International Film Festival 2018, dan Melbourne International Film Festival 2019, punya cerita di balik pembuatannya. Film berdurasi 15 menit karya sutradara muda Aditya yang juga diproduksi bersama produser Mira Lesmana pada 2018 ini mengeksplorasi identitas seorang insan muda bernama Isfi, yang mempersiapkan hadiah ulang tahun untuk temannya, Nita. Kado membawa pesan bahwa semua manusia adalah kado spesial dari Tuhan dan manusia seharusnya juga menjadi kado untuk sesama ciptaan Tuhan yang lainnya.

3. Meiske, produser film berlatar belakang Arsitektur dan Desain Tekstil

3 Sineas Indonesia Bagi Pengalaman buat Film PendekCuplikan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (dok. Palari Films)

Meiske Taurisia adalah seorang produser film dengan latar belakang pendidikan Arsitektur dan Desain Tekstil. Awalnya, ia bekerja sebagai desainer tekstil di Bandung dan Jakarta, hingga pada 2004, ia berhasil menyelesaikan studi magister Fashion, Design and Strategy di ArtEZ University of the Arts di Arnhem, Belanda. Keterlibatannya pada dunia film dimulai pada 2005 saat menjadi penata kostum di sejumlah film panjang Indonesia, yakni Garasi (2006), 3 Hari untuk Selamanya (2006), The Photograph (2007).

Tahun 2016, ia mendirikan Palari Films bersama produser film Muhammad Zaidy. Berbasis di Jakarta, pada 2021, Palari Films merilis film dua film berjudul Ali & Ratu Ratu Queens dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bercerita tentang Ajo Kawir, seorang jagoan yang tak takut mati. Hasratnya yang besar untuk bertarung didorong oleh sebuah rahasia—ia impoten. Ketika berhadapan dengan seorang petarung perempuan tangguh bernama Iteung, Ajo babak belur hingga jungkir balik karena dia jatuh cinta. Wah, bagaimana, dong?

4. Film pendek, film yang spontan, nyata, dan penuh kejutan

3 Sineas Indonesia Bagi Pengalaman buat Film Pendek(Dok. IDN Media/Herka Pangaribowo)

Menurut ketiganya, film pendek merupakan salah satu jenis karya film yang straight to the point. "Pada umumnya, pembuat film pendek mengolah hal-hal yang mereka sendiri alami menjadi sebuah karya," sebut Meiske. Mengamini hal itu, Wregas mengungkapkan, "Memang betul. Lembusura, misalnya. Kalau saat itu Gunung Kelud tidak meletus dan tak ada hujan abu di Yogya, film itu tak akan pernah ada, saya rasa. Saat itu, saya sedang di tengah proses shooting, namun karena tiba-tiba hujan abu turun, saya pun tak bisa beraktivitas. Untuk mengisi waktu, saya mengumpulkan footages hujan abu itu seoptimal mungkin, lalu menggabungkannya dengan tarian teman yang berperan sebagai tokoh Lembusura. Tanpa skenario atau apapun, jatuhnya lebih ke spontan saja.”

Menambahkan keterangan dari keduanya, Aditya menyatakan, “Makanya, saya selalu bilang bahwa film pendek itu memang berbeda. Spontan, nyata, dan penuh kejutan. Saya sempat dilarang untuk bersekolah di bidang perfilman oleh orang tua saya karena di Indonesia sendiri, saat itu, belum banyak sekolah perfilman yang ternama. Apalagi, saya berada di Makassar, sebuah kota kecil yang tentu jauh kalau dibandingkan dengan Jakarta, terutama dari segi infrastruktur. ‘Mau jadi apa?’ tanya orang tua saya. Namun, saya nekat ingin mengejar apa yang saya gemari. Saya maju terus, tekun belajar membuat film pendek. Belajar dari kekurangan. Perlahan, hal ini pasti akan berbuah baik.”

5. Tunjukkan keberagaman masyarakat dalam film yang dibuat

3 Sineas Indonesia Bagi Pengalaman buat Film PendekGoogle

Sebagian besar orang mungkin akan bertanya, “Bagaimana saya memulainya?” Menjawab rasa penasaran orang-orang, Meiske menjawab secara singkat, “Bagi saya secara pribadi, mulailah dengan membuat film pendek. Sebagus-bagusnya, seoptimal-optimalnya.” Hal ini juga disetujui oleh kedua sutradara muda yang menghadiri diskusi kick-off di Sundance Film Festival: Asia 2021 ini. Bagaimana tidak? Wregas mengetahui passion-nya semenjak dirinya duduk di bangku SMP dan Aditya mengenali kegemarannya itu saat ia duduk di bangku SMA. Tak tunggu lama, keduanya mulai mengasah kemampuannya sejak saat itu dengan memberikan karya terbaik mereka saat mengerjakan tugas akhir.

Namun, di sisi lain, koneksi juga menjadi salah satu kunci lain yang tak boleh dilupakan. “Cobalah masukkan karyamu ke festival. Temui orang-orang baru di sana, seperti feature labs, programmers, producers across the globe. It will always get you somewhere, trust me. Apalagi dengan segala sesuatunya yang sudah serba virtual ini. Ini tentu memudahkan kita,” tegas Meiske. “Kalau dari aku pribadi, menunjukkan realitas diversity di lingkungan kita itu selalu menjadi one of the best ingredients. Selamat mencoba,” pungkas Wregas.

Topik:

  • Amelia Rosary

Berita Terkini Lainnya