TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

3 Alasan Musik Rock Tak Lagi Merajai Tangga Lagu

Pendengar jadi penentunya?

Mike Shinoda dari Linkin Park (instagram.com/linkinpark)

Musik rock pernah jadi genre mainstream pada 1980--2000-an. Kamu yang pernah merasakan masa adolescent pada era itu pasti hafal betul nama-nama macam Pink Floyd, Nirvana, The Smiths, Joy Division, Oasis, Blur, Linkin Park, Red Hot Chili Peppers, Panic! At the Disco, Fall Out Boy, dan lain sebagainya.

Dari daftar di atas, hanya ada beberapa yang masih langgeng. Sisanya harus takluk oleh gerusan zaman atau bubar karena konflik internal. 

Beberapa band rock yang lebih baru, yakni yang terbentuk pada 2000-an masih berkeliaran di industri musik. Namun, tak sedikit yang memilih untuk bergeser ke genre yang lebih disukai saat ini. Sebut saja Paramore, OneRepublic, Coldplay, dan 5 Seconds of Summer. 

Apa yang menyebabkan kemunduran musik rock? Berikut tiga alasan terbesarnya. 

 

 

Baca Juga: 6 Band Rock Alternatif Pindah Haluan ke Pop Elektro, Ada Coldplay

1. Format band yang jadi tulang punggung musik rock punya kerumitan tersendiri

konser Linkin Park (instagram.com/linkinpark)

Kebanyakan musisi rock menggunakan format band, yakni terdiri dari beberapa orang yang mengisi posisi yang berbeda-beda tergantung instrumen musik yang mereka butuhkan untuk meramu lagu. Format ini tampak ideal dari luar, tetapi sebenarnya menciptakan dinamika yang jauh lebih rumit dibanding musisi yang berkarya secara solo. 

Intinya, band harus menyatukan beberapa kepala jadi satu. Personel band dituntut merendahkan egonya, mau berkompromi, dan saling menghormati. Tidak seperti penyanyi solo yang bisa lebih luwes mengganti anggota band pengiringnya, anggota tetap band dituntut untuk tampil bersama hampir setiap saat. Ditambah dengan rutinitas musisi yang harus tur dan bepergian dengan frekuensi tinggi, tak sedikit anggota band yang memilih untuk mengakhiri komitmen.

Saat satu orang memilih keluar atau meninggal, ada kecenderungan band akan membubarkan diri atau vakum lama. Pernah dan sedang terjadi pada Joy Division, Nirvana, Linkin Park, dan Panic! At the Disco. Tak terhitung pula band yang mengalami konflik internal, layaknya yang terjadi pada Oasis dan The Smiths. Intinya, band butuh komitmen banyak pihak yang susah dipenuhi. Beda dengan musisi solo yang manajemennya jauh lebih sederhana. 

2. Penemuan teknologi baru dalam proses produksi musik 

band Yonaka (instagram.com/weareyonaka)

Melansir Neal Sawyer dari Reader's Digest, keberadaan teknologi dalam musik mengubah banyak hal dalam aspek produksi musik. Bila dulu orang harus memainkan drum langsung untuk menciptakan sebuah suara, kini banyak instrumen elektronik dan perangkat lunak yang memungkinkan seseorang membuatnya tanpa harus menyentuh drum. Bahkan dengan bantuan audio editing software saat ini, musik bisa diramu dari benda dan alat sehari-hari.

Kini satu orang bisa dengan lebih mudah membuat aransemen lagu tanpa butuh rekan satu band. Ini yang kemudian menjelaskan kemunculan produser-produser musik EDM yang berkarya secara mandiri (atau setidaknya berformat duo) macam Zedd, Diplo, Mura Masa, Avicii, Yellow Claw, Alan Walker, NOTD, dan lainnya. 

Singkatnya, membuat musik secara digital terbukti lebih murah dan cepat. Cara-cara organik yang dentik dengan musik rock pun mulai ditinggalkan. Apalagi dengan kompetisi yang makin ketat, label musik pun akan melakukan berbagai cara untuk menghemat budget produksi. 

Baca Juga: 10 Album Rock Klasik Terbaik yang Wajib Kamu Dengarkan, Inspiring! 

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya