TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

6 Film yang Angkat Keluhan Milenial dan Gen Z, Kamu Merasakan?

Relevan buat banyak orang

The Worst Person in the World (dok. Oslo Pictures/The Worst Person in the World)

Banyak stigma buruk yang melekat pada milenial dan gen Z. Mulai dari manja, narsis, boros, malas, sampai oversensitif adalah beberapa selentingan yang sering terdengar, bahkan digaungkan secara luas di media.

Tidak sepenuhnya benar maupun salah, ada banyak hal di luar kuasa milenial dan gen Z yang membentuk beberapa sikap tersebut. Misalnya, inflasi yang tidak terkontrol, disrupsi teknologi, keterbatasan sumber daya, meningkatnya awareness soal kesehatan mental, hingga situasi tertentu yang memaksa mereka jadi generasi sandwich

Milenial dan gen Z biasanya menggunakan media sosial untuk membela diri dan menjelaskan situasi mereka. Namun, tak sedikit yang menggunakan film sebagai media efektif untuk mengeluh dan mencurahkan kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Seperti enam rekomendasi film berikut ini, nih!

Baca Juga: 7 Film Coming of Age Mirip Are You There God? It's Me, Margaret

1. The Worst Person in the World (2021)

The Worst Person in the World (dok. Oslo Pictures/The Worst Person in the World)

The Worst Person in the World memotret kehidupan milenial bernama Julie (Renate Reinsve) yang punya banyak opsi dalam hidupnya hingga membuat penonton kesal sendiri. Ditambah berbagai privilese yang ia punya, Julie dengan mudah berganti karier dan pasangan.

Sampai akhirnya ia menemukan ketenangan dengan dirinya sendiri. Karakter Julie didesain sebagai protagonis yang tak mudah disukai penonton, tetapi dengan jitu menggambarkan kebimbangan ala anak muda di era modern. Film ini berhasil meraih 2 nominasi Oscar 2022, yakni Naskah Orisinal Terbaik dan Film Fitur Internasional Terbaik. 

2. Actual People (2021)

Actual People (dok. MUBI/Actual People)

Actual People kurang lebih menyenggol isu yang sama dengan The Worst Person in the World. Lakonnya Riley (Kit Zauhar), gen Z yang hanya menunggu waktu untuk dinyatakan lulus dari kampusnya, tetapi terdistraksi dengan banyaknya opsi yang mengelilinginya. Apalagi ia tinggal di New York yang penuh hingar bingar.

Bersama beberapa rekannya, Riley sering berbagi keluhan yang mungkin relevan buat banyak penonton seusianya. Film ini ditulis dan disutradarai sendiri oleh Kit Zauhar yang juga memerankan protagonis utamanya. 

Baca Juga: 7 Film Coming-of-Age dengan Karakter Berusia Matang

3. The African Desperate (2022)

The African Desperate (dok. MUBI/The African Desperate)

Masih mengusung tema serupa, The African Desperate dibuka dengan adegan ketika Palace (Diamond Stingily) melakoni ujian untuk dapat gelar pendidikan master jurusan seni. Namun, ujiannya tak berjalan sesuai ekspektasi.

Dosen-dosen pengujinya justru fokus ke identitasnya sebagai seorang kulit hitam ketimbang karyanya. Setelah ujian pun, Palace masih harus menghadapi kenyataan kalau ia tak lagi berstatus mahasiswa dan otomatis kehilangan banyak akses dan privilese yang selama ini ia genggam. 

4. Aloners (2021)

Aloners (dok. MUBI/Aloners)

Berlatarkan Korea Selatan, tak banyak privilese yang tersemat pada lakon film ini bila dibanding tiga film sebelumnya yang berlatar negara Barat. Jina (Gong Seung Yeon) diceritakan sebagai perempuan muda yang bekerja di sebuah pusat bantuan untuk sebuah perusahaan perbankan. 

Ia menjauh dari orangtuanya karena satu alasan dan seperti tipikal orang Korea, enggan pula menjalin relasi dengan rekan sekantor maupun tetangganya. Hidupnya terisolasi sampai ia ditugaskan membantu pegawai magang yang mencoba menembus tembok tinggi yang sudah dibangun Jina. Film ini mencoba meneropong dampak kapitalisme dan budaya individualis di Korsel lewat kacamata generasi muda. 

5. Youth (Spring) (2023)

Youth (dok. Unifrance/Youth)

Youth (Spring) memotret kehidupan anak muda di belahan dunia lain yang tak punya banyak privilese layaknya anak muda di negara maju. Latar filmnya terisolasi di sebuah pabrik di China yang kebanyakan pegawainya masih berusia remaja dan awal 20-an. 

Proses pengambilan gambarnya dilakukan selama 2014—2019 dan fokus pada dialog natural serta static-shot. Berformat dokumenter, ini film terbaik untuk memahami tantangan yang dihadapi anak muda dari masa ke masa. Salah satunya kondisi kerja dan gaji yang relatif tak lebih baik, tetapi tak sebanding dengan biaya hidup yang terus merangkak naik.

Baca Juga: 5 Film tentang Kesehatan Mental di Netflix untuk Sarana Edukasi

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya