TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Minor Detail, Memahami Politik Apartheid Israel Lewat Novel

Perspektif langka dalam karya sastra

Minor Detail (instagram.com/fitzcarraldoeditions)

Konflik di Palestina-Israel kembali memanas Oktober 2023 ini setelah Hamas melakukan Operasi Badai Al Aqsa. Melansir Al Jazeera ini dilakukan sebagai bentuk protes atas perlakuan tak adil dan intimidasi yang dilakukan otoritas Israel terhadap etnik Arab Palestina selama bertahun-tahun di Gaza dan semua wilayah yang sudah dikuasai Israel secara umum. 

Amnesty International dan Human Rights Watch menggunakan istilah apartheid untuk menamai kebijakan diskriminatif tersebut. Sama dengan yang pernah terjadi di Afrika Selatan dan Namibia pada 1940--1990-an. Meski catatan kasusnya sudah dirangkum oleh banyak organisasi HAM, tak banyak yang mengangkat masalah ini dalam karya fiksi. Padahal, karya sastra atau fiksi juga punya perannya sendiri dalam mengangkat diskursus soal isu tertentu.

Menurut beberapa riset yang dibahas Christine Seifert dalam tulisannya di Harvard Business Review berjudul "The Case for Reading Fiction", membaca fiksi bisa meningkatkan empati, memahami orang lain, dan mendorong berpikir kritis. Lebih spesifik yang membaca fiksi cenderung tidak mengutamakan cognitive closure (kebutuhan untuk mendapatkan simpulan definitif). Hal yang secara tidak langsung mendorong orang untuk lebih kreatif, berpikir dengan kepala dingin, dan bijak. Kualitas-kualitas yang berkaitan erat dengan kepemilikan intelegensi emosional (EQ) tinggi. 

Bila membaca berita soal konflik politik apartheid Israel-Palestina justru membuatmu skeptis dengan netralitas media, coba temukan perspektif baru dari novel berjudul Minor Detail karya Adania Shibli. Apa saja yang dibahas di dalamnya? Seberapa perlu kamu membacanya. Ini beberapa cuplikan ulasannya.

1. Minor Detail terdiri dari dua novela dengan latar waktu berbeda

Minor Detail (instagram.com/ndpublishing)

Minor Detail merupakan buku tipis yang dibagi Shibli jadi dua bagian dengan latar waktu dan sudut pandang berbeda. Bagian pertama berlatar tahun 1948–1949 ketika tentara Israel menggusur ratusan ribu warga Arab Palestina dari tempat tinggal mereka. Kejadian itu dirayakan Israel sebagai kemenangan atas Perang Kemerdekaan. Di sisi lain, orang Arab Palestina mengenangnya sebagai tragedi Nakba. 

Shibli menceritakan ulang peristiwa tersebut lewat sudut pandang seorang pimpinan militer Israel tanpa nama. Ketika bertugas menyisir sebuah wilayah bersama anak buahnya, ia bertemu dengan gadis muda Arab Palestina yang terpisah dari keluarganya. Seperti yang sudah bisa ditebak, mereka menyekap dan melecehkannya. 

Beberapa dekade berlalu, seorang perempuan Arab Palestina asal Kota Ramallah, Tepi Barat menemukan secuplik berita soal tindakan bejat tersebut dan tergerak untuk menemukan lebih banyak detail. Perjalanannya melakukan investigasi independen cukup kontemplatif. Lewat kecenderungan sang lakon menutupi identitas aslinya, Shibli secara tak langsung menggambarkan praktik apartheid yang dilakukan otoritas Israel terhadap etnik Arab Palestina. 

2. Adegan kekerasan merupakan cara Shibli mempertahankan elemen realis dalam bukunya

Minor Details (instagram.com/fitzcarraldoeditions)

Buku ini bukan tipe novel yang menawarkan cerita heartwarming. Sebaliknya, layaknya Khaled Hoseini yang sering mengangkat kisah pilu dari Afghanistan, pembaca akan disuguhi berbagai kekelaman yang kemudian terakumulasi jadi kengerian. Menariknya, Shibli tidak menggunakan pilihan kata frontal untuk menggambarkan adegan-adegan kekerasan dalam bukunya. 

Katie da Cunha Lewin dalam ulasannya di Los Angeles Review of Books menjuluki apa yang dilakukan Shibli dengan istilah "koreografi kekerasan". Layaknya penutur cerita profesional pada umumnya, Shibli membangun cerita dengan lebih banyak kata kerja ketimbang kata sifat. Lewat gerak-gerik lakonnya itu, Shibli bisa membangun tempo dan momentum yang pas dalam novelnya. 

Tidak ada yang menyangka bahwa keputusan maupun perilaku yang awalnya terlihat biasa dan cenderung membosankan bisa bertransformasi jadi sesuatu yang berakibat fatal. Ia juga dengan piawai menyingkirkan diksi-diksi eksplisit tanpa mengurangi efek ngeri dan tegang yang hendak ia ciptakan.

Baca Juga: Kronologi Operasi Badai Al-Aqsa, Serangan Hamas yang Kejutkan Israel

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya