TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Pesan dari Kisah Perempuan dan Film yang Perlu Diketahui

Kisah lima panelis di Sundance Film Festival Asia 2021

poster panel diskusi "Women in Film Industry" di Sundance Film Festival: Asia 2021 (dok. SFF Asia 2021)

Sundance Film Festival: Asia 2021 membuka panel diskusi daring mengenai perempuan dan industri film. Panel ini diadakan pada Kamis (23/09/2021) dan diisi oleh Nia Dinata, Susanti Dewi, Gina S. Noer, Sue Surley, dan Amanda Salazar. Panel yang berlangsung selama satu setengah jam ini membahas akses perempuan hingga dampak pandemik bagi industri film.

Pembahasan dalam panel tersebut memberikan beberapa pokok yang dapat diambil. Berikut pesan penting dari panel "Women in Film Industry" bersama lima pembicara ini.

1. Persentase peran perempuan masih kecil tetapi menjanjikan

potret Gina S. Noer (instagram.com/ginasnoer)

23rd Annual Celluloid Ceiling Report menyatakan bahwa terdapat 16% 100 film terlaris 2020 yang disutradarai perempuan. Kenaikan data ini disambut baik oleh Sue Turley, Wakil Presiden Senior untuk pengembangan, produksi, dan strategi kerja sama XRM Media. Sue mengatakan bila keberadaan sutradara perempuan itu juga berpengaruh untuk membukakan akses bagi sineas perempuan lainnya.

"Tanpa sosok-sosok perempuan tersebut, mungkin perkembangan pembuat film perempuan tidak bisa seperti ini sekarang," jelas Sue.

Salah satu contoh dari semangat ini adalah Gina S. Noer. Gina mengatakan kalau dirinya terpengaruh dari sosok seperti, Nia Dinata dan Mira Lesmana. Keberadaan sineas perempuan senior di Indonesia ini juga berperan membukakan jalan bagi Gina untuk bisa semakin menyelam di dunia film.

2. Pentingnya pendanaan untuk mendukung film perempuan

cuplikan panel diskusi daring "Women in Film Industry" (instagram.com/sundanceffasia)

Data tersebut memang menunjukkan angka yang kecil. Namun, perlahan bisa memperbaiki masalah akses perempuan berkarya dan bereksplorasi dalam industri film. Permasalahan yang masih sering ditemui memang ada, terutama pendanaan. Amanda Salazar, Kepala Program dan Akuisisi Argo mengatakan kesempatan di lapangan tidak bisa menampung banyaknya perempuan yang mau terjun ke industri ini.

"[Perempuan] yang mau terjun ke industri film banyak. Namun, kembali lagi ke pendanaan. Film [representatif perspektif perempuan] susah untuk mendapat dana," ujar Amanda.

Sutradara dan produser film, Nia Dinata juga mengatakan hal yang sama. Nia menilai masih sedikit pendanaan dan penanam modal untuk penceritaan perempuan. Selain masalah pendanaan, Gina S. Noer juga menambahkan fokus lain.

"Sebelum funding, ada hal yang lebih penting, yaitu pendidikan. Perempuan hidup paralel, masih banyak yang dimarjinalkan. Kebetulan masalah ini kemarin diangkat oleh Yuni yang menang penghargaan di Toronto International Film Festival, TIFF," jelas Gina.

Baca Juga: 10 Finalis Short Film Competition oleh Sundance Film Festival: Asia

3. Kecenderungan untuk mengeksploitasi penonton perempuan

ilustrasi menonton film (shutterstock)

Gina menceritakan pengalamannya bekerja di salah satu rumah produksi. Ceritanya menjelaskan kalau rumah produksi terbiasa mengangkat kisah yang mengeksploitasi penonton perempuan. Perempuan digambarkan dengan dramatis sebagai sosok yang kalut selalu. Cerita yang diberikan tidak eksploratif terhadap representasi kehidupan perempuan.

Berkaitan dengan pemaparan Gina, Nia juga menambahkan kalau sebuah film hadir bukan hanya atas keinginan penonton. Namun, sosok-sosok di balik film juga punya andil besar.

"Jangan hanya lihat siapa pemainnya, siapa sutradaranya. Masih ada produser, editor, dan lainnya yang berpengaruh untuk mengatur penceritaan. Semua bagian ekosistem ini punya andil bagaimana perempuan digambarkan pada film," papar Nia Dinata.

4. Memperbaiki akses perempuan masuk industri film

Susanti Dewi, produser (instagram.com/susantidewi)

Kepala IDN Pictures, Susanti Dewi mengatakan dirinya selalu mengutamakan akses keamanan bagi seluruh kru perempuan yang bekerja dengannya. Hal ini agar bisa memulai membuat ekosistem kerja yang baik untuk perempuan. Setelah menjamin industri ini aman bagi perempuan, terdapat masalah akses yang perlu diutamakan. Amanda mengatakan kalau penting memiliki lingkungan kerja yang bisa memberi ruang keberagaman. 

"Jadi, memberikan kesempatan [bagi perempuan] untuk mencoba. Hal ini supaya hadir akses untuk keberagaman di industri," jelas Amanda.

Membawa semangat memperluas akses, Nia berkisah tentang upayanya membentuk yayasan pendidikan film, Kalyana Shira Foundation. Nia membentuk kelas untuk mengedukasi sineas muda yang didominasi 70% oleh peserta perempuan sejak 2009. Kelas ini berisi materi edukasi mengenai film, mulai dari cara membuat film, kenalan lingkungan kerja, dan memahami kontrak kerja.

"Hal utama yang diajarkan di sini adalah membuat film pendek. Mereka nantinya bisa membuat film pendek di daerahnya masing-masing. Film pendek juga baik untuk memulai langkah awal," ujar Nia.

Baca Juga: 8 Film Pilihan yang Akan Tayang di Sundance Film Festival: Asia 2021

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya