TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Memicu Perdebatan, 9 Film Biopik Paling Kontroversial Sepanjang Masa

Sudah nonton salah satunya?

ru.wikipedia.org

Biopik atau film biografi adalah sub-genre drama yang telah eksis sejak pergantian abad ke-20 dengan epik Georges Melies, Jeanne D'Arc (1899), dan berlanjut dengan serentetan film yang dibuat selama Depresi Hebat, salah satunya adalah Scarface: The Shame of a Nation (1932).

Mungkin tidak perlu dikatakan lagi kalau tujuan dari film biopik adalah untuk, antara lain, menyoroti beberapa kontroversi dari para tokoh penting di dalamnya. Namun, terkadang film-film ini justru menghasilkan kontroversi di luar materi asli mereka, baik karena pilihan casting, cara film itu diproduksi, atau cerita yang ditulis.

Paling tidak, kontroversi-kontroversi tersebut — baik yang dimaksudkan atau tidak — adalah bentuk dedikasi film untuk mengikuti peristiwa sejarah yang sebenarnya. Berikut 9 film biopik paling kontroversial sepanjang masa.

1. Last King of Scotland

Last King of Scotland didasarkan pada buku dengan judul yang sama, yang ditulis oleh Giles Foden. Film ini menceritakan kisah fiksi Nicholas Garrigan, yang diperankan oleh James McAvoy, seorang dokter muda Skotlandia yang bepergian ke Uganda dan menjadi dokter pribadi untuk presiden Idi Amin yang diperankan oleh Forest Whitaker.

Kisah dalam film ini terjadi selama kediktatoran brutal Amin, yang memerintah Uganda dari tahun 1971 hingga 1979. Kita memasuki film ini tepat setelah Amin menggulingkan presiden sebelumnya, Milton Obote, lewat kudeta.

Skenario film ini diadaptasi oleh Peter Morgan, yang menciptakan banyak ketidakakuratan faktual di dalamnya. Selain itu, akhir film ini juga menampilkan statistik kebrutalan Amin, termasuk pembantaian 300.000 orang Uganda selama delapan tahun kegilaannya.

Namun terlepas dari berbagai kontroversi dan miskonsepsi di dalamnya, Last King of Scotland adalah sebuah karya yang berhasil menggambarkan rentang akting McAvoy dan, terutama, Whitaker, yang berhasil memenangkan Oscar untuk penggambarannya yang kuat tentang diktator yang menderita paranoia ini.

2. Goodfellas

Film ini sebenarnya adalah film "mafia" kedua Martin Scorsese, setelah film pertamanya, Mean Streets (1973), gagal di box office.

Awalnya Scorsese tidak pernah punya niat untuk membuat film mafia, namun kemudian menjadi tertarik pada buku yang menjadi dasar film ini, Wiseguy: Life in a Mafia Family (1986), yang ditulis oleh Nicholas Pileggi. Sedangkan buku Pileggi lainnya, Casino: Love and Honor in Las Vegas, menjadi inspirasi bagi Casino (1995).

Dalam Goodfellas, Scorsese mendefinisikan kembali film mafia seperti yang telah dibuat oleh Coppola. Film ini sendiri adalah kisah kehidupan seorang mafia menengah, Henry Hill, dari tahun-tahun pembentukannya sebagai seorang anak hingga keterlibatan penuhnya dalam keluarga mafia Lucchese.

Sementara film-film mafia klasik seperti The Godfather adalah cerita fiktif dari dunia bawah, Goodfellas menawarkan kisah nyata tentang kehidupan Mafia, menggambarkan apa yang dikenal sebagai operasi "harian" mereka.

Sementara dijuluki sebagai film yang didasarkan pada "kisah nyata" (yang biasanya diterjemahkan ke fiksi sejarah), Hill sendiri menggambarkan film tersebut 90% akurat dengan peristiwa nyata. Memang, buku Pileggi juga berbunyi hampir seperti sebuah film dokumenter.

Lalu, dimana letak kontroversinya? Nah, karena terlalu akurat, film ini dianggap bisa memicu kekerasan dan menggambarkan sisi "keren" dari kehidupan mafia.

Baca Juga: Menggugah Plus Menginspirasi, 7 Film Biopik yang Tayang Tahun 2020

3. The Elephant Man

Disutradarai oleh David Lynch yang selalu dikelilingi oleh enigma, The Elephant Man menceritakan kisah asli Joseph Merrick, seorang lelaki yang menderita cacat parah yang hidup di sekitar pergantian abad ke-20 dan menjadi bahan cemoohan di sirkus.

Film ini diadaptasi dari The Elephant Man and Other Reminiscences karya Frederick Treves (1923) dan The Elephant Man: A Study in Human Dignity (1971) karya Ashley Montagu. Treves sendiri adalah dokter yang akhirnya merawat Merrick setelah menyelamatkannya dari sirkus.

Ketika berbicara tentang filmografi Lynch, tampaknya The Elephant Man agak dilupakan. Memang, ketika membandingkannya dengan film yang lebih menggambarkan ciri khasnya, seperti Eraserhead, Blue Velvet, atau bahkan Mulholland Dr. (2001), The Elephant Man lebih tampak seperti sebuah film biopik.

Lewat The Elephant Man, Lynch mengambil pendekatan baru dalam pembuatan film, yang mencakup surealisme, gambaran mimpi buruk, dan pengeditan yang tak tertandingi pada desain suara sehingga menghasilkan soundtrack menakutkan dari "dunia lain."

Meskipun secara faktual akurat, ada beberapa perbedaan yang signifikan di dalam film ini. The Elephant Man menggambarkan Merrick sebagai korban yang tak berdaya, dilecehkan oleh pengawas sadisnya, Norman Bytes. Namun pada kenyataannya, Merrick memilih untuk memotret dirinya sendiri di sirkus, dan mendapat gaji yang besar saat berada di sana. 

4. Bronson

Jika kalian tidak memiliki alasan lain untuk menonton film yang paling "Inggris" ini, maka kalian harus melihatnya karena penggambaran apik Tom Hardy sebagai orang gila yang sering disebut sebagai penjahat paling berbahaya di Inggris.

Bronson adalah kisah fiksi tentang kehidupan seorang penjahat, Michael Gordon Peterson, yang lahir dengan nama itu pada tahun 1952, tetapi kemudian mengubah namanya beberapa kali. Pada 1974, Peterson memutuskan ingin membuat nama untuk dirinya sendiri dan, dengan senapan yang digergaji, ia berusaha merampok kantor pos.

Dengan cepat ditangkap, pada awalnya ia dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara sebelum akhirnya menjadi tiga puluh empat tahun, di mana tiga puluh tahun di antaranya dihabiskan di sel isolasi. Selama waktu itu, sosok Michael Petersen menghilang, dan Charles Bronson (sosok alter egonya) muncul.

Tentu saja, kalian dapat mengatakan kalau beberapa orang memang dilahirkan jahat. "Masyarakat" seolah-olah tidak ada hubungannya dengan residivisme Bronson. Dia selalu jauh lebih bahagia di "dunianya" sendiri daripada menikmati kehidupan normal yang beradab. Pada akhirnya, Bronson adalah film yang menampilkan kemarahannya pada masyarakat.

5. Milk

Film biografi yang menceritakan kisah aktivis hak-hak gay ini bukan hanya kisah seorang pemimpin politik, tetapi juga sebuah peristiwa politik yang akan memperkenalkan para penonton kepada seorang pahlawan yang mati sebagai martir dan secara implisit berhasil memperjuangkan cita-citanya.

Dikenal di San Francisco sebagai Walikota Castro Street, Harvey Milk melakukan tindakan penyeimbangan yang mengesankan pada pertengahan tahun 70-an: ia berhasil mengumpulkan basis kekuatan yang tidak mungkin dari kaum gay, hippies, manula, anggota serikat, dan pemilik usaha kecil yang berhasil melontarkannya ke kantor pemilihan.

Harvey Milk adalah seorang Republikan gay berusia 40-an ketika pindah ke San Francisco pada awal 70-an. Mungkin pertarungan politik yang menentukan dalam karier Milk adalah perjuangannya yang sukses melawan Proposisi 6, suatu tindakan di seluruh negara bagian yang akan melarang kaum gay untuk mengajar di sekolah-sekolah umum California.

Milk sendiri berhutang besar (yang diakui dalam kredit penutup) untuk film dokumenter yang memenangkan Oscar pada tahun 1984, The Times of Harvey Milk.

6. A Beautiful Mind

A Beautiful Mind diadaptasi dari biografi "tidak sah" dengan judul yang sama, yang ditulis oleh Sylvia Nassar. Film ini menggambarkan kejatuhan John Nash ke dalam skizofrenia paranoid yang dimulai sejak usia 30-an dan pemulihan spontannya pada awal 1990-an setelah puluhan tahun menderita.

Dalam A Beautiful Mind, sutaradara Ron Howard Howard memang berhasil "merayu" penonton ke dunia paranoid Nash. Namun, seperti dalam Shine dan Rain Man, citra kecacatan mental yang diproyeksikan oleh Howard sangat disederhanakan, sehingga film ini menyimpang secara substansial dari peristiwa aktual dalam kehidupan Nash.

Rayuan Howard yang sukses, naskah dari Akiva Goldsman, serta casting Russell Crowe, Jennifer Connelly dan Ed Harris memang membuat film ini cukup menghibur. Academy juga berpikir demikian, karena film ini berhasil membawa pulang empat Oscar, termasuk Best Picture, Best Director, Best Adapted Screenplay dan Best Supporting Actress.

7. Schindler’s List

Schindler’s List memang sangat layak ditonton karena ambisi besarnya, walaupun film ini adalah sebuah fiksi yang "berdasarkan" pada kisah nyata.

Dengan Steven Spielberg sebagai sutradara, akting murni dari Ralph Fiennes, Ben Kingsley, dan Liam Neeson, lengkap dengan skor menghantui John Williams dan skriptografi hitam-putih Janusz Kaminski yang menakjubkan, tentu saja hasilnya pasti akan menjadi epik.

Film ini sangat signifikan dalam peringatan Holocaust, dan dianggap sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah perfilman. Namun, seperti sudah menjadi rahasia umum di Hollywood, lisensi kreatif selalu ada. Ada beberapa aspek kunci dari film ini yang difiksi. 

Misalnya, Oskar Schindler tidak pernah menulis daftar orang untuk diselamatkan, dan dia tidak menangis karena dia pikir bisa menyelamatkan lebih banyak orang. Ia juga tidak mungkin mengalami momen yang menentukan seperti melihat seorang gadis berjaket merah, yang membantu keputusannya untuk menyelamatkan nyawa para pekerja Yahudi-nya.

Namun tetap saja, komitmen dari Schindler mengungkap sisi heroiknya. Schindler bisa dengan mudah menutup operasinya di Krakow dan mundur ke Barat dengan keuntungan yang telah dia dapatkan. Sebaliknya, ia memilih untuk mempertaruhkan nyawanya dan uangnya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang Yahudi yang bekerja dengannya.

8. Raging Bull

Sisi yang menarik dari film ini adalah bahwa sutradara Martin Scorsese tidak pernah tertarik pada film, subjek, atau bahkan pengetahuan tentang tinju. Hanya dengan desakan dari teman baiknya, Robert DeNiro, Raging Bull dibuat dan berhasil menjadi sebuah film klasik.

Film ini menggambarkan kehidupan dan karier Jake LaMotta, seorang petinju kelas menengah Amerika-Italia di mana kemarahannya merusak diri sendiri secara obsesif, menghancurkan hubungan dengan istri dan keluarganya. Film ini juga dibintangi oleh Joe Pesci, yang nantinya akan membintangi film lain dengan DeNiro.

Tapi bukan hanya sikap apatis Scorsese terhadap olahraga yang berkontribusi pada kurangnya perhatian pada proyek ini. Pada saat itu, Scorsese juga sedang mengalami krisis dalam hidupnya, dan masih terhuyung-huyung karena kegagalan di film sebelumnya.

Setelah mencapai titik terendah (termasuk penyakit yang mengancam jiwa dan kecanduan kokain), Scorsese memutuskan untuk menaruh kepercayaan pada teman masa kecilnya, DeNiro. Untungnya, film ini berhasil mencapai kesuksesan kritis dan memenangkan dua piala Oscar (salah satunya untuk DeNiro).

Baca Juga: Biopik hingga Live Action, Ini 8 Film Hollywood yang Tayang Mei 2019

Verified Writer

Shandy Pradana

"I don't care that they stole my idea. I care that they don't have any of their own." - Tesla // I am a 20% historian, 30% humanist and 50% absurdist // For further reading: linktr.ee/pradshy

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya