6 Rekomendasi Film Dokumenter Indonesia yang Mengangkat Isu Lingkungan

Menambah wawasan, membuka hati, menyiratkan pesan kehidupan

Sering menyadari jika kondisi cuaca kini seolah tak lagi menentu? Rasa-rasanya seperti dihantui bencana banjir yang bisa datang kapan saja ketika hujan deras melanda. Sementara itu, di sisi wilayah satunya lagi, sumber aliran air untuk sehari-hari sudah tercemar, mandi dan minum dengan air bersih seolah hanya mimpi. Bahkan, di seberang wilayah lainnya, warga kehilangan sumber kehidupan, diusir dari tanah leluhurnya atau memilih hidup bersisian dengan kepulan asap tebal yang berbahaya jika dihirup. Tak jarang, kesehatan dan nyawa pun jadi akibatnya. 

Jika kalian tertarik melihat ke luar 'kotak', menyelami lebih dalam terkait kondisi lingkungan yang terjadi di sekitar, jauh di luar dinding rumah yang kokoh dan gedung-gedung tinggi yang nyaman, maka kalian bisa menonton film dokumenter ini. Rangkaian data dan fakta di lapangan akan membantu memperlihatkan dengan jelas, apa saja yang sebenarnya telah terjadi di luar mata kita, yang bahkan boleh jadi beberapa tahun ke depan dampaknya akan terasa di depan mata, seolah hanya soal menunggu waktu giliran. Inilah 6 film dokumenter karya anak bangsa yang akan menyuguhkan ilmu dan informasi sekaligus menyampaikan kepedulian dan keprihatian terhadap kondisi alam dan lingkungan yang semakin hari semakin memburuk, mencoba membantu memberikan wawasan, membuka mata dan memanggil siapapun untuk kembali perduli.

Baca Juga: 4 Rekomendasi Dokumenter Serial Killer yang Bikin Kamu Merinding

1. Asimetris (2018)

https://www.youtube.com/embed/U3MuPdhetSQ

"Sejak adanya perusahaan itulah yang terjadi.. kabut asap dan lain sebagainya, tanah.. kebakaran hutan..."

Kalimat itu disampaikan secara lirih oleh salah satu warga yang seolah dipaksa untuk pasrah begitu saja dengan keberadaan industri kelapa sawit yang meluas di tanah leluhurnya. Bertajuk Asimetris, film dokumenter ini menceritakan gemerlapnya industri sawit dengan besaran nilai bisnisnya yang turut disertai dengan gambaran kondisi warga yang terdampak dari pembukaan lahan tersebut, khususnya warga di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua. Bukan hal yang mengejutkan lagi jika kebutuhan akan sawit untuk berbagai alokasi seperti minyak goreng, margarin, sabun, produk perawatan tubuh, bahan bakar biodiesel, avtur beserta permintaan dari pasar internasional turut mendukung ekspansi besar-besaran sampai jutaan hektar untuk lahan konsensi sawit baru. 

Ironisnya, warga sekitar yang tinggal di daerah tersebut begitu menderita, mulai dari kehilangan mata pencaharian usai hutan dibumihanguskan, ditambah lagi emisi asap pembakaran hutan dan lahan gambut yang seperti tak ada hentinya. Salah satunya ketika jutaan hektar hutan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah terbakar di tahun 2015, asap tebal  pun mengungkung langit Kalimantan sampai ke Sumatera hingga menjadi perhatian dunia. Kadar polusi di Palangkaraya saat itu mencapai 1.300 persen, jauh melampui ambang kualitas udara yang sehat untuk manusia. Kebakaran lahan yang masif, cadangan air yang habis serta kepul asap yang terhirup selama berhari-hari menyebabkan puluhan warga meninggal dunia dan setengah juta lainnya mengalami infeksi saluran pernapasan, termasuk anak-anak kecil. 

Beragam aksi protes pun dilakukan oleh warga di berbagai wilayah yang terkena dampak ekspansi lahan sawit, salah satunya sampai menancapkan papan berukuran tinggi besar bertuliskan "hentikan intimidasi dan perampasan di tanah kami" sebagai bentuk penolakan, namun tetap saja, papan tersebut tak bisa menghalangi mesin-mesin dan 'kekuatan besar' tersebut, alhasil, yang lemah akan selalu kalah. Selain itu, salah satu hal yang cukup menggugah hati ketika seorang warga tengah bercerita tentang kondisi hutan dan tempat tinggalnya sebelum dan sesudah pembukaan lahan, ia berkata "hutan ini kan sumber kehidupan bagi kami, jadi apapun alasannya, semacam pantang bagi kami untuk membuka hutan"  ujarnya dengan tegas. 

Di sisi lain, Asimetris juga turut membahas jika bukan hanya pengusaha sawit saja yang menikmati profit berlimpah hasil produksi tersebut, melainkan juga penguasa, dalam hal ini pemerintah yang turut menikmati dan mendukung perizinan usaha. Menilik dari judul dan poster film-nya, asimetris memiliki arti ketidakseimbangan dan hal inilah yang berusaha digambarkan oleh tim Watchdoc, ketidakseimbangan alam yang justru mengundang bencana besar di tanah milik rakyatnya sendiri. Sejatinya, berapa pun besar nilai keuntungan dari komoditi bisnis sawit, nyatanya tetap tidak akan pernah seimbang dengan kerugian dan penderitaan yang dialami oleh warga setempat yang telah berkorban harta hingga nyawa, dan hal itu akan terus diwariskan hingga anak-cucu di tahun demi tahun berikutnya. Berdurasi 1 jam 8 menit, film yang diproduseri oleh Dandhy Laksono dan Indra Jati ini bisa kamu tonton secara lengkap di kanal YouTube Watchdoc Image. 

2. Semesta (2020)

https://www.youtube.com/embed/5W6tlcykKSY

"Ini kisah tentang mereka yang bergerak karena iman untuk menjaga alam ciptaan-Nya dengan segala isinya. Mulai dari ujung barat Aceh hingga ujung timur Papua, ini kisah tentang mereka yang merawat Indonesia"

Flm dokumenter besutan sutradara Chairun Nissa yang digawangi oleh Talamedia ini sempat ditayangkan secara terbatas di bioskop pada Januari 2020 lalu. Hal yang paling menarik perhatian dari film dokumenter ini adalah penonton seperti diajak berkeliling Indonesia dengan suguhan visual yang menarik dan kisah yang terasa 'dekat' karena digambarkan langsung oleh tujuh sosok inspiratif dari berbagai latar belakang dan domisili yang berbeda. Mereka adalah M. Yusuf (Aceh), Soraya Cassandra (Jakarta), Iskandar Waworuntu (Yogyakarta), Tjokorda Raka Kerthyasa (Bali), Romo Maselus Hasan (NTT), Agustinus Pius (Kalimantan Barat), Almina Kacili (Papua Barat).

Para tokoh yang berasal dari tujuh provinsi berbeda inilah yang kemudian membagikan pengalaman mereka dalam merawat lingkungan dengan caranya tersendiri yang disesuaikan dengan agama dan kebudayaan masing-masing. Sedikit gambaran, film ini diawali dari kehidupan sehari-hari Tjokorda Raka Kerthyasa, tokoh budaya di Ubud, Bali. Budaya khas setempat seperti tari kecak dan ogoh-ogoh ditampilkan dengan sangat apik. Kemudian, ketika Hari Raya Nyepi tiba, semua kegiatan warga Bali harus dihentikan termasuk berkendara dan penggunaan listrik guna.

Momen 'mengistirahatkan alam semesta' ini ternyata memberikan efek cukup signifikan dalam mengurangi emisi harian di Provinsi Bali. Selain Tjokorda, ada Agustinus Pius dari Kalimantan Barat yang mengisahkan bagaimana dirinya dan seluruh masyarakat desa-nya mematuhi tata cara adat-istiadat dalam melindungi hutan, sesuai dengan yang diajarkan oleh para leluhur dalam melestarikan hutan. Kemudian, di ujung Indonesia, ada Almina Kacili dari Papua Barat yang melestarikan 'Sasi', tradisi setempat dalam menjaga keberlangsungan sumber daya alam laut dari eksploitasi atau penggunaan alat ilegal oleh para nelayan.  

Empat tokoh inspiratif dari provinsi lainnya kemudian juga turut berbagi kisah dengan cara dan budaya-nya masing-masing. Tanpa disadari, kita seperti melihat jika film dokumenter ini telah menunjukkan bahwa satu langkah kecil yang kita lakukan ternyata dapat memberikan efek yang besar dalam membantu menanggulangi perubahan iklim. Turut diproduseri oleh Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin, film dokumenter yang satu ini sudah bisa disaksikan di platform streaming Netflix.

Baca Juga: 5 Fakta Pembuatan Film Dokumenter Harta Tahta Raisa

3. Sexy Killers (2020)

https://www.youtube.com/embed/9f4yD44blpw

"Warga sekitar itulah yang akan membayar semua dampaknya..."

Sexy Killers menjadi film dokumenter dengan raihan penonton yang cukup mengagumkan saat pertama kali tayang di YouTube, bahkan film tersebut bisa dibilang cukup menggemparkan publik di masa pandemi Covid-19 sampai menjadi trending topic di berbagai media sosial. Bagaimana tidak? Film ini secara lugas mengungkap elite politik di balik perusahaan tambang batu bara, sembari memotret setiap jengkal dampak buruk dari perusahaan tambang batu bara di berbagai wilayah seperti Bali, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan khususnya wilayah Kalimantan. Peta besar yang menampilkan sosok di balik perusahaan batu bara yang ternyata berisi petinggi dan jajaran pejabat pemerintah benar-benar sukses membuat gempar.

Berbagai komentar dan ulasan terkait isi film tersebut kemudian menjadi ramai diperbincangkan, sebagian besar merasa terkejut, namun banyak juga yang merasa tidak kaget. Disutradarai oleh Dandhy Laksono, film yang digagas oleh Watchdoc ini secara garis besar turut menjelaskan proses di balik penggunaan listrik sehari-hari yang kita gunakan sampai ke asal muara-nya. Pembakaran lahan secara masif, truk-truk besar pengangkut batu bara yang melintasi lahan yang sudah berubah tandus dan gersang, limbah dibuang serampangan hingga membuat aliran air di daerah tersebut tercemar, tak lagi pernah jernih. Bahkan, kepul asap yang terus membumbung tinggi, seolah tak pernah perduli meski harus merenggut kesehatan dan nyawa warga sekitar yang menghirupnya.

Alih-alih mencoba mengurangi dampak buruk dengan melakukan penghijauan, mengganti yang rusak dan "mengembalikan yang sudah diambil", perusahaan tambang batu bara tersebut justru semakin berekspansi ke wilayah-wilayah hijau dengan membakar lahan dan hutan yang asri. Menjelang akhir film, Sexy Killers seperti memperlihatkan bahwa elite politik yang terlibat masih bisa tetap duduk tenang di atas penderitaan warga dan nyawa yang bergelimpangan. Berdurasi 1 jam 28 menit, film dokumenter ini masih bisa disaksikan di kanal YouTube Watchdoc Image. 

4. Our Mother's Land (2020)

https://www.youtube.com/embed/myVaBuY-c4U

"Perempuan punya peran yang sangat besar untuk melindungi lingkungan. Bahkan kita menggambarkan bumi saja sebagai sosok perempuan. Itulah mengapa ada istilah Mother of Nature, Mother Earth..."

Digagas oleh The Gecko Project dan Mongabay, film yang disutradari oleh Leo Plunkett ini sedikit-banyak banyak menyoroti keberanian dan perjuangan para perempuan dalam menjaga lingkungan, termasuk melawan korporasi besar yang merusak lingkungan sekalipun. Penelusuran dalam film dokumenter ini dilakukan oleh seorang jurnalis bernama Febriana Firdaus, yang sekaligus menjadi produser di film dokumenter ini. Memiliki alur yang kompleks, lugas dan menyentuh hati, Our Mother's Land bermula dari kisah Sukinah yang tergabung dengan komunitas Sembilan Kartini Kendeng.

Mereka melakukan penolakan di depan Istana Negara dengan cara yang tak biasa, bukan dengan membakar ban atau merusak fasilitas umum, melainkan dengan menyemen kaki mereka sebagai bentuk protes terhadap pembangunan pabrik semen di daerah pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Mereka dihadapkan oleh kenyataan pahit, bahwa perusahaan yang telah mengeksploitas kekayaan alam di lingkungan tempat tinggal mereka justru mendapatkan dukungan dari pemerintah. Gerakan perempuan lainnya kemudian mulai muncul di beberapa daerah, menghimpun masyarakat untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dari tangan-tangan jahat yang menjajah dan menjarah sumber kehidupan mereka, meski harus menghadapi berbagai ancaman kekerasan, pidana penjara hingga nyawa. Salah satunya ialah Aleta Baun, perempuan dari Nusa Tenggara Timur yang menginisiasi gerakan untuk melawan perusahaan tambang di era 1990-2000-an.

Sebagai anak kepala suku desa Mollo, Aleta begitu berang melihat wilayahnya tercemar tak karuan imbas eksploitasi perusahaan tambang yang seperti 'tutup mata', tak mau perduli atas dampak lingkungan yang dihasilkan. Ditambah tindakan represif dari sejumlah aparat dan preman yang turut membuat Aleta kian tergerak untuk menghimpun masyarakat lainnya, bersama menjaga kelestarian wilayah mereka. Our Mother's Land juga turut membagikan kisah perjuangan dan perlawanan aktivis perempuan lainnya yakni Eva Bande dari Sulawesi Tengah dan Farwiza Farhan dari Aceh. Bagi yang ingin menonton film ini secara lengkap, kamu bisa langsung berkunjung ke kanal YouTube milik The Gecko Project. 

5. Pulau Plastik: Perjalanan dan Catatan untuk Masa Depan (2021)

https://www.youtube.com/embed/UBw9T6IspVc

"Dari puluhan ton sampah plastik yang dibuang setiap harinya, sebagian besar berakhir di laut, terpecah menjadi mikroplastik, termakan dan masuk ke dalam tubuh biota laut, hingga berakhir di piring kita..."

Plastik tentu menjadi salah satu barang yang selalu kita temui dan boleh jadi selalu kita pegang setiap harinya. Lantas, plastik yang selalu kita gunakan untuk makan, minum, berbelanja atau sekedar membuang sampah sehari-hari ini sebenarnya akan berakhir seperti apa? Mengapa para ahli dan aktivis lingkungan begitu peduli terhadap penggunaan sampah plastik? Memang sebesar apa dampaknya pada kelangsungan hidup manusia dan lingkungan? Jawabannya semua ada di film ini. 

Tampil secara lugas dan bikin mindblowing, Pulau Plastik mengangkat isu pencemaran terkait dampak buruk plastik terhadap keberlangsungan makhluk hidup di bumi. Mengisahkan tiga orang tokoh utama yakni Gede Robi, vokalis band Navicula asal Bali, kemudian Tiza Mafira, pengacara muda asal Jakarta dan terakhir ialah Prigi Arisandi, seorang ahli biologi dan penjaga sungai asal Jawa Timur. Ketiganya menelusuri kota demi kota mulai dari tempat pembuangan sampah plastik yang ternyata sudah jauh melebihi kapasitas penampungan, kemudian bergeser ke pesisir pantai hingga menyelam ke dalam lautan.

Berbagai fakta di lapangan juga akan ditampilkan secara gamblang, seperti temuan sedotan, pasta gigi sampai bungkus mie instan era tahun 1980-an yang masih bisa ditemukan di pesisir pantai. Alih-alih 'lenyap' usai dibuang oleh pemiliknya, sampah itu justru masih utuh meski terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lainnya selama hampir setengah abad. Sejumlah ahli dari berbagai bidang pun turut dihadirkan sebagai narasumber untuk menjelaskan tiap-tiap akibat dari pencemaran yang ditemukan sepanjang penelusran, termasuk dampaknya terhadap masa depan lingkungan di Indonesia dan keberlangsungan makhluk hidup.

Tak terkecuali kita sebagai manusia yang tentu tak luput dari incaran bahaya dari apa yang sudah kita lakukan setiap harinya.Menariknya, film ini turut memperlihatkan jejak sampah plastik yang masuk ke dalam rantai makanan dan dampaknya terhadap kesehatan kita ketika disantap. Disutradarai oleh Dandhy Laksono dan Rahung Nasution, film dokumenter ini juga merupakan buah karya kolaborasi antara Visinema Pictures, Watchdoc, Kopemik dan Akarumput. Sempat ditayangkan secara terbatas pada 22 April 2021 di bioskop, film ini sudah bisa disaksikan sepenuhnya di platform streaming Netflix.

6. Tenggelam dalam Diam (2021)

https://www.youtube.com/embed/pTj42_uXjdA

"Mereka pasrah, kemudian bertindak. Mereka berteriak, tapi tidak didengar. Setidaknya sampai mereka benar-benar tenggelam"

Disutradarai oleh Muhammad Sridipo, film dokumenter yang digagas oleh Watchdoc dan Greenpeace ini mengangkat isu kerusakan lingkungan yang dampaknya akan selalu menghantui warga pesisir utara Pulau Jawa, selayaknya bom waktu. Tenggelam dalam Diam menampilkan sudut pandang dari fotografer dan pekerja seni, Dulia Rahab dan Airin Barlian yang mencoba menyusuri secara terpisah terkait fenomena naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global yang semakin hari semakin memprihatinkan, khususnya di wilayah pesisir utara Pulau Jawa.

Wilayah pesisir yang satu ini memang menjadi titik paling rawan akibat masif-nya pembangunan untuk mengakomodir padatnya penduduk yang menghuni Pulau Jawa. Bermula dari Dulia yang menelusuri daerah Penjaringan, Jakarta Utara dan menemukan fakta bahwa daerah langganan banjir rob tersebut hanya dibatasi oleh tanggul setinggi 5 meter yang tentu saja bisa dilewati air laut ketika pasang. Kemudian, potret buram kenaikan air laut ini juga terjadi di daerah lainnya seperti Kampung Beting, Muara Gembong yang sangat memprihatinkan karena menjadi langganan banjir selama belasan tahun, bahkan wilayah tersebut benar-benar terancam hilang ditelan abrasi.  

Sementara itu, Airin yang menyusuri pesisir Gresik, Jawa Timur, Kampung Nelayan di Semarang dan wilayah Pekalongan pun turut melihat kondisi rumah-rumah yang jauh dari kata layak, berjibaku dengan pinggir laut dan lingkungan sekitar yang mengenaskan. Warga tersebut memilih untuk tetap tinggal bersama banjir sebagai satu-satunya pilihan karena keterbatasan ekonomi. Sementara itu, disebutkan juga dalam film sebagai pengingat, data terkait tanah Pulau Jawa yang terus menurun 2,5 cm setiap tahunnya kini semakin hari semakin terasa dampaknya. Berdurasi 1 jam, film ini bisa kamu saksikan selengkapnya di kanal YouTube Watchdoc Documentary.

Dikemas dengan visual yang menarik dan informatif, 6 film dokumenter ini benar-benar membantu memperlihatkan secara langsung kondisi sekitar yang tidak kita ketahui, memberikan informasi dan wawasan dari berbagai perspektif dan ahli, menawarkan solusi dan contoh teladan yang sekiranya dapat ditiru serta menggerakkan hati untuk mau lebih perduli, dimulai dari diri sendiri. 

Baca Juga: Arti di Balik Judul Film Dokumenter Harta Tahta Raisa

Anjani Nur Permatasari Photo Verified Writer Anjani Nur Permatasari

A long life learner that living her blessed life as a writer and journalist with some of music, books and coffee

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Diana Hasna

Berita Terkini Lainnya