Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Film Cocote Tonggo Pakai Bahasa Jawa Mataraman, Ada Coach dari Solo

Konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)
Konferensi pers Cocote Tonggo di XXI Epicentrum, Jakarta, Jumat (9/5/2025) (dok. IDN Times/Shandy Pradana)

Jakarta, IDN Times – Tobali Film dan SKAK Studios kembali menghadirkan film komedi yang kental dengan budaya Jawa berjudul Cocote Tonggo. Dalam press screening & press conference di XXI Epicentrum, Jakarta, pada Jumat (9/5/2025), sutradara Bayu Skak bersama para pemain mengungkap proses kreatif di balik film ketujuhnya ini.

Tak hanya menghibur, Cocote Tonggo juga menyentuh isu sosial dan budaya yang mendalam. Berikut beberapa fakta di balik layar tentang film ini.

1. Gunakan bahasa Jawa Mataraman

Cocote Tonggo (dok. SKAK Studios/Cocote Tonggo)
Cocote Tonggo (dok. SKAK Studios/Cocote Tonggo)

Dialog dalam film ini hampir 80 persen menggunakan Jawa Mataraman khas Solo. Hal ini cukup challenging, karena di film-film sebelumnya Bayu Skak memakai dialek Jawa Timur.

"Kesulitannya dalam berakting bahasa Jawa, tapi kita punya coach ada di Solo. Aku kadang masih suka salah, Jawa beda-beda banget ada timur, barat, tengah dan lain-lain," ucap Bayu.

Ia juga sengaja melakukan syuting di Kampoeng Batik Laweyan, Lokananta, hinggga Colomadu demi memperkuat cita rasa Solo di dalam film ini.

2. Debut Asri Welas sebagai karakter nyinyir

Cocote Tonggo (dok. SKAK Studios/Cocote Tonggo)
Cocote Tonggo (dok. SKAK Studios/Cocote Tonggo)

Asri Welas tampil beda sebagai Bu Pur, menandai debutnya sebagai sosok "julid" di layar lebar. Ia mengakui peran ini membawanya keluar dari zona nyaman.

"Aku jadi Bu Pur, perannya bukan aku banget. Ini pertama kalinya aku main jadi orang yang super judes. Kadang-kadang mau ngomong ke pemain lain tuh gak tega," ungkapnya.

Baginya, peran Bu Pur tidak hanya menghibur, tapi juga menjadi cerminan perilaku sosial yang relevan. Asri mengatakan karakter ini memang eksis di kehidupan nyata. 

"Ternyata ada orang yang kayak gitu, yang gak peduli orang lain tersinggung atau gak, yang penting ngomong," kata akris 46 tahun ini.

3. Singgung tekanan sosial dari tetangga

Cocote Tonggo (dok. SKAK Studios/Cocote Tonggo)
Cocote Tonggo (dok. SKAK Studios/Cocote Tonggo)

Di balik balutan komedi, Cocote Tonggo mengangkat isu social pressure melalui cerita Luki (Dennis Adhiswara) dan Murni (Ayushita), pasangan penjual jamu kesuburan yang belum dikarunai anak sehingga menjadi bahan gunjingan tetangga, termasuk Bu Pur.

"Kami ingin menggambarkan bagaimana tekanan sosial itu sering kali tidak datang dari orang yang kita cintai, tapi dari mereka yang bahkan tidak punya kedekatan emosional, tapi karena kita hidup berdampingan, opini mereka menjadi begitu berpengaruh," ujar Bayu.

Penulis naskah, Nona Ica, menyebut, film ini terinspirasi dari pengalamannya. Sering kali tetangga menjadi pengamat pasif yang opininya lebih menentukan dari keluarga sendiri. 

"Rasanya semua orang pernah dikomenin negatif sama tetangga atau orang terdekat. Apalagi bisa dibilang saya dari kampung tahu orang kampung ada sisi positifnya, guyubnya gotong royong, tapi sisi negatifnya karena kedekatan itu melahirkan hal-hal yang negatif, mengomentari hal-hal yang negatif terutama kepada perempuan," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Shandy Pradana
Zahrotustianah
Shandy Pradana
EditorShandy Pradana
Follow Us