[REVIEW] Film Bodies Bodies Bodies, Horornya Pertemanan Toksik

Bukan film horor anak muda biasa

Tayang perdana pada di Festival South by Southwest (SXSW) pada Maret 2022, Bodies Bodies Bodies akhirnya bisa ditonton publik lewat salah satu layanan streaming. Film horor rilisan A24 ini sepintas tak menawarkan sesuatu yang baru. Menceritakan sekumpulan anak muda yang berniat senang-senang, tapi harus melewati malam mencekam karena musuh dalam selimut. 

Trope yang sangat familier, bukan? Mirip dengan Scream dan I Know What You Did Last Summer. Tahu betul bahwa kemiripan ini tak akan menjual, sutradara Halina Reijn pun menyertakan isu-isu sosial budaya masa kini. Semua dikemas sempurna, lengkap dengan plot twist yang membuatmu tercengang menjelang kredit diputar. 

Seberapa pantas film horor Bodies Bodies Bodies ini menyita waktu luangmu yang berharga? Simak review film di bawah ini, ya!

1. Pembukaannya benar-benar klise, bikin kamu tergoda meninggalkan filmnya

[REVIEW] Film Bodies Bodies Bodies, Horornya Pertemanan Toksikfilm Bodies Bodies Bodies (dok. A24/Bodies Bodies Bodies)

Bodies Bodies Bodies dibuka dengan perkenalan Bee dan Sophie. Mereka yang sedang dimabuk cinta berkendara menuju rumah salah satu kerabat dekat Sophie yang bernama David. Di sana, keduanya disambut sirkel pertemanan Sophie, para muda-mudi usia awal 20-an dari keluarga kelas atas yang sedang bersantai di pinggir kolam renang sebuah mansion mewah.

Anehnya, kedatangan Sophie dan Bee tidak disambut hangat, dan hanya Alice yang antusias. Sisanya bahkan dengan wajah masam bertanya mengapa Sophie akhirnya memutuskan datang. Aroma pertemanan toksik sudah bisa penonton deteksi pada adegan itu. Seperempat awal film jadi momen yang cenderung klise dan menyebalkan. Beberapa orang mungkin akan tergoda untuk menekan tombol "tutup" dan lanjut browsing film lain. 

2. Sabar sedikit, Reijn sudah siapkan klimaks yang bikin penonton betah

[REVIEW] Film Bodies Bodies Bodies, Horornya Pertemanan Toksikfilm Bodies Bodies Bodies (dok. A24/Bodies Bodies Bodies)

Coba sabar sedikit, selepas menit ke-15, plot berubah jadi lebih hidup dan seru. Seperti biasa, mereka mencoba mingle dengan memainkan sebuah permainan sosial yang memiliki kemiripan dengan Among Us. Dalam trailer, permainan ini dipotret seolah jadi sumber malapetaka. Nyatanya, Reijn mengelabui kita lewat cuplikan tersebut. 

Sumber malapetaka justru hadir saat salah satu dari mereka ditemukan tewas dengan leher tersayat. Bersamaan dengan itu, badai menyebabkan pemadaman listrik. Seakan mengkritik betapa buruknya kemampuan memecahkan masalah anak-anak muda masa kini, Reijn menggambarkan bagaimana ketiadaan koneksi internet, sinyal telepon genggam, dan kendaraan membuat kepanikan mereka membuncah. 

Dalam keadaan krisis, pertemanan toksik mereka terekspos jelas bak parasit yang aktif menggerogoti tubuh inangnya. Bukannya bekerja sama, mereka justru saling menuduh dan berusaha mencari kambing hitam. Pada tahap inilah, trope horor yang disuguhkan Reijn mengandung unsur kebaruan. 

Reijn juga dengan cermat memasukkan plot twist tepat di akhir film. Kamu tak perlu menunggu adegan setelah kredit untuk mengetahuinya. Sebuah strategi yang tepat, tidak bertele-tele, tetapi langsung menghujam jantung penonton. 

Baca Juga: 10 Film Horor Barat Terbaik 2023, Hadirkan Teror Mencekam!

3. Film penuh jargon yang menampar kita semua

[REVIEW] Film Bodies Bodies Bodies, Horornya Pertemanan Toksikfilm Bodies Bodies Bodies (dok. A24/Bodies Bodies Bodies)

Hal menarik lain dari Bodies Bodies Bodies adalah keberadaan jargon-jargon kekinian macam gaslighting, ableism, silencing, ally, dan lain sebagainya. Generasi Z yang jadi lakon di sini dipotret secara akurat, yakni anak-anak muda yang punya akses luas terhadap informasi, peduli dan paham isu-isu terkini, sadar kesehatan mental, kelas sosial, serta keragaman ras dan gender. 

Namun, semua itu tidak selamanya berbuah positif. Tuntutan untuk selalu mengikuti perkembangan isu dan punya kepekaan tinggi terkadang membuat kita kewalahan sendiri. Alhasil, hipokrisi (sikap munafik) jadi jalan ninja manusia masa kini. Contoh paling kentara adalah aktivisme media sosial yang seringkali semu belaka. Hipokrisi yang terus terpupuk juga bisa jadi akar pembentuk pertemanan dan hubungan toksik.

Film Bodies Bodies Bodies seakan menyadarkan kita bahwa manusia tidak benar-benar berubah dan belajar dari masa lalu. Wokeness (kesadaran akan isu sosial seperti rasisme, bias gender, dan ketidaksetaraan akses) memang meningkat, tetapi ternyata tidak menyelesaikan semua masalah sosial yang ada. Itulah yang didemonstrasikan dengan apik oleh film horor yang dibintangi Amandla Stenberg dan Pete Davidson tersebut. 

Baca Juga: 7 Bukti Toksiknya Persahabatan Club Diamond di Drakor Bitch X Rich

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Hella Pristiwa

Berita Terkini Lainnya