[REVIEW] Kikujiro, Kocaknya Bapak-Bapak yang Dititipi Bocil

Mari masuk ke semesta sinematik Takeshi Kitano

Hirokazu Koreeda memang mendominasi perfilman Jepang dengan prestasi-prestasi internasionalnya. Namun, jangan lupakan sineas-sineas Jepang prominen lainnya. Coba berselancar di katalog film lawas mereka juga, deh. Salah satu nama yang bakal sering muncul adalah Takeshi Kitano. Ia paling dikenal lewat film-film aksinya yang identik dengan yakuza. Namun, siapa sangka Kitano juga piawai menciptakan film drama yang menyentuh hati. 

Beda dengan Koreeda yang menyertakan elemen melankoli dalam film-film dramanya, Kitano memilih deadpan humor alias gurauan garing untuk mewarni karya-karya melodramanya. Seperti film bertajuk Kikujiro yang rilis pada 1999, sebuah balada road trip bapak-bapak paruh baya dan tetangga bocilnya. Seperti apa sih filmnya? Seberapa layak ditonton? Apa saja kelebihan dan kekurangannya? Ini ulasan film Kikujiro karya Takeshi Kitano. 

Baca Juga: Pengorbanan Kymberly Ryder di Film Bangsal Isolasi, Dijambak!

1. Sepertiga awal film, penonton dibikin geregetan dengan ketidakseriusan lakonnya

[REVIEW] Kikujiro, Kocaknya Bapak-Bapak yang Dititipi BocilKikujiro (dok. Sony Pictures Classics/Kikujiro)

Film dibuka dengan perkenalan sosok bocah SD bernama Masao yang tinggal bersama neneknya. Saat libur musim panas tiba dan kawan-kawannya pergi berlibur bersama orangtua masing-masing, Masao terjebak di rumah sendirian mengingat sang nenek harus tetap bekerja. Pada saat itulah, sebuah paket dari sang ibu datang ke rumahnya. Dari kemasan paket itu, Masao tahu alamat sang ibu yang menurut pengakuan neneknya bekerja di luar kota. 

Impulsif, Masao langsung mengepak tas ranselnya dan pergi dari rumahnya di Tokyo menuju Toyohashi, kota tempat ibunya tinggal. Saat masih di area dekat rumah, Masao langsung dihadang sekelompok bocah yang memalak uang sakunya. Beruntung, tetangganya yang merupakan pasutri paruh baya, datang menyelamatkannya. Saat tahu tujuan Masao, sang istri meminta suaminya untuk mengantar sang bocah menuju Toyohashi. 

Namun, bukannya segera membeli tiket bus atau kereta, sang suami yang kemudian disapa ojisan (sapaan untuk bapak-bapak paruh baya dalam bahasa Jepang) oleh Masao sepanjang film justru menggunakan uang dari istrinya untuk berjudi. Sudah bikin geregetan, penonton dibuat geram kala sang pria meninggalkan Masao di luar restoran untuk makan yakitori sendirian. Saat ia kembali, Masao sudah tak ada di luar restoran, adegan ini sukses bikin penonton makin khawatir. 

2. Suarakan dampak psikis dari absennya orangtua dalam hidup seorang anak

[REVIEW] Kikujiro, Kocaknya Bapak-Bapak yang Dititipi BocilKikujiro (dok. Sony Pictures Classics/Kikujiro)

Setelah akhirnya menemukan Masao dan menyelamatkannya dari bahaya, penonton mulai bisa bernapas lega. Ojisan alias sang pria paruh baya ini ternyata tak seburuk yang kita pikirkan. Ia pun sadar kalau niat sang bocah untuk pergi ke alamat ibunya di Toyohashi sudah bulat. Perjalanan pun dimulai, berbagai adegan kocak bahkan absurd mulai ditampilkan. 

Fase ini bisa dibilang bagian terbaik dari film Kikujiro. Kitano dengan piawai menghujanimu dengan humor-humor yang mengundang gelak tawa lewat kelakuan ojisan. Terutama saat mereka harus mencari tumpangan menuju Toyohashi karena kehabisan ongkos setelah menginap semalam di hotel mewah. Adegan di halte tua yang sudah tak dilewati trayek bus juga menyentuh.

Pada saat itu, ojisan sadar betapa miripnya sang bocah dengan dirinya sendiri yang ditinggalkan sang ibu untuk menikah lagi. Secara tak langsung, Kitano hendak mengeksplor betapa rentannya kondisi psikis anak yang ditinggalkan atau diabaikan orangtuanya. Meski tak dijelaskan mendalam, persamaan nasib itu membuat chemistry Masao dan ojisan jadi lebih masuk akal. 

Baca Juga: 5 Serial Jepang Original Netflix, Tak Kalah Seru dari Drama Korea

3. Sebuah demonstrasi maskulinitas positif

[REVIEW] Kikujiro, Kocaknya Bapak-Bapak yang Dititipi BocilKikujiro (dok. Sony Pictures Classics/Kikujiro)

Entah disengaja atau tidak, sosok ojisan dalam film Kikujiro ternyata mendemonstrasikan maskulinitas positif. Ia menggunakan kekuatan dan pengalamannya dalam bertarung untuk melindungi Masao, serta memanfaatkan kreativitasnya untuk mendistraksi Masao saat ia bersedih. Tak berhenti pada satu karakter, pada perjalanan pulang kembali menuju Tokyo, Masao dan ojisan bertemu tiga pria lain secara tak sengaja. Ketiganya juga digambarkan Kitano sebagai sosok yang penyayang dan pengasih, terlepas dari tampilan mereka yang nyentrik dan garang. 

Maskulinitas positif dan feminisme memang bukan hal yang biasa diaplikasikan Takeshi Kitano dalam karya-karyanya. Film-filmnya sebelum Kikujiro bahkan lebih konservatif saat bicara maskulinitas dan peran normatif gender. Keputusan Kitano menciptakan karakter-karakter pria yang jauh dari maskulinitas toksik jadi salah satu daya tarik film ini. Sayangnya, pengembangan kontribusi ketiga karakter pria baru tadi rasanya terlalu berlebihan.

Kontribusi mereka dalam plot memang penting, tetapi setelah itu seolah sengaja dikembangkan lebih jauh untuk memperpanjang durasi belaka. Ini yang bikin sepertiga akhir film terasa kurang mengigit. Padahal Kitano sudah menyiapkan akhir yang brilian. Bila kamu bertahan sampai akhir film, akan ada adegan yang menjelaskan mengapa sang empu cerita memilih judul Kikujiro untuk karyanya yang satu itu. 

Baca Juga: 6 Film Klasik Jepang dengan Cerita Bersahaja, Sumber Inspirasi

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Diana Hasna

Berita Terkini Lainnya