Saint Levant, Rapper yang Suarakan Hak Palestina lewat Musik

Lulusan HI yang memilih jadi aktivis lewat musik

Saint Levant alias Marwan Abdelhamid dikenal pertama kali sebagai musisi yang menyanyikan lagu-lagu rap modern. Ia bicara cinta sampai kegelisahan khas anak muda layaknya musisi-musisi masa kini. Namun, di balik citranya sebagai rapper muda yang berkarier di negara Barat, ia menyimpan luka yang sama dengan kebanyakan diaspora Palestina di luar negeri.

Perasaan terjebak, rindu kampung halaman, hingga survivor guilt sebenarnya sudah beberapa kali ia ungkap lewat karya musikalnya. Siapa Saint Levant? Bagaimana ia akhirnya menjelma representasi bangsanya dan menyuarakan hak Palestina lewat musik? Ini sekilas profilnya.

1. Pertama kali dapat rekognisi internasional berkat lagu "Very Few Friends"

Saint Levant, Rapper yang Suarakan Hak Palestina lewat MusikSaint Levant (instagram.com/saintlevant)

Walau klise, media sosial melambungkan nama Saint Levant. Setelah beberapa waktu mencoba membuat konten dan mengunggah cuplikan musiknya, lagu "Very Few Friends" akhirnya berhasil membantunya mencapai status viral. Lagu rap itu dipuja banyak orang, terutama pengguna TikTok. Selain karena liriknya yang corny, tetapi romantis, lagu itu makin spesial karena dinyanyikan dalam tiga bahasa sekaligus: Inggris, Arab, dan Prancis.

Dalam waktu singkat, popularitas lagu-lagu Saint Levant lainnya ikut terdongkrak. Tak hanya bicara cinta dan kesehatan mental yang cukup tabu di kultur Arab, Abdelhamid ternyata tak jarang mengungkap kegelisahannya sebagai imigran Palestina dalam beberapa lagu. Utamanya adalah lagu-lagu yang ia rilis secara independen selama pandemik alias awal kemunculannya.

2. Punya latar belakang yang kompleks

Saint Levant, Rapper yang Suarakan Hak Palestina lewat MusikSaint Levant di set video klip lagu "Deira" (instagram.com/saintlevant)

Abdelhamid punya latar belakang yang cukup kompleks. Ia lahir di Yerusalem dan besar di Gaza, Palestina, dari ibu keturunan Prancis-Aljazair dan ayah Palestina-Serbia. Pada 2007 saat usianya baru 7 tahun, keluarganya mengungsi ke Yordania karena Intifadah Kedua. Di Yordania, ia dan keluarganya tinggal di kamp pengungsian dan melanjutkan pendidikan di sekolah berbahasa Inggris. Itu yang menjelaskan kemahirannya bicara tiga bahasa sekaligus.

Pada usia 18 tahun, ia dapat kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI) karena terinspirasi ibunya yang pernah jadi staf United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA). Saat masih berkuliah, Abdelhamid mencoba merilis musik yang direkamnya sendiri secara independen. Ia berhasil meraih gelar sarjana pada Juni 2022 dan tepat beberapa bulan setelah itu, salah satu lagunya viral di media sosial.

3. Sering menulis lagu tentang Palestina

https://www.youtube.com/embed/vRTtwtjNLdU

Kini sadar bahwa ia punya basis penggemar, Abdelhamid mulai memanfaatkan platform yang ia miliki untuk melancarkan pesan-pesan aktivisme. Ia mulai merilis lagu-lagu tentang kampung halamannya, Palestina. Melansir wawancaranya dengan Harper Bazaar, ia hendak meluruskan persepsi umum yang menyangka kemelut Israel-Palestina merupakan perang antara dua kekuatan yang seimbang. Padahal, ada okupasi, opresi, migrasi paksa, bahkan upaya genosida di dalamnya.

Tak heran kamu akan menemukan lagu-lagu soal Palestina dan trauma yang ia bawa hingga dewasa. Dalam lagu "Nirvana in Gaza", ia mengkritik cara media Barat memotret Palestina. Ia juga bicara rasanya merasa terasing dan terusir di kampung halamannya sendiri dalam lagu "Tourist" dan "Tell Me I'm Dreaming". Bahkan, ia tak ragu menyindir Israel lewat lagu "Haifa in a Tesla" hingga bicara survivor guilt dalam "Caged Bird Sings".

Pada 2023, ia akhirnya merilis EP berjudul From Gaza with Love seolah mengonfirmasi komitmennya untuk menyuarakan hak Palestina lewat musiknya. Saat akhirnya dapat kontrak rekaman dari label besar, Abdelhamid tak berhenti. Pada Februari 2024, ia merilis lagu kolaborasi dengan rapper cilik, MC Abdul, dengan judul "Deira" yang liriknya terdengar seperti surat cinta untuk Palestina.

Saint Levant jadi bukti kesekian resiliensi warga Palestina. Ia mampu mengubah kesulitan dan trauma yang masih membayanginya jadi musik yang menginspirasi dan mencerahkan.

Baca Juga: Israel Tembaki Warga Palestina Antre Makanan, 7 Orang Tewas

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Atqo

Berita Terkini Lainnya