[REVIEW] To Kill A Tiger, Nomine Oscar yang Bahas Victim Blaming

Layak ditonton meski gagal gondol Oscar

Intinya Sih...

  • To Kill A Tiger kalah dari 20 Days in Mariupol untuk kategori Film Dokumenter Fitur Terbaik di Oscar 2024.
  • Film ini mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan di India, menampilkan kasus pemerkosaan seorang remaja dan perjuangan orang tuanya mencari keadilan.
  • Meski lambat dan minim adegan dramatis, film ini berhasil menyajikan pesan kuat tentang budaya menyalahkan korban dan kegigihan dalam mencari keadilan.

To Kill A Tiger adalah salah satu nomine Oscar 2024 untuk kategori Film Dokumenter Fitur Terbaik. Meski akhirnya kalah dari 20 Days in Mariupol yang menggondol piala di kategori tersebut, rasanya tak elok bila mengabaikan film hasil kolaborasi Hollywood dan Bollywood ini. 

Dokumenter bikinan Nisha Pahuja ini awalnya hendak dirilis secara independen. Ternyata, isunya yang krusial menarik beberapa nama tenar keturunan India yang berkarier di Amerika Serikat seperti Dev Patel, Mindy Kaling, Priyanka Chopra dan Rupi Kaur jadi produser eksekutif. Film ini pun sudah tayang secara massal di salah satu platform OTT sejak Jumat (9/3/2024) lalu. Seberapa pentingnya isu dalam film dokumenter ini? Yuk, simak ulasannya berikut. 

1. Bahas maraknya kasus perkosaan yang hantui perempuan India

[REVIEW] To Kill A Tiger, Nomine Oscar yang Bahas Victim BlamingTo Kill A Tiger (dok. Notion Pictures/To Kill A Tiger)

Film dimulai dengan deskripsi kejadian mengerikan yang menimpa seorang remaja perempuan 13 tahun setelah menghadiri pernikahan kerabat. Tak kunjung pulang hingga larut malam, sang bocah berhasil kembali keesokan harinya dini hari. Ia kemudian mengaku pada sang ayah bahwa ia diperkosa tiga pria, salah satunya sepupunya sendiri.

Kasus ini sayangnya tidak mengejutkan. Menurut data Statista pada 2023, India masuk dalam salah satu negara dengan indeks keamanan dan kemaslahatan perempuan terendah di dunia. Meski bukan yang terburuk — masih ada negara-negara seperti Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, dan Sudan Selatan yang indeksnya jauh lebih rendah — laporan soal kekerasan terhadap perempuan cukup umum ditemukan. Jumlah laporan kekerasan terhadap perempuan pada 2022 di negara itu didominasi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan orang terdekat, penculikan, kekerasan fisik, dan pemerkosaan. 

2. Bukannya dapat keadilan, solusi dari masalah itu justru menikahkan korban dengan pelaku

[REVIEW] To Kill A Tiger, Nomine Oscar yang Bahas Victim BlamingTo Kill A Tiger (dok. Notion Pictures/To Kill A Tiger)

Orangtua korban, pasutri bernama Ranjit dan Jaganti tak tinggal diam. Mereka kompak berangkat menuju kantor desa untuk meminta keadilan. Namun, jawaban yang didapatnya justru di luar nalar. Kepala desa berdasar adat dan saran penduduk, justru meminta kedua orang tua korban untuk berkompromi. Yakni, dengan mempertimbangkan opsi menikahkan anak mereka dengan salah satu pelaku. Solusi itu jelas tak berpihak pada korban dan terkesan meremehkan, tetapi mirisnya seringkali disarankan dengan dalih melindungi nama baik keluarga dan desa secara umum. 

Mereka akhirnya meminta bantuan LSM Srijan Foundation untuk membantu mereka mengawal kasus ini. Mulai dari mengajak penduduk desa mendiskusikan kasus tersebut sampai menemani pasutri tersebut menuntut pelaku ke pengadilan. Namun, prosesnya tak sesederhana yang dibayangkan. Korban dan orangtuanya harus melalui berbagai pemeriksaan medis (visum), perekaman testimoni, dan persidangan beberapa kali karena ketiga pelaku mengaku tak bersalah. 

Fakta bahwa pelakunya tinggal berdekatan dengan korban juga membuat kasus ini makin kompleks dan menguras emosi. Apalagi, dalam beberapa bagian kita akan melihat bagaimana penduduk desa justru menyerang serta mengintimidasi Ranjit dan Jaganti. Tak peduli pria maupun perempuan, sebagian besar dari penduduk desa sepakat kalau solusi dari masalah ini adalah pernikahan, seolah pemerkosaan bukan tidak pidana. 

3. Korban yang menyelamatkan kasusnya sendiri

[REVIEW] To Kill A Tiger, Nomine Oscar yang Bahas Victim BlamingTo Kill A Tiger (dok. Notion Pictures/To Kill A Tiger)

Baca Juga: 7 Gaya Artis Pria di Red Carpet Oscar 2024, Outstanding!

Walau awalnya ragu, kasus ini berhasil diperkarakan secara resmi di pengadilan. Prosesnya tidak mudah. Ada beberapa hal yang menghalangi keadilan tercapai, mulai dari ketiadaan saksi yang bisa memberatkan pelaku dan ketidakseriusan aparat. Satu-satunya saksi yang bisa dihadirkan pihak korban adalah petugas keamanan desa. Namun, bukannya memihak Ranjit dan keluarganya, ia justru menganggap Ranjit melanggar adat desa dengan mengangkat kasus ini ke publik dan melibatkan pihak eksternal.

Aparat yang ditugaskan untuk bersaksi atas laporan kasus itu juga tak banyak membantu. Mereka tak melakukan pemeriksaan TKP dan pengumpulan bukti. Satu-satunya harapan dari kasus ini adalah testimoni langsung sang korban. Meski awalnya terlihat lemah dan tak berdaya setelah kasus perkosaan yang menimpanya, korban justru keluar sebagai penyelamat kasusnya sendiri.

Film ini boleh saja bertempo lambat dan jauh dari adegan-adegan bombastis, tetapi pernyataan-pernyataan para narasumber di dalamnya mampu mengacak-acak emosimu. Seolah bilang inilah yang terjadi saat budaya menyalahkan korban (victim blaming) dipelihara. Namun, kejujuran dan kegigihan tidak mengkhianati hasil. 

Baca Juga: 15 Gaya Seleb di Oscar Red Carpet 2024, Ada Zendaya hingga Anya!

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Siantita Novaya

Berita Terkini Lainnya