The 1975, Prestasi dan Kontroversi yang Saling Bersahutan

Terancam kehilangan basis penggemar? 

Beberapa waktu lalu, band The 1975 jadi perbincangan publik usai aksi kontroversial mereka di sebuah festival musik di Malaysia. Jadwal konser mereka di Jakarta dan Taipei yang waktunya berdekatan dengan insiden itu pun ikut batal karena masalah tersebut. Padahal, The 1975 punya basis penggemar yang besar di seluruh dunia, termasuk Asia Tenggara. Mereka sudah beberapa kali tur Asia Tenggara, terakhir pada 2019 lalu mengiringi perilisan album A Brief Inquiry Into Online Relationships.

Kontroversi itu sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Sejak pertama muncul, The 1975 membelah audiens jadi dua kubu, pro dan kontra. Lagu-lagu mereka yang catchy dan inovatif dengan cepat membuka peluang mereka meroket ke ranah mainstream. Di sisi lain, ada anggapan bahwa mereka tidak autentik dan merusak citra musik indie-rock. 

Masih ditambah aksi menyebalkan sang vokalis, Matty Healy, selama beberapa tahun terakhir yang sempat dibocorkan penggemar Taylor Swift saat ia dikabarkan menjalin kasih dengan penyanyi top asal Amerika Serikat tersebut pada Mei 2023 lalu. Siapa sebenarnya The 1975? Apa yang membuat mereka begitu dipuja, tetapi juga dibenci? 

Baca Juga: Gak Kalah Kreatif dari The 1975, 5 Band Indie-Pop Ini Wajib Dikepoin

1. Band yang menginspirasi tren musik retro-synth di dunia

The 1975, Prestasi dan Kontroversi yang Saling Bersahutanpersonel band The 1975 (instagram.com/the1975)

Terlepas dari kontroversi yang berkembang beberapa tahun belakangan, The 1975 adalah pelopor kemunculan musik retro-synth. Pada album debut yang rilis pada 2013, mereka memadukan permainan gitar yang rumit dengan sentuhan synthesizer ala musik 80-an. Ini membuat musik mereka terasa baru dan inovatif.

Dengan cepat, mereka merangsek ke skena arus utama musik Inggris sebagai band pop-rock baru yang digilai anak muda.  Emily Bootle dalam tulisannya untuk Vice membandingkan lagu-lagu The 1975 dengan jingle sederhana macam "Happy Birthday" dan “Somewhere Over the Rainbow”.

Menurutnya, ada banyak elemen di lagu mereka yang adiktif, sehingga nyaman disenandungkan dan didengar untuk mengiringi orang berdendang. Tak heran, dalam waktu 1—2 tahun, popularitas The 1975 merambah ke seluruh penjuru dunia. Pada akhir 2010an, band-band baru yang menggunakan pendekatan retro-synth bertaburan. 

Namun, kemunculan mereka juga menuai kontra. Pencinta skena musik indie dan rock, menganggap musik mereka generik. Bahkan, hujatan juga dilayangkan mantan personel Oasis, Noel Gallagher, di beberapa kesempatan. Baginya, sangat salah menganggap bahwa The 1975 adalah band rock terbaik saat ini. 

2. Dikenal aktif menyuarakan isu-isu sosial lewat karyanya

The 1975, Prestasi dan Kontroversi yang Saling Bersahutankonser The 1975 (instagram.com/the1975)

Kekuatan The 1975 juga terletak di lirik mereka yang tak sebatas soal percintaan, seks, dan adiksi. Seolah tahu kalau pasar mereka adalah anak-anak muda milenial dan gen Z yang melek isu sosial, Matty Healy dkk pun membuat lagu-lagu yang menciptakan kesan aktivisme. Mereka juga rajin mengampanyekan demokrasi, kesehatan mental, krisis iklim, kesetaraan gender dan pesan antimisogini, hingga hak-hak LGBTQ+. 

Ini juga mereka kampanyekan lewat label rekaman Dirty Hit. Sejak 2018, Matty Healy dan rekan-rekannya tercatat menjadi stakeholders di perusahaan tersebut. Mereka melakukan gebrakan dengan merekrut musisi-musisi keturunan Asia, seperti Rina Sawayama, Beabadoobee, dan No Rome. Seolah beresonansi dengan agenda inklusivitas yang bergaung di seluruh dunia, Dirty Hit layaknya 88rising versi lokal Inggris. 

3. Prestasi mereka kini ternoda gimmick tak perlu

The 1975, Prestasi dan Kontroversi yang Saling Bersahutankonser The 1975 (instagram.com/the1975)

Sayangnya, ini sering kali kontradiktif dengan tabiat Matty Healy, sang frontman. Healy yang lahir dari keluarga berada dan berkulit putih sering dianggap mengabaikan privilese yang dimilikinya serta menutup mata akan keberagaman yang ada. Ia beberapa kali tertangkap melontarkan komentar angkuh hingga celotehan rasis. Salah satunya terjadi saat ia tampil di sebuah siniar, kemudian membuat gurauan tak pantas soal etnisitas rapper asal Amerika Serikat, Ice Spice. 

Ia juga dianggap tidak profesional setelah beberapa kali tampil di panggung dalam keadaan mabuk dan mencium penonton bahkan petugas keamanan saat konser. Puncaknya terjadi di sebuah festival musik di Malaysia beberapa waktu lalu. The 1975 langsung dihujat karena dianggap tidak menghargai penyelenggara dan penggemar dengan gimmick yang tak perlu itu. 

Sebagai entitas dengan platform sebesar musisi, menyisipkan beberapa pesan dan agenda sosial dan politik adalah hal wajar. The 1975 bukan kasus spesial. Hanya saja ini perlu diimbangi dengan komitmen yang kuat. Setelah beberapa kontroversi yang bermunculan, banyak pihak menilai The 1975 hanya melakukan performative activism di panggung. Yakni, aktivisme sebatas pencitraan tanpa benar-benar mempraktikannya di dunia nyata.

Jelas ini berdampak buruk pada citra mereka, setidaknya di Asia. Perjuangan dari band anak sekolahan sampai sebesar ini ternoda begitu saja karena ulah problematik mereka sendiri. Namun, sepertinya kasus ini belum akan mengakhiri karier mereka sebagaimana hancurnya karier band yang tersandung pelecehan seksual.

Bagaimana menurutmu? Setujukah kamu kalau The 1975 disebut band yang prestasi dan kontroversinya saling bersahutan? Tulis di kolom komentar, ya!

Baca Juga: Profil Matty Healy, Vokalis The 1975 yang Dinilai Problematik

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya