Transformasi Film India, dari Stereotipikal Jadi Kaya Komentar Sosial

Saat ini, sineas India bisa jadi sangat kritis

Pada 1990-an hingga awal 2000-an, orang mengenal sinema India atau Bollywood lewat film-film romansanya yang glamor dan flamboyan. Latar dan kostum yang megah, bahkan karakter-karakternya pun didesain dengan pola pikir modern. Tak sedikit yang diceritakan sebagai kaum kelas atas maupun diaspora di luar negeri. 

Menariknya, beberapa tahun belakangan, tepatnya pada 2010-an, semesta sinematik India jadi gudangnya film-film bermuatan isu sosial-politik dengan pendekatan yang lebih realis. Isu kesehatan mental, kesetaraan gender, hingga kritik terhadap sistem kasta, kemiskinan, dan korupsi jadi tema yang makin sering diangkat dalam film Bollywood.

Bagaimana transformasi itu bisa terjadi? Berikut secuplik analisanya. 

 

1. Film neorealis India pernah berjaya pada era emas, yakni tahun 1940-1960-an

Transformasi Film India, dari Stereotipikal Jadi Kaya Komentar SosialAparajito (dok. Janus Films/Aparajito)

Melansir tulisan Chandra dan Bathia berjudul "Social Impact of Indian Cinema – An Odyssey from Reel to Real" dalam Global Media Journal (Arabian Edition), film India muncul pada 1910-an lewat kisah-kisah klasik dan mitologi. Pada 1920-an, barulah mulai muncul film-film neorealis yang mencerminkan kenyataan di negeri itu.

Tren realisme kemudian berkembang dan jadi potret sinema India pada 1940--1960-an yang kemudian dikenal orang sebagai Era Emas. Saat itu ada beberapa sineas prominen macam Satyajit Ray (Pather Panchali, Aparajito), Mehboob Khan (Mother India), dan Raj Kapoor (Awaara). 

Pada 1970--1980-an, meski bukan lagi Era Emas, sinema neorealis masih merajai industri film India saat itu. Pemerintah bahkan memberikan subsidi dan bantuan untuk para sineas independen. Pada era ini muncul nama-nama baru seperti Saeed Akhtar Mirza (Albert Pinto Ko Gussa Kyon Ata Hai), Shyam Benegal (Manthan), Mani Kaul (Uski Roti), hingga Mira Nair (Salaam Bombay!). 

Baca Juga: 5 Film India yang Angkat Isu tentang Kejahatan Seksual, Pilu!

2. Komersialisasi film India terjadi pada 1990-an menciptakan tren yang stereotipikal

Transformasi Film India, dari Stereotipikal Jadi Kaya Komentar SosialKuch Kuch Hota Hai (dok. Dharma Productions/Kuch Kuch Hota Hai)

Namun, tren tersebut kemudian berubah pada 1990-an. Masih merujuk sumber yang sama, beberapa faktor yang mempengaruhi transformasi film India. Pertama, pendanaan pemerintah yang membuat sineas harus melakukan berbagai penyesuaian dan menaati peraturan tertentu yang berlaku. Kedua, tuntutan untuk meningkatkan kuantitas film yang diproduksi. Akhirnya, komersialisasi pun mulai marak dilakukan. Film-film yang diproduksi pun jadi lebih beragam dan kreatif, serta punya nilai komersial tinggi. 

Genre yang populer adalah drama romansa yang mulai menggamit nilai-nilai modernisasi dan globalisasi. Film-film India mulai dibuat dengan latar luar negeri, mendapuk karakter diaspora dan kalangan atas. Mereka juga mulai memasukkan lagu sebagai daya tarik. Namun, lama kelamaan film-film India jadi stereotipikal. Mulai dari trope benci jadi cinta, perjodohan yang tidak diinginkan, standar kecantikan yang tidak masuk akal, penggunaan penampilan fisik sebagai bahan gurauan, serta stigma terhadap ras atau kaum tertentu jadi hal yang lumrah ditemukan dalam industri Bollywood. 

3. Tren terbaru, kombinasi antara film komersial dengan muatan sosial-politik kuat

Transformasi Film India, dari Stereotipikal Jadi Kaya Komentar SosialGangubai Kathiawadi (dok. Netflix/Gangubai Kathiawadi)

Namun, sejak akhir 2000-an hingga sekarang, terjadi perbaikan yang signifikan di industri film India. Paham kalau komersialisasi tak bisa dihindari, mereka menciptakan kombinasi yang sempurna antara daya tarik sinematik dengan pesan sosial ala film neorealis. Hasilnya bisa kita nikmati sekarang lewat beberapa film sekaliber Taare Zameen Par (2007), 3 Idiots (2009), Barfi (2012), Aligarh (2015), Pink (2016), The White Tiger (2021), Gangubai Kathiawadi (2022), dan Jawan (2023).

Semua film tadi mendapuk nama-nama besar yang pernah merajai puncak kejayaan Bollywood pada 1990-an, sebut saja Shah Rukh Khan, Aamir Khan, Aamitabh Bachan, dan Ranbir Kapoor. Beberapa nama baru juga muncul seperti Rajkummar Rao dan Alia Bhatt. Desain produksi mereka pun tak main-main, benar-benar bisa menciptakan latar megah tanpa mengorbankan plotnya yang tajam. 

Dengan dibukanya keran investasi luar negeri, kamu juga bisa melihat berbagai hasil kolaborasi Bollywood dengan sineas negara lain termasuk Hollywood. Seperti Life of Pi (2012), Slumdog Millionaire (2009), dan Lion (2016). Terbaru film dokumenter berjudul To Kill a Tiger (2023) yang dapat nominasi Oscar 2024. Geliat film independen mereka juga tak kalah menarik buat dilihat.

Dengan keberadaan layanan streaming, film-film indie pun dapat kesempatan untuk meraup audiens seluas mungkin setelah tayang perdana di festival. Beberapa yang prestasinya mentereng antara lain The Lunchbox (2013), Court (2014), dan Manto (2018). 

Meski sinema Indonesia sudah mulai menuju ke arah yang sama lewat beberapa perilisan film dengan komentar sosial, India bisa dibilang jauh lebih progresif. Mereka tak puas berkutat pada masalah sosial, tetapi tak ragu menyoal isu politik. Salah satunya kritik pedas buat aparat mereka yang terkenal korup tanpa khawatir dituntut atas pencemaran nama baik. 

Baca Juga: 9 Film India Tayang Maret 2024, Ada Film Baru Kareena Kapoor!

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dwi Rohmatusyarifah

Berita Terkini Lainnya