My Neighbor Totoro (dok. Studio Ghibli/My Neighbor Totoro)
Film-film Ghibli banyak mengangkat dan mempromosikan isu-isu progresif, seperti kesetaraan gender, hak pekerja, gaya hidup slow-life, antikonsumerisme, antikekerasan, hingga gerakan sadar lingkungan. Namun, mereka melakukannya dengan cara yang tidak agresif. Yakni dengan memberikan contoh nyata, menggunakan analogi, serta melakukan proses defamiliarization (mengubah hal familier jadi lebih abstrak agar penonton bisa melihat dengan perspektif baru).
Saat bicara kesetaraan gender misalnya, Ghibli melakukannya dengan mendapuk protagonis perempuan sebagai agen perubahan, seperti yang terlihat di film Spirited Away, Kiki's Delivery Service, Princess Mononoke, When Marnie Was There, dan Only Yesterday. Mereka juga menormalisasi peran domestik laki-laki, seperti sosok penyihir Howl di Howl's Moving Castle serta ayah Satsuki dan Mei di My Neighbor Totoro.
Ghibli juga tak pernah absen membahas isu lingkungan dengan cara yang unik. Misalnya, protes terhadap penggundulan lahan yang dilakukan sekawanan rakun yang bisa menyamar dalam Pom Poko, prediksi dampak senjata nuklir yang menghancurkan bumi dalam Nausicaa of the Valley of the Wind, hingga peran prominen flora dan fauna dalam The Secret World of Arrietty dan Ponyo. Kesetiaan mereka menggunakan pendekatan pasifis alias cinta damai juga patut dipuji. Pesan antiperang dan nirkekerasan selalu jadi titik berat film-film animasi Ghibli. Coba saja cek kembali Nausicaa of the Valley of the Wind, Howl's Moving Castle, Grave of the Fireflies, dan Castle in the Sky.
Isu lain yang tak kalah menarik adalah antikonsumerisme dan slow-life. Kebanyakan film Ghibli berlatarkan kota kecil dan pedesaan, di situlah mereka mulai melancarkan aksi-aksi romantisasi gaya hidup lambat. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti dalam film Spirited Away mereka dengan gamblang mengkritik budaya konsumsi berlebih dan keserakahan manusia lewat transformasi mengerikan orangtua Chihiro.