Sabrina Carpenter saat tampil di NPR Tiny Desk Concert (instagram.com/sabrinacarpenter)
Menormalisasi baby voice, bahkan meromantisasinya erat kaitannya dengan penilaian masyarakat yang masih melihat kepribadian ambisius, cerdas, asertif, dan penuh inisiatif sebagai ancaman bagi masa depan mereka sendiri. Misalnya akan kesulitan dapat jodoh karena susah didekati dan lain sebagainya, yang pada dasarnya masih berkutat pada ego pria.
Namun, seiring berkembangnya gerakan feminisme di ranah arus utama, ide-ide itu mulai ditinggalkan dan dianggap kedaluwarsa. Baby voice sudah tak lagi relevan. Apalagi sejak kasus eksploitasi Britney Spears oleh keluarga dan manajemennya menyeruak, diiringi kemunculan tagar #FreeBritney pada 2019. Saat itu, orang sadar kalau selama ini, Spears dipaksa melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Salah satunya menyanyi dengan baby voice yang sebenarnya bukan warna vokal sejatinya.
Paris Hilton juga mengejutkan publik pada 2023 lewat perubahan suaranya. Dikenal dengan suara high-pitched, Hilton secara konsisten berbicara dengan warna suara yang lebih berat setiap kali diwawancara tentang buku memoarnya. Ia pun terus terang mengaku kalau suara yang ia pakai saat jadi aktris sekaligus penyanyi memang sengaja dibedakannya dengan suara aslinya.
Contoh lain yang tak kalah menarik adalah Sabrina Carpenter dan Taylor Swift yang mempertahankan suara rendahnya. Padahal, Carpenter dan Swift adalah cerminan perempuan ideal dalam standar industri hiburan Barat (berambut pirang, bermata terang, dan berkulit putih) yang mengingatkan kita pada Paris Hilton di masa lalu. Makin ke sini, kita juga tidak susah menemukan musisi perempuan berkelas dunia yang bersuara berat seperti Adele, Miley Cyrus, Dua Lipa, dan Megan Thee Stallion.