Menjadi orangtua bukan tugas mudah, apalagi bila harus dilalui sendirian. Belum lagi diperparah dengan cemooh dan stigma buruk yang melekat pada orangtua tunggal.
Masyarakat juga menambah kompleksitas dengan membedakan perlakuan yang mereka berikan pada orangtua tunggal berdasar gender. Jim Walter, seorang penulis kolom dan bapak tunggal membagikan pengalamannya lewat situs Healthline. Di sana, ia mengklaim bahwa standar yang ditetapkan untuk ayah tunggal ternyata jauh lebih rendah dari ibu tunggal.
Ini berkaitan erat dengan divisi tugas dalam rumah tangga yang membebankan hampir seluruh urusan mengasuh anak pada ibu. Namun, pembagian ini pula yang membuat bapak tunggal dianggap kurang kompeten, sehingga mendorong orang untuk menaruh simpati lebih. Kecenderungan ini pula yang bikin bapak tunggal sering diglorifikasi. Seakan yang mereka lakukan merupakan hal yang luar biasa.
Meski begitu, riset Barsic dan Visnjic Jevtic berjudul "Social Opinion on Single-Father Families and Their Inflience on Child Education" menemukan bahwa bapak tunggal juga mengalami tantangan spesifik, yakni kurangnya sistem dukungan. Ini karena mereka sendiri enggan meminta bantuan (dampak maskulinitas toksik). Tidak seperti ibu-ibu tunggal yang lebih mudah menemukan komunitas.
Bapak-bapak tunggal juga dapat ekspektasi lebih di kantor. Liputan Andree Brooks untuk The New York Times menemukan bahwa tidak seperti ibu tunggal, ayah tunggal lebih sulit dapat dispensasi pekerjaan.
Riset-riset di atas adalah bukti perbedaan tantangan antara ibu dan bapak tunggal sebenarnya terbentuk karena konstruksi sosial. Sudah saatnya kita menganggap peran ibu dan ayah dengan perspektif yang lebih berimbang, tanpa ekspektasi gender.
Untuk membantumu, kamu bisa coba tonton film dengan karakter bapak tunggal berikut. Representasinya akurat dan realistis, tanpa upaya glorifikasi. Yuk, catat judul-judulnya.