Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
No Country for Old Men
No Country for Old Men (dok. Criterion/No Country for Old Men)

Tension building (proses menuju situasi tegang) adalah teknik yang sering dipakai dalam proses penulisan cerita. Tujuannya gak jauh-jauh dari kebutuhan menciptakan cerita yang dinamis dan menarik buat penonton. Bahkan dalam film-film yang sengaja didesain dengan vibrasi menenangkan pun masih memakainya di beberapa bagian.

Prosesnya pun cukup kompleks. Gak hanya skenario yang matang, sinematografi, dan performa aktornya harus pula mumpuni. Kalau boleh memilih beberapa film yang teknik tension building-nya wajib diacungi jempol. Ketiga elemen yang disebut tadi terpenuhi ditambah penempatannya yang pas. Tak harus ditengah, bisa agak akhir, atau bahkan awal.

Kalau penasaran, ini beberapa rekomendasi film dengan teknik tension building terbaik yang wajib kamu tonton. Wah, pasti bakal jadi film favorit barumu, nih!

1. Following (1998)

Following (dok. Criterion/Following)

Following adalah film fitur debut Christopher Nolan yang mengikuti keseharian seorang pria gabut di London. Beraspirasi jadi penulis, ia nekat mengikuti orang secara acak tiap hari dengan harapan dapat inspirasi cerita.

Satu hari, salah satu targetnya memergoki si pria dan justru mengajaknya bekerja sama melakukan aksi ilegal. Perlahan, tapi pasti kita diajak mengikuti dinamika keseharian si lakon yang berubah sampai gongnya dibongkar jelang akhir film.

2. No Country for Old Men (2007)

No Country for Old Men (dok. Criterion/No Country for Old Men)

Teknik tension building ciamik lain bisa kamu temukan dalam film No Country for Old Men. Film ini mengikuti kisah pemburu yang tak sengaja menemukan sekoper uang dan memilih mengakuisisinya. Namun, rasa bersalah menghantuinya. Ia berniat mengembalikan koper itu, tetapi justru menemukan seonggok jasad.

Tanpa ia sadari, ia membuat seorang kriminal berbahaya balik memburunya karena uang curian itu. Memastikan penonton dan lakon gak tahu seberapa dekat si kriminal, gak heran kalua film ini memanjakan penggemar film. Ada banyak teknik inovatif yang dipakai Coen Bersaudara.

3. The Silence of the Lambs (1991)

The Silence of the Lambs (dok. Park Circus/The Silence of the Lambs)

Film lawas lain yang bisa kamu pakai untuk menikmati tension building yang memanjakan adalah The Silence of the Lambs. Film ini mengikuti interaksi seorang agen FBI pemula dan psikopat kelas kakap di sebuah penjara keamanan tingkat tinggi. Ini dilakukan si agen untuk menemukan petunjuk soal penjahat lain yang masih dalam kejaran. Permainan dialog dan framing dipakai sutradara Jonathan Demme untuk membangun tensi. Gak hanya soal relasi kuasa, relasi gender juga ikut disenggol di film ini.

4. Pearl (2022)

Pearl (dok. Universal Pictures/Pearl)

Pearl adalah film horor berlatar Perang Dunia I yang mengekor pergumulan batin perempuan muda di pedesaan di Amerika Serikat. Situasinya kontras dengan ambisinya jadi aktris papan atas. Ini membuat dunianya terasa menyesakkan dan pada akhirnya mendorongnya berbuat nekat.

Seperti film sebelumnya, framing adalah salah satu kunci tension building yang dipakai Ti West untuk film Pearl. Banyak adegan menegangkan di film ini yang menawan gara-gara penempatan kameranya. Ditambah pula dengan performa Mia Goth yang brilian, Pearl layak dipelajari kalau ingin belajar teknik tension building dalam pembuatan cerita.

5. Victoria (2015)

Victoria (dok. Jour2Fete/Victoria)

Terlihat seperti anak muda naif pada awalnya, siapa sangka hidup Victoria (Laia Costa) berubah 180 derajat dalam semalam. Semua bermula dari pertemuannya dengan 4 pemuda di sebuah klub malam. Mereka menyambut hangat Victoria yang kesulitan dapat teman di perantauan.

Melihatnya dikelilingi pemuda-pemuda yang baru dikenal saja sudah bikin tak nyaman, tetapi gong alias puncak konfliknya justru bukan bersumber dari teman-teman barunya itu. Dibuat dengan teknik one-shot, film ini bakal bikin jantungmu terpacu sepanjang film. Gak ada momen rileks sedetik pun.

6. Take Out (2004)

Take Out (dok. Criterion/Take Out)

Take Out awalnya terlihat seperti aktivitas monoton seorang kurir restoran Asia di New York. Gara-gara terlibat utang, ia terpaksa bekerja mati-matian hari itu. Ia bertemu dengan beragam pelanggan, beberapa dermawan, tetapi gak sedikit yang menyebalkan dan banyak minta. Belum lagi, drama salah kirim yang membuatnya jadi bulanan-bulanan.

Dengan seksama, tensi, konflik, dan momen rileks berkelindan, sampai puncak ketegangannya dikeluarkan jelang akhir film. Film ini cukup dinamis, meski premisnya keseharian seorang kurir biasa.

Dalam bercerita, termasuk dalam bentuk karya sinematik, keberadaan tensi memang gak bisa dihindari. Ia ada sebagai pemikat buat penonton dan perlu 3 elemen untuk menciptakannya: naskah, sinematografi, dan performa aktor. Kalau ketiga elemen itu terpenuhi, siapa pun bakal terpikat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team