Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Film Eco-Fable Terbaik, Surat Cinta untuk Alam dari Sineas 

The Animal Kingdom (dok. StudioCanal/The Animal Kingdom)
The Animal Kingdom (dok. StudioCanal/The Animal Kingdom)

Ecological fable adalah sebuah subgenre yang cukup umum ditemukan dalam industri film. Memang tak semasif horor sosial dan komedi romantis yang kuantitasnya naik drastis beberapa tahun belakangan, tetapi jadi salah satu kategori film dengan niche alias segmen penggemar yang tak main-main. 

Beberapa film eco-fable paling tersohor antara lain Avatar (2009), Wall-E (2008), The Lorax (2012), dan yang sering disebut pelopor, La Belle Verte (1996). Kalau sudah menamatkan keempat film di atas, silakan pertimbangkan lima film di bawah. Tak sedikit yang pendekatannya realis, makin relevan dan menggugah kita sebagai masyarakat awam. 

1. Evil Does Not Exist (2023)

Evil Does Not Exist (dok. Toronto International Film Festival/Evil Does Not Exist)
Evil Does Not Exist (dok. Toronto International Film Festival/Evil Does Not Exist)

Evil Does Not Exist adalah karya termutakhir Ryusuke Hamaguchi (Drive My Car, Wheel of Fortunes and Fantasy) yang sempat tayang di beberapa festival film pada akhir 2023. Rencananya bakal tayang massal pada pertengahan 2024, film ini merupakan drama observatif yang mengikuti dilema pembangunan glamping di sebuah pedesaan di pinggiran Tokyo. Lewat perspektif beberapa penduduk desa, kamu akan dibuat gelisah melihat bagaimana alam yang masih relatif tak tersentuh itu akan berubah jadi spot turis dan pengelola yang komitmennya terhadap kelestarian dipertanyakan. 

2. The Animal Kingdom (2023)

The Animal Kingdom (dok. StudioCanal/The Animal Kingdom)
The Animal Kingdom (dok. StudioCanal/The Animal Kingdom)

Pesan ekologi The Animal Kingdom mungkin tak sekuat film sebelumnya. Namun, sinema ini seolah mengkritik pedas manusia yang suka membuat segregasi dan menciptakan divisi atas nama perbedaan. Status manusia sebagai pemuncak rantai makanan juga ikut disenggol di sini.

Berformat layaknya fabel yang sarat fantasi dan magis, kamu akan mengikuti kehidupan bapak dan anak yang berubah sejak orang-orang di sekitarnya mulai mengalami perubahan fisik menyerupai aneka ragam fauna. Pada akhirnya, mereka juga perlahan berubah layaknya tetangga dan orang terdekat mereka, hingga satu-satunya cara untuk tetap hidup adalah berdamai dengan kondisi itu. 

3. Woman at War (2018)

Woman at War (dok. Jour2fete/Woman at War)
Woman at War (dok. Jour2fete/Woman at War)

Cerita layaknya fabel dengan pesan ekologi juga bisa kamu temukan dalam Woman at War. Mirip dengan Evil Does Not Exist, film Islandia ini berupa fenomena ekspansi industri yang mulai menginterupsi keseimbangan alam. Cerita film ini diambil dari perspektif perempuan paruh baya yang di sela-sela kesibukannya rutin menginterupsi operasional pabrik alumunium di dekat pemukimannya. Namun, pihak pabrik tak kehilangan akal, mereka berusaha menghentikan "musuh" dengan cara yang tak kalah licik. 

4. How to Blow Up a Pipeline (2022)

How to Blow Up a Pipeline (dok. Madman Films/How to Blow Up a Pipeline)
How to Blow Up a Pipeline (dok. Madman Films/How to Blow Up a Pipeline)

Kecewa karena proses penyulingan minyak meninggalkan limbah dan mempercepat krisis iklim, sekelompok aktivis lingkungan mencoba melakukan sabotase untuk menghentikan aktivitas produksi di sebuah pabrik minyak di Texas, Amerika Serikat. Sudah menyiapkan rencananya, eksekusinya ternyata tak semudah bayangan. Ada beberapa dampak dan risiko yang tidak mereka duga bakal terjadi. Tayang perdana di Toronto International Film Festival 2022, film ini tuai pujian untuk kompleksitas cerita dan kedalaman isunya. 

5. Honeyland (2019)

Honeyland (dok. Dogwoof/Honeyland)
Honeyland (dok. Dogwoof/Honeyland)

Honeyland boleh dibilang nomine Oscar paling underrated. Mungkin salah satu faktornya kurangnya eksposur dari distributor. Namun, bila ada kesempatan, film ini bisa jadi salah satu yang harus masuk prioritas tontonanmu. Plotnya tentang Hatidze, pemburu madu lebah liar yang mengutamakan asas keberlanjutan sadar betapa tergantungnya dia terhadap alam. Ini bertolak belakang dengan tetangganya, keluarga peternak nomaden yang berorientasi pada profit. Mereka pula cerminan manusia kebanyakan, yang serakah dan konsumtif. 

Bak surat cinta untuk alam, film-film tadi bisa jadi bahan refleksi untuk kita semua. Tanda-tanda krisis iklim semakin nyata, urgensi untuk peduli lingkungan pun makin nyaring. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us

Latest in Hype

See More

Siapa Alien Perempuan yang Mencium Okarun di Ending Dandadan Season 2?

22 Sep 2025, 21:09 WIBHype