4 Film Jepang untuk Mengenal Sutradara Shinji Somai

- Moving (1993) mengisahkan pernikahan yang hancur dan usaha seorang anak untuk menyelamatkannya.
- The Friends (1994) menceritakan persahabatan antargenerasi yang kocak dan mengharukan.
- Typhoon Club (1985) menampilkan kisah tujuh murid SMA yang terjebak dalam sekolah saat badai topan menerjang.
Jika selama ini kamu masih terpaku pada Hirokazu Koreeda untuk nonton sinema Jepang terbaik, coba melipir dengan ketik nama Shinji Somai. Ia adalah salah satu sutradara yang bakal membawamu mengicip pengalaman sinematik unik.
Untuk berkenalan dengan Shinji Somai, kamu bisa coba empat judul film berikut. Pas untuk pemula dan penyuka film-filmnya Koreeda. Didominasi genre drama dengan gaya bercerita lambat yang menenangkan, bisa ditonton sebelum tidur, nih.
1. Moving (1993)

Moving kerap disebut film terkuat dalam daftar filmografi Shinji Somai. Film ini mencoba memotret kemelut pernikahan lewat sudut pandang seorang bocil bernama Renko (Tomoko Tabata). Baru berusia 11 tahun, Renko harus menyaksikan kehancuran perlahan hubungan ayah dan ibunya. Dimulai dari perdebatan kecil yang berkembang jadi rencana perceraian. Melihat kemungkinan buruk itu, Renko tergerak untuk mencari cara guna menyelamatkan pernikahan orangtuanya, tetapi secara tak sadar ia juga terdorong untuk lari dari kenyataan.
Menariknya, Somai menciptakan karakter orangtua nonkonvensional dalam film ini. Ayah Renko justru dipotret sebagai pria yang santai dan suka bercanda, tidak seperti kebanyakan figur ayah di film-film Jepang. Ibu Renko lebih disiplin, tetapi lebih terbuka dan proaktif membangun komunikasi dengan Renko. Simbolisme juga jadi poin penting dalam film ini, salah satu ikon terbesarnya adalah meja makan segitiga di rumah Renko yang seolah menggambarkan ketidakharmonisan dan segregasi.
2. The Friends (1994)

The Friends adalah film tentang persahabatan antargenerasi. Tepatnya, tiga bocah SD dengan seorang pria lansia yang suka menyendiri. Pertemanan ini dimulai gara-gara keisengan bocah-bocah itu menguntit si pria lansia saat tak punya agenda selama liburan musim panas. Satu hari mereka terpergok si kakek yang jelas marah dan mengusir mereka.
Bukannya kapok, ketiga bocah itu justru kembali ke rumah si kakek. Lelah sendiri, si kakek akhirnya memberdayakan mereka untuk membantunya merapikan kebun. Di sinilah, mereka mulai saling mengenal dan akrab. Mereka bahkan akhirnya jadi tahu mengapa si kakek suka mengisolasi diri. Seru, kocak, tetapi juga mengharukan.
3. Typhoon Club (1985)

Bagaimana jadinya tatkala tujuh murid SMA terjebak dalam sekolah saat badai menerjang? Somai menggunakan premis itu untuk mengembangkan cerita dalam film Typhoon Club. Film ini berlatarkan total 5 hari, menjelang, selama, dan setelah badai topan menerjang sebuah kota di Jepang. Saat itu, pemerintah sudah mengeluarkan peringatan dan mengevakuasi orang-orang dari daerah rawan, termasuk para murid dan staf sebuah SMA.
Namun, mereka meliwatkan tujuh murid yang entah bagaimana tertinggal dan akhirnya terjebak. Tanpa pengawasan orang dewasa, beberapa hal buruk hampir terjadi, tetapi Somai menyelamatkan penonton dengan memastikan mereka akhirnya selamat.
Ketujuh bocah itu sebenarnya mengalami momen-momen kontemplatif: menemukan diri sendiri dan dipaksa untuk saling memahami. Namun, seperti biasa, Somai bukan tipe sutradara yang suka bikin nuansa uplifting di filmnya. Jadi jangan harap ini bakal seperti Linda Linda Linda (2005) atau Waterboys (2001). Sebaliknya, elemen suramnya justru mendekati Battle Royale (2000).
4. Kaza-hana (2000)

Sering dibilang mirip Drive My Car (2022), Kaza-hana juga berkutat pada perjalanan dua orang tak saling kenal. Tepatnya seorang pegawai kantoran dengan seorang pramuria. Mereka tak sengaja bertemu di sebuah klub malam dan sama-sama tersiksa dengan masalah hidup masing-masing. Secara impulsif, keduanya sepakat melakukan perjalanan menuju satu tujuan akhir: kematian.
Dengan mobil merah muda, mereka berkendara menuju Hokkaido yang bersalju guna melancarkan rencana mereka. Kaza-hana dibuat Somai sekitar dua tahun sebelum ia tutup usia. Saat itu, ia sudah divonis kanker. Tak heran, kalau film ini terasa kontemplatif, seolah jadi katarsis untuk sang sutradara yang siap berpulang.
Shinji Somai masih punya banyak film lain yang boleh kamu tilik saat ada waktu. Beberapa film bertema yakuza dan bergenre avant-garde pernah ia buat selama aktif jadi sutradara. Namun, untuk bekal kenalan, empat film tadi disebut paling ideal.