Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
film Dirty Dancing (dok. Lionsgate/Dirty Dancing)
film Dirty Dancing (dok. Lionsgate/Dirty Dancing)

Intinya sih...

  • Possession (1981)

    • Menggambarkan perceraian sebagai neraka psikologis

  • Adegan menampilkan kegilaan dan dorongan naluriah paling liar

  • Intens, brutal, penggambaran jujur tentang perpisahan emosional

  • Dirty Dancing (1987)

    • Mengangkat isu kelas sosial, seksualitas, hingga aborsi

  • Tentang keberanian perempuan untuk memilih jalannya sendiri

  • Berani dalam menyisipkan kritik terhadap sistem dan norma yang membatasi perempuan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di era 1980-an, banyak film yang sukses besar dan menjadi ikon budaya pop. Namun, di antara gemerlap blockbuster dan komedi ringan, ada sejumlah karya yang justru terlalu berani, terlalu unik, atau terlalu jujur untuk bisa dipahami sepenuhnya oleh penonton di zamannya. Film-film ini menyelipkan gagasan sosial, politik, dan psikologis yang jauh melampaui dekade itu.

Karena terlalu maju, beberapa di antaranya sempat diremehkan, bahkan diabaikan saat dirilis. Namun seiring waktu, karya-karya ini justru dinilai sebagai mahakarya yang membuka jalan bagi cara bercerita yang tidak biasa. Dari horor psikologis yang memuakkan hingga drama romantis dengan isu sosial yang dalam, inilah lima film klasik era 80-an yang terlalu visioner.

1. Possession (1981)

film Possession (dok. Gaumont/Possession)

Possession bukan sekadar film horor biasa. Di balik teror dan adegan yang mengganggu, film ini menyimpan kisah emosional tentang hancurnya sebuah hubungan. Salah satu adegan paling terkenal menampilkan karakter Anna yang diperankan Isabelle Adjani mengamuk di lorong bawah tanah, melempar barang belanjaannya, sambil menjerit, muntah, dan berdarah.

Film ini menggambarkan perceraian seperti neraka psikologis yang penuh dengan kegilaan dan dorongan naluriah paling liar. Żuławski menjadikan cinta yang membusuk sebagai tema utama, tapi membalutnya dalam suasana mimpi buruk yang penuh simbol. Akting Adjani dan Sam Neill sangat intens, nyaris seperti pertunjukan teatrikal yang brutal. Possession menjadi salah satu film horor paling tak terlupakan sekaligus salah satu penggambaran paling jujur tentang perpisahan emosional.

2. Dirty Dancing (1987)

film Dirty Dancing (dok. Lionsgate/Dirty Dancing)

Meski dikenal sebagai film romantis ringan, Dirty Dancing sebenarnya menyimpan banyak pesan sosial yang kuat. Film ini mengangkat isu kelas sosial, seksualitas, hingga aborsi. Sesuatu yang sangat jarang dibahas secara terbuka di film populer era 80-an.

Tokoh Baby, seorang gadis muda dari keluarga terpandang, perlahan mulai menyadari kerasnya dunia nyata setelah terlibat dalam dunia dansa dan kehidupan Johnny, seorang instruktur dari kelas bawah. Tak hanya tentang cinta, Dirty Dancing juga tentang keberanian perempuan untuk memilih jalannya sendiri dan menghadapi kenyataan sosial yang tidak adil. Film ini secara mengejutkan berani dalam menyisipkan kritik terhadap sistem dan norma yang membatasi perempuan. Produsernya bahkan sempat kehilangan sponsor karena mengangkat tema aborsi.

3. Variety (1983)

film Variety (dok. Channel Four Films/Variety)

Variety adalah salah satu film langka dari era 80-an yang membahas keinginan seksual perempuan dari sudut pandang perempuan sendiri. Di tengah industri yang didominasi oleh sudut pandang laki-laki, film ini tampil berani dengan menunjukkan bagaimana seorang perempuan mulai mengeksplorasi hasrat dan identitasnya.

Tokohnya, Christine, bekerja di bioskop porno dan perlahan tertarik dengan dunia yang selama ini dianggap tabu. Alih-alih menjadi objek, Christine mengambil kendali dan mulai mengamati lingkungan sekitarnya dengan cara yang berbeda.

Film ini menantang konsep “male gaze” dan memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi subjek dalam kisah mereka sendiri. Variety sangat revolusioner karena memotret hasrat bukan sebagai sesuatu yang harus disembunyikan, tapi sebagai bagian alami dari pencarian jati diri.

4. Alice (1988)

film Alice (dok. LookingGlass Films/Alice)

Adaptasi Alice in Wonderland versi Jan Švankmajer bukan untuk anak-anak. Dengan menggabungkan live-action dan animasi stop-motion, film ini menciptakan dunia yang menyeramkan, aneh, dan penuh simbol surreal.

Alice dalam versi ini masuk ke dunia mimpi buruk yang dipenuhi kelinci berbicara yang menjahit tubuhnya sendiri, benda-benda mati yang hidup, dan suasana dingin yang jauh dari dongeng klasik. Švankmajer membawa kita melihat dunia dari perspektif anak-anak yang belum terkontaminasi logika orang dewasa.

Dengan menggunakan benda-benda sehari-hari seperti boneka tua dan meja kayu, ia membalik realitas dan menciptakan suasana yang membuat kita mempertanyakan batas antara fantasi dan kenyataan. Alice tidak hanya menjadi adaptasi yang unik, tapi juga sindiran tajam terhadap cara masyarakat membatasi imajinasi dan kebebasan berpikir.

5. Do the Right Thing (1989)

film Do the Right Thing (dok. A Mule Filmworks/Do the Right Thing)

Film Do the Right Thing adalah karya revolusioner yang membahas isu rasial di Amerika dengan cara yang segar dan menggugah. Berlatar di Brooklyn saat musim panas yang panas, film ini menggambarkan bagaimana ketegangan antar-ras perlahan meningkat hingga akhirnya meledak.

Lewat cerita tentang pemilik restoran Italia yang menolak memasang foto tokoh kulit hitam di dinding restorannya, film ini menunjukkan bagaimana diskriminasi bisa muncul dari hal-hal kecil. Spike Lee menyoroti bagaimana ketidakadilan rasial sudah begitu membudaya sehingga sering kali dianggap normal.

Dengan gaya visual mencolok dan dialog tajam, film ini menjadi cermin yang membuat penonton bertanya apa sebenarnya tindakan yang benar? Film ini tidak memberikan jawaban hitam putih, melainkan membuka ruang untuk diskusi.

Beberapa film ini membuktikan bahwa menjadi visioner sering kali berarti harus menghadapi penolakan sebelum akhirnya dihargai. Di tengah banjir tontonan instan saat ini, apakah kita masih punya ruang untuk menghargai film-film yang berani mendobrak batas sebelum waktunya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team