Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
film The Matrix Resurrections (dok. Warner Bros/The Matrix Resurrections)
film The Matrix Resurrections (dok. Warner Bros/The Matrix Resurrections)

Intinya sih...

  • Joker: Folie à Deux (2024) - Todd Phillips membuat sekuel Joker untuk menentang glorifikasi karakternya.

  • The Matrix Resurrections (2021) - Lana Wachowski menciptakan film ini sebagai bentuk perlawanan kreatif terhadap praktik studio besar.

  • Shrek (2001) - Film ini lahir dari dendam pribadi Jeffrey Katzenberg terhadap Disney dan berhasil menjadi kemenangan manis.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tidak semua film besar lahir dari inspirasi indah atau ide brilian yang muncul begitu saja. Beberapa karya justru lahir dari emosi yang lebih kelam yakni rasa kecewa, penolakan, hingga dendam pribadi. Menariknya, dorongan itulah yang membuat para sineas menciptakan sesuatu yang segar, berbeda, dan akhirnya melegenda di mata dunia.

Film-film ini menjadi bukti bahwa rasa sakit hati bisa berubah menjadi karya seni yang abadi. Para sutradara dan kreator menyalurkan kekecewaan mereka ke layar lebar, sehingga menghasilkan tontonan yang tidak hanya menghibur, tapi juga punya kisah di balik layar yang penuh dengan drama. Justru karena lahir dari dendam, film-film ini lebih berani, jujur, dan berkesan.

1. Joker: Folie à Deux (2024)

Joker: Folie à Deux (dok. Warner Bros/Joker: Folie à Deux)

Setelah sukses besar dengan Joker (2019), Todd Phillips sebenarnya tidak berniat membuat sekuelnya. Namun, keberhasilan film itu justru menciptakan masalah baru, yaitu karakter Joker dipuja habis-habisan, bahkan dianggap sebagai sosok pahlawan tragis oleh sebagian penonton yang salah menangkap maksud film.

Phillips merasa tidak nyaman, karena karyanya malah dipakai untuk memuliakan sisi gelap Joker. Maka dari itu, ia memutuskan untuk membalik ekspektasi dalam sekuel yang sama sekali tak terduga. Hasilnya adalah Joker: Folie à Deux, sebuah musikal psikologis yang penuh kejutan. Alih-alih melanjutkan glorifikasi Joker, film ini justru meruntuhkan imajinasi penonton tentangnya.

Dengan dana besar dan niat melawan persepsi publik, Phillips seakan berkata, “Kalian tidak bisa mengontrol interpretasi filmku.” Film ini lahir bukan semata karena kebutuhan industri, tapi juga dari rasa muak sutradara pada cara audiens memandang karyanya.

2. The Matrix Resurrections (2021)

The Matrix Resurrections (dok. Warner Bros/The Matrix Resurrections)

The Matrix adalah waralaba yang begitu sukses hingga Warner Bros. tidak pernah benar-benar ingin melepaskannya. Padahal, sejak Revolutions (2003), Lana dan Lilly Wachowski sudah menyatakan bahwa kisah Neo berakhir dengan tuntas. Namun, ancaman studio untuk membuat reboot dengan orang lain akhirnya membuat Lana turun tangan, meskipun tanpa Lilly.

Hasilnya adalah The Matrix Resurrections, film yang sadar diri penuh komentar meta. Lana dengan sengaja menggambarkan Neo sebagai pengembang game yang dipaksa membuat sekuel oleh perusahaannya, seolah menyinggung langsung Warner Bros. yang memaksa dirinya.

Film ini bukan sekadar nostalgia, tapi juga bentuk perlawanan kreatif terhadap praktik studio besar yang menganggap film hanya sebagai mesin uang. Menarik banget, ya?

3. Shrek (2001)

Shrek (dok. Dreamworks/Shrek)

Di balik kelucuannya, Shrek ternyata lahir dari dendam pribadi. Jeffrey Katzenberg, salah satu pendiri DreamWorks, dulu pernah menjadi pimpinan di Disney. Namun, ia dipecat setelah berselisih dengan Michael Eisner, CEO Disney kala itu.

Tak lama kemudian, Katzenberg ikut mendirikan DreamWorks dan memproduksi Shrek, sebuah film animasi yang terang-terangan menyindir formula khas Disney. Dari tokoh Lord Farquaad yang sombong hingga gaya humor yang menyindir klise dongeng, semuanya terasa seperti sindiran langsung pada Disney.

Bahkan, perilisan Shrek di home video dijadwalkan pada hari yang sama dengan Monsters, Inc. milik Disney. Hasilnya Shrek justru lebih populer dan berhasil memenangkan Oscar mengalahkan Monsters, Inc. Film ini menjadi sebuah kemenangan manis yang jelas terasa seperti balas dendam pribadi.

4. Raiders of the Lost Ark (1981)

Raiders of the Lost Ark (dok. Paramount Pictures/Raiders of the Lost Ark)

Steven Spielberg sebenarnya sejak lama ingin menyutradarai film James Bond. Sayangnya, ia selalu ditolak, bahkan setelah sukses dengan Jaws (1975). Kekecewaan itu kemudian dimanfaatkan George Lucas, yang menawari Spielberg proyek baru yaitu kisah petualangan ala Bond, tapi dengan tokoh arkeolog karismatik bernama Indiana Jones.

Dengan semangat pembuktian, Spielberg menggarap Raiders of the Lost Ark dengan penuh energi. Hasilnya bukan hanya film petualangan seru, tapi juga awal dari salah satu waralaba paling ikonik dalam sejarah film.

Ironisnya, Spielberg akhirnya berhasil menghadirkan Bond versinya sendiri yang bahkan lebih berkesan, apalagi ketika ia berhasil mengajak Sean Connery si mantan James Bond untuk berperan sebagai ayah Indiana Jones di sekuelnya.

5. Solaris (1972)

Solaris (dok. Lorber Films/Solaris)

Ketika 2001: A Space Odyssey karya Stanley Kubrick dirilis pada 1968, banyak orang menganggapnya sebagai mahakarya sains fiksi. Namun, Andrei Tarkovsky punya pandangan berbeda. Baginya, film itu terlalu dingin dan terlalu sibuk dengan teknologi, sehingga kehilangan sisi kemanusiaan. Dari rasa tidak setuju itulah Tarkovsky terdorong untuk membuat Solaris.

Berbeda dengan Kubrick, Tarkovsky fokus pada sisi emosional dan eksistensial manusia. Solaris menggali pertanyaan tentang kesepian, kehilangan, dan ingatan, dengan latar cerita luar angkasa yang minim efek khusus.

Film ini justru membuktikan bahwa meski dibuat dengan sumber daya terbatas, karya yang lahir dari rasa perlawanan bisa menghasilkan sesuatu yang kuat secara emosional, bahkan diakui sebagai salah satu film sci-fi paling berpengaruh.

Dendam yang seharusnya menghancurkan justru berubah menjadi inspirasi untuk melawan, bereksperimen, dan menciptakan sesuatu yang melampaui ekspektasi. Jadi, siapa sangka bahwa rasa sakit hati bisa melahirkan film-film yang kini dianggap legendaris?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team