Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
La Llorona
La Llorona (dok. Criterion/La Llorona)

Sadar atau tidak skena sinema global didominasi oleh perspektif orang kulit putih. Coba cek saja lakon dalam film-film favoritmu selama ini. Gak bisa dimungkiri mereka memang mendominasi dan mengontrol narasi yang berkembang. Itu juga yang mendasari kemunculan istilah orientalisme, sebuah cara pandang yang dipakai orang kulit putih ketika melihat orang di luar komunitas mereka. Entah itu Asia, Afrika, Latin, Arab, dan lain sebagainya.

Pada intinya orientalisme ini seperti sebuah alat yang berhasil memperkuat dominasi mereka di dunia. Seolah memperkuat fakta bahwa kolonialisme belum benar-benar dihapuskan dari dunia. Lewat orientalisme itulah, kultur dan komunitas non-kulit putih dipotret tak lebih dari sekadar objek fetis dan proyek sukarela. Coba tonton beberapa film tentang penduduk pribumi yang kini dianggap problematik, seperti Conrack (1974), Walkabout (1971), dan Borat (2006). Film-film ini boleh deh kamu ganti dengan beberapa sinema di bawah. Bisa jadi cara mendekolonisasi daftar tonton dan cara pandangmu.

1. La Llorona (2019)

La Llorona (dok. Criterion/La Llorona)

La Llorona memang film horor, tetapi elemen politiknya cukup kuat. Ia berkutat pada keluarga mantan diktator Guatemala, Enrique Monteverde (Julio Diaz) yang sedang menjalani proses peradilan atas tuduhan genosida terhadap orang-orang pribumi selama rezimnya berkuasa. Selama itu, pula ia dan keluarganya terus dihantui sesuatu yang susah dijelaskan dengan logika. Mulai dari suara tangisan perempuan, jejak air yang tak diketahui asalnya, mimpi buruk berlanjut, sampai kehadiran sosok-sosok misterius. Apa sebenarnya itu semua bakal terjawab pada akhir film dan jadi tamparan keras untuk penonton.

2. The Time That Remains (2009)

film The Time that Remains karya Elia Suleiman (dok. European Film Awards/The Time that Remains)

Ada banyak film yang menyenggol dan mengekspos penjajahan Israel atas Palestina, tetapi The Time That Remains bisa dibilang salah satu yang unik. Elia Suleiman memilih menggunakan pendekatan satire dengan humor deadpan untuk menggambarkan nasib orang-orang Palestina yang terusir dari rumah mereka sendiri. Dalam The Time That Remains, ia menggunakan cerita sebuah keluarga dari beberapa generasi sekaligus. Mulai dari sang kakek, ayah, dilanjut sang putra. Banyak momen ketika mereka ditekan dan berada dalam bahaya, tetapi ketimbang mengalah, aksi karakter-karakter utama dalam film ini justru melambangkan resistensi tiada batas.

3. The Nightingale (2018)

The Nightingale (dok. Causeway Films/The Nightingale)

Setelah merilis The Babadook, sutradara Jennifer Kent kembali dengan film antikolonialisme berjudul The Nightingale. Film ini ditulis dari perspektif Claire (Aisling Franciosi), orang Irlandia yang tinggal di Australia pada era kolonial Inggris. Satu hari, seorang tentara Inggris melecehkan dan membunuh suami serta bayinya. Dibutakan amarah, Claire bertekat membalas dendam dengan senjata curian. Di tengah jalan, ia bertemu pemuda pribumi yang berbagi kesengsaraan dengannya dan bersedia membantunya melancarkan misinya.

4. Let the River Flow (2023)

Let the River Flow (dok. Palace Films/Let the River Flow)

Let the River Flow bakal memperkenalkanmu kepada suku minoritas Sami di Norwegia. Film ini memakai perspektif Ester (Ella Marie Hætta Isaksen), guru muda yang bertahun-tahun didoktrin menyembunyikan identitas Sami-nya. Ketika dapat kesempatan berjejaring dengan sepupunya yang aktivis, Ester seperti tertampar. Ia menemukan dirinya terlibat dalam aksi protes menolak pembangunan yang bisa merusak ekosistem sungai warisan leluhur mereka.

5. Beans (2020)

Beans (dok. EMA Films/Beans)

Beans kurang lebih sama dengan film sebelumnya. Bedanya, ia berlatar salah satu kawasan reservasi di Quebec, Kanada yang ditinggali orang-orang pribumi dari etnik Mohawk. Fokusnya bocah SMP bernama Beans (Kiawentiio) yang keluarganya berhasil berasimilasi dengan warga mayoritas kulit putih di negeri itu.

Ia bahkan sempat akan dipindahkan ke sekolah di luar kawasan reservasi, sampai pertemuannya dengan salah satu kerabat mengubah semuanya. Si kerabat sedang sibuk berpartisipasi dalam sebuah aksi protes menolak pembangunan di tanah leluhur yang disakralkan. Ini membuat Beans dan keluarganya yang sempat tone-deaf merenungkan kembali keputusan dan pilihan hidup mereka.

6. Black Girl (1966)

Black Girl (dok. Janus Films/Black Girl)

Black Girl akan membawamu terbang ke Senegal beberapa tahun setelah kemerdekaan mereka dari Prancis. Meski berstatus negara merdeka, seperti yang terjadi di negeri sendiri, masih banyak masalah struktural yang perlu dibenahi. Termasuk tingginya angka pengangguran yang akhirnya membawa lakon kita, Diouana (Mbissine Thérèse Diop) menerima pekerjaan jadi ART untuk keluarga Prancis di Paris. Ia mengira hidupnya akan membaik, tetapi Diouana justru menemukan dirinya terkekang dan tetap jadi objek di rumah majikannya. Selain tak pernah punya waktu luang yang cukup, Diounana tak mampu melepaskan anggapan inferior yang melekat pada dirinya sebagai orang kulit hitam.

7. Songs My Brothers Taught Me (2015)

Songs My Brothers Taught Me (dok. Kino Lorber/Songs My Brothers Taught Me)

Songs My Brothers Taught Me adalah film debut Chloe Zhao yang bakal membuatmu mengamini bakatnya. Dalam karyanya itu, Zhao memotret dinamika kehidupan dua bocah pribumi yang tinggal di sebuah kawasan reservasi di South Dakota, Amerika Serikat. Mereka adalah Jashaun (Jashaun St. John) dan John (John Reddy). Satu hari, kabar kematian datang dari ayah mereka.

Dari situ, Jashaun belajar tentang ayah yang hampir tak pernah ditemuinya. Di sisi lain, John tak sabar menanti tanggal ia bisa pergi jauh dari kampung halaman yang terasa mencekiknya itu. Secara tak langsung, film ini memotret berbagai kerumitan hidup warga pribumi yang merupakan efek jangka panjang dari kolonialisme, seperti alkoholisme, kemiskinan, dan keterbatasan akses.

Mendekolonisasi tontonan bisa jadi bentuk komitmenmu memahami sejarah dan melatih kepekaanmu melihat dinamika global saat ini. Niscaya kamu bakal sadar betapa lekatnya hidup kita dengan kebijakan politik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team