Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Film yang Bakal Sadarkanmu agar Bekerja Secukupnya

film Clockwatchers
Clockwatchers (dok. Goldcrest Films/Clockwatchers)

Benarkah usaha selalu sebanding dengan hasil? Terlepas dari kepercayaan umum, ternyata jawabannya tidak selalu. Nyatanya dunia tidak pernah adil, cenderung kapitalis dan eksploitatif.

Kerja keras seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan yang didapat. Sebaliknya, ada pihak-pihak yang bisa dapat untung banyak tanpa harus bekerja segiat orang lain. Masih gak percaya? Coba tonton beberapa film berikut dan kamu mungkin akan sadar kalau bijaknya kita memang bekerja secukupnya saja.

1. Tokyo Sonata (2008)

Tokyo Sonata (dok. Django Film/Tokyo Sonata)
Tokyo Sonata (dok. Django Film/Tokyo Sonata)

Tokyo Sonata berlakonkan pekerja kantoran Jepang yang hidupnya lurus. Sampai satu hari, loyalitasnya kepada perusahaan yang menaunginya puluhan tahun tak ada artinya lagi. Posisinya digantikan pegawai baru yang lebih muda dan bersedia dibayar murah.

Selama beberapa bulan setelah PHK, si pria tak pernah memberi tahu keluarganya. Ia berpura-pura tetap pergi kerja tiap pagi dan baru pulang saat malam. Di sisi lain, hubungan keluarganya mulai memburuk. Terbongkar kalau selama ini sang ayah lebih memprioritaskan pekerjaan dan tak punya ikatan emosi dengan anak istrinya.

2. Clockwatchers (1997)

film Clockwatchers
Clockwatchers (dok. Goldcrest Films/Clockwatchers)

Clockwatchers berfokus pada pertemanan 4 pegawai kontrak di sebuah perusahaan perbankan. Nasib mereka miris: tak punya meja kerja tetap, sering tak dianggap, bergaji murah, dan tentunya tak punya kepastian. Pada satu hari, mereka justru dikejutkan dengan kehadiran seorang pegawai tetap baru.

Ini mereka lihat sebagai pengkhianatan karena seharusnya perusahaan mempertimbangkan mengangkat salah satu dari mereka dulu. Parahnya, beberapa kasus pencurian terjadi sejak kedatangan kartap baru itu, tetapi karyawan kontraklah yang dicurigai. Ini salah satu film underrated yang mengkritisi kultur kerja di Amerika Serikat sekaligus mempertemukan beberapa aktris berbakat macam Toni Colette, Lisa Kudrow, dan Parker Posey.

3. Clerks (1994)

Clerks (dok. Miramax/Clerks)
Clerks (dok. Miramax/Clerks)

Premis film Clerks sebenarnya sederhana, tetapi dialognya cukup nampol. Sesuai judulnya, film ini berkutat pada dua pegawai minimarket yang rutinitasnya monoton. Sembari sesekali bekerja, obrolan pun mengalir dari mulut mereka. Selain masalah-masalah personal, beberapa kekhawatiran dan kesadaran kalau mereka bisa digantikan alias dipecat kapan saja juga menyeruak.

Mereka juga mengeluhkan beberapa isu lain seperti minimnya kontrol, tetapi besarnya tanggung jawab dan risiko. Terutama soal pencurian, perampokan, dan manajemen yang toksik. Belum lagi pembeli yang resek dan menyebalkan. Dikemas dengan genre komedi, Clerks berhasil bikin penonton mengamini keresahan-keresahan para pekerja yang berada di hierarki terbawah. Bikin kita melihat dunia dengan cara pandang baru.

4. Office Space (1999)

film Office Space
Office Space (dok. IFC Films/Office Space)

Berlabel cult-classic, Office Space jadi semacam film wajib ditonton ketika kamu suntuk bekerja. Namun, hati-hati, bisa jadi film ini justru memicu trauma karena banyak karakter yang bakal mengingatkanmu pada hal-hal buruk di tempat kerja. Seperti bos micromanager yang bikin gereget, meja kerja dengan sekat yang bikin klaustrofobik sampai berbagai politik kantor yang memuakkan.

Satu hari, saking kesalnya, tiga pegawai perusahan teknologi nekat merencanakan serangan siber ke sistem kantor. Namun, rencana mereka ternyata gak berjalan sesuai rencana awal. Film ini jadi memang kurang berhasil pada awal penayangannya, tetapi belakangan dapat banyak pujian karena akurasinya. Tertarik nonton?

5. Falling Down (1993)

film Falling Down
Falling Down (dok. Warner Bros/Falling Down)

Falling Down adalah film yang mengambil contoh ekstrem dari parahnya dampak ekspektasi sosial yang bikin seseorang burnout dan akhirnya melakukan hal nekat. Film garapan Joel Schumacher (The Lost Boys, Phone Booth, The Phantom of Opera) ini terkonsentrasi pada sosok pria bernama William (Michael Douglas) yang kehidupan personal dan profesionalnya hancur seketika.

Pernikahannya di ambang perceraian dan ia dipecat dari pekerjaannya. Parahnya, setelah dipecat, ia terjebak macet dan masih harus berurusan dengan orang-orang menyebalkan sepanjang hari itu. Berbagai ketidaknyamanan itu perlahan membuat darahnya mendidih dan ia mulai melakukan aksi nekat untuk meluapkan amarahnya. Meski premisnya menarik, isu kapitalismenya juga masuk, beberapa menyayangkan cara Schumacher memotret kelompok-kelompok minoritas di film ini.

Film memang bukan sesuatu yang harus diyakini tanpa filter, tetapi beberapa elemen dalam film-film tadi rasanya ada benarnya juga. Pada akhirnya, kita hanya sosok yang mudah tergantikan di tempat kerja. Pergeseran fokus perlu dilakukan. Ubah kata-kata feodal seperti “mengabdi” dan “setia” dengan “profesional” dan “secukupnya”. Jangan lupa pula mengembangkan skill dan ilmu untuk diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us

Latest in Hype

See More

Daftar Nominasi Festival Film Indonesia 2025

19 Okt 2025, 23:02 WIBHype