Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
adegan dalam film 28 Years Later. (dok. Columbia Pictures/28 Years Later)

Setelah penantian panjang, 28 Years Later (2025) akhirnya tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (18/6/2025). Film ketiga dalam waralaba zombi karya Danny Boyle ini menghadirkan kisah baru berlatar pulau terpencil, di mana seorang anak bernama Spike (Alfie Williams) mulai mempertanyakan batasan dunianya. Dengan skor 89 persen di Rotten Tomatoes, film ini langsung mencuri perhatian karena kualitasnya yang melampaui ekspektasi.

Salah satu kekuatan 28 Years Later terletak pada pendekatan filosofis yang disisipkan di balik narasi survival-nya. Boyle tak sekadar menampilkan kengerian zombi, tapi juga menyuguhkan refleksi mendalam tentang pertumbuhan diri serta makna kehidupan dan kematian. Film ini pun mengajak penonton merenungkan betapa rapuhnya batas antara harapan dan keputusasaan lewat karakter-karakternya.

Jika kamu suka pendekatan filosofis seperti yang dihadirkan 28 Years Later, kamu pasti bakal tertarik dengan film-film zombi lainnya yang tak kalah mendalam. Bukan cuma menyuguhkan aksi dan ketegangan, film-film ini juga mengangkat isu eksistensial, moralitas, hingga identitas manusia dalam situasi ekstrem. Berikut enam rekomendasi film zombi yang bakal bikin kamu berpikir sekaligus menjerit ketakutan!

1. Pontypool (2008)

adegan dalam film Pontypool. (dok. Maple Pictures/Pontypool)

Disutradarai oleh Bruce McDonald, Pontypool adalah film zombi yang mayoritas hanya berlatar di satu ruang siaran radio kecil. Film ini juga minim adegan aksi brutal atau serbuan zombi layaknya film sejenis kebanyakan. Namun, di balik presentasinya yang sederhana, Pontypool menyimpan ide filosofis yang begitu dalam tentang bahasa dan komunikasi.

Ceritanya mengikuti Grant Mazzy (Stephen McHattie), penyiar radio lokal yang tengah siaran pagi di kota kecil Pontypool, Kanada. Hari itu tampaknya berjalan seperti biasa, sampai laporan tentang kekacauan dan kerusuhan mulai masuk dari luar sana. Lewat suara-suara dari narasumber di lapangan, Mazzy perlahan menyadari bahwa sesuatu yang mengerikan tengah menyebar.

Alih-alih menjadikan gigitan sebagai sumber infeksi, di sini, virus tersebar lewat kata-kata dalam bahasa Inggris. Orang-orang yang terinfeksi mulai kehilangan makna dari kata-kata, terjebak dalam pengulangan satu frasa, lalu mengalami delusi hingga menjadi agresif. Di era yang penuh disinformasi seperti sekarang, gagasan tentang bagaimana komunikasi yang kacau bisa menghancurkan tatanan sosial ini tentu terasa sangat relevan.

2. The Girl with All the Gifts (2016)

adegan dalam film The Girl with All the Gifts. (dok. Warner Bros. Pictures/The Girl with All the Gifts)

Selanjutnya, ada film zombi asal Inggris bertajuk The Girl with All the Gifts. Film ini mengisahkan dunia yang dilanda infeksi jamur mematikan yang mengubah manusia menjadi “hungries” alias makhluk haus daging. Pusat ceritanya terletak pada seorang gadis kecil bernama Melanie yang, meski terinfeksi, masih memiliki kesadaran, kecerdasan, dan empati.

Melanie tinggal di fasilitas militer bawah tanah bersama anak-anak lain yang juga terinfeksi. Diperlakukan seperti monster berbahaya, mereka dikurung, dibelenggu, dan diberi makan ulat hidup oleh para tentara. Namun, semua berubah saat markas tersebut diserang oleh para hungries generasi pertama.

Di balik aksi dan ketegangan, The Girl with All the Gifts menghadirkan pertanyaan mendalam tentang apa arti menjadi manusia. Apakah empati dan cinta cukup untuk mendefinisikan kemanusiaan, atau justru ketakutanlah yang membuat manusia kehilangan sisi manusianya? Lewat tokoh Melanie, film ini menantang kita untuk berpikir di luar konsep “siapa yang benar” dan “siapa yang pantas bertahan”.

3. Cargo (2017)

adegan dalam film Cargo. (dok. Netflix/Cargo)

Jika sineas spesialis drama kontemplatif seperti Kenneth Lonergan atau Hirokazu Koreeda membuat film zombi, mungkin hasilnya akan terasa seperti Cargo. Film ini bukan soal pelarian dari kejaran mayat hidup atau gore yang tak berkesudahan. Sebaliknya, Cargo memilih jalur yang lebih hening, intim, dan menyayat hati lewat kisah seorang ayah yang berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan putrinya.

Berlatar di pedalaman Australia yang gersang, Cargo mengikuti Andy (Martin Freeman), pria yang terinfeksi virus zombi saat mencoba bertahan hidup bersama keluarganya. Andy hanya punya waktu 48 jam sebelum ia kehilangan kendali atas tubuhnya. Dalam waktu yang tersisa, Andy berjuang mempertahankan kewarasannya sambil mencari tempat aman bagi bayinya, Rosie.

Meski zombi tetap hadir sebagai ancaman nyata, Cargo lebih fokus mengeksplorasi sisi emosional dari perjuangan bertahan hidup. Perjalanan Andy bagaikan fase tentang menjadi orang tua, mulai dari bagaimana merawat, melindungi, dan akhirnya melepaskan. Sebagai Andy, Freeman berhasil menerjemahkan semua itu lewat performa yang sangat autentik.

4. Train to Busan (2016)

adegan dalam film Train to Busan. (dok. Next Entertainment World/Train to Busan)

Bicara soal film zombi yang sarat makna, tentu tak lengkap tanpa menyebut Train to Busan. Film garapan Yeon Sang Ho ini berpusat pada Seok Woo (Gong Yoo), pria yang terlalu sibuk bekerja hingga hubungannya dengan sang putri, Su An, mulai renggang. Saat mengantar Su An ke Busan dengan kereta cepat, situasi berubah drastis ketika wabah zombi mendadak menyebar di seluruh negeri, termasuk di dalam kereta mereka.

Seperti Cargo, Train to Busan memang mengangkat hubungan keluarga sebagai inti cerita. Namun, film ini memperluas cakupan temanya dengan menyoroti respons manusia saat menghadapi krisis ekstrem. Dari yang rela berkorban hingga yang tega mengorbankan orang lain demi diri sendiri, setiap karakter mewakili sikap manusia yang berbeda.

Misalnya, Seok Woo yang awalnya digambarkan egois, perlahan berubah menjadi sosok ayah yang penuh empati. Ada pula karakter-karakter seperti CEO yang arogan dan tunawisma yang menunjukkan belas kasih saat orang lain menutup diri. Lewat drama khas Korea, Train to Busan membuktikan bahwa kisah zombi bisa tampil mengerikan dan penuh kritik sosial di saat yang bersamaan.

5. I Am a Hero (2015)

adegan dalam film I Am a Hero. (dok. Toho/I Am a Hero)

Tak hanya Train to Busan, dari Asia, ada I Am a Hero yang juga wajib masuk daftar tontonanmu. Film Jepang adaptasi manga karya Kengo Hanazawa ini mengikuti Hideo Suzuki, asisten mangaka yang hidupnya stagnan dan dipenuhi keraguan. Namun, ketika wabah zombi menyerang Jepang, Hideo terpaksa keluar dari zona nyamannya dan menghadapi dunia yang penuh kekacauan dan kematian.

Yang membedakan film arahan Shinsuke Sato ini dari film zombi lainnya adalah pendekatannya yang karakter-sentris dan filosofis. Alih-alih hanya mengandalkan aksi nonstop, film ini fokus pada transformasi psikologis Hideo dari pria pengecut menjadi sosok yang berani melindungi orang lain. Perjalanannya penuh dilema moral, ketakutan, hingga momen kontemplatif tentang apa arti menjadi "pahlawan" dalam situasi ekstrem.

Di sisi lain, I Am a Hero juga tampil gila-gilaan dalam urusan visual. Gore-nya tak tanggung-tanggung, begitu pun dengan desain zombinya yang unik. Beberapa mayat hidup bahkan tampak seperti “peranakan” mimpi buruk Junji Ito dan Salvador Dalí: aneh, tak masuk akal, dan sangat, sangat mengganggu!

6. Day of the Dead (1985)

adegan dalam film Day of the Dead. (dok. Laurel Entertainment/Day of the Dead)

Bagi penggemar film zombi, nama George A. Romero tentu sudah akrab di telinga. Beliau adalah pionir subgenre zombi modern yang dikenal suka menyelipkan kritik sosial dalam karya-karyanya, khususnya waralaba Night of the Living Dead. Selaku film ketiga dalam serinya, Day of the Dead bisa dibilang merupakan film yang paling kelam dan penuh muatan filosofis.

Day of the Dead berlatar di sebuah bunker militer bawah tanah setelah peradaban hancur akibat wabah zombi. Sekelompok ilmuwan dan tentara yang tersisa terlibat konflik internal yang semakin memanas. Sarah (Lori Cardille), satu-satunya tokoh wanita, berjuang menjembatani dua kubu ini, sementara mereka semua perlahan-lahan terjebak dalam kegilaan.

Salah satu aspek paling filosofis dari film ini hadir lewat karakter Bub, zombi “jinak” hasil eksperimen mereka. Bub menunjukkan kemampuan mengenali wajah, memberi hormat, bahkan mendengarkan musik. Melalui Bub, Romero mempertanyakan kembali batas antara manusia dan monster, serta membuka ruang diskusi soal siapa sebenarnya yang lebih biadab.

Day of the Dead juga menggambarkan bagaimana kekuasaan yang tak terkendali bisa memicu kekacauan. Para penguasa yang berubah menjadi agresif, misoginis, dan kehilangan empati menunjukkan bahwa kehancuran peradaban tak semata karena zombi, tapi karena manusia sendiri. Bukankah potret suram tersebut masih terjadi hingga hari ini?

Dari Pontypool yang bikin mikir soal efek komunikasi hingga Day of the Dead yang mengkritik penguasa, keenam film zombi ini bukan cuma menyajikan teror mayat hidup. Lebih dari itu, mereka mengajak kita berpikir lebih dalam tentang kemanusiaan, moralitas, dan makna bertahan hidup di tengah kekacauan. Jadi, sudah siap menjerit sekaligus merenung saat menontonnya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team