Berbagi Cerita di Balik Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Film ini berhasil menang di Locarno Film Festival, Swiss!

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas berhasil menorehkan prestasi di kancah internasional. Pada 14 Agustus 2021, film adaptasi dari novel berjudul sama ini mendapat penghargaan sebagai film terbaik dari Festival Film Locarno di Swiss. Piala Golden Leopard berhasil diperoleh di tangan. Bahkan, sutradara film ini, Edwin sudah menamai piala tersebut menjadi Si Mantul (Macan Tutul).

Prestasi ini tidak lepas dari baiknya pembuatan film ini. Terutama, jalan cerita yang mengakar pada budaya machismo di Indonesia. Lalu, apa saja cerita dari film dari Palari Film ini? Berikut kisahnya.

1. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas jadi film Indonesia pertama yang berhasil memperoleh penghargaan di Festival Film Locarno

https://www.youtube.com/embed/ea_fGeHew2M

Pada menit 54:45 dari video di atas, kamu akan melihat kerja keras kru dan pemain terbayar saat judul filmnya disebut oleh tim juri sebagai film terbaik di festival tersebut. Sebagai bentuk industri budaya, film ini berhasil menunjukkan kalau kualitas film di Indonesia mampu bersaing di ranah internasional.

Kebahagiaan ini juga seakan merangkum apresiasi yang pemain dapatkan saat penayangan film di festival tersebut. Marthino Lio, pemeran Ajo Kawir mengaku bangga saat dirinya bertemu dengan penonton film SDRHDT dan menyambut girang dirinya. "Unbelieveable bisa berada di sana," ujar Lio.

2. SDRHDT Berlatar 80-an dengan masalah masa kini

Berbagi Cerita di Balik Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar TuntasCuplikan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (dok. Palari Films)

Tidak ada konteks baku dari novel yang menjelaskan latar cerita ini berada di era 80-an. Namun, Edwin menyampaikan kalau dari novel sudah tersirat kondisi Orde Baru, pengaruh serial Kungfu, dan nuansa pop jadul. Edwin juga menyebut dirinya banyak terpengaruh dari budaya pada era itu.

Sekalipun begitu, Edwin menilai masalah yang dibahas di dalam film yang syuting di Rembang, Jawa Tengah ini sangat kekinian. Latar retro 80-an dan segala masalahnya terasa relate bila dibawa dengan konteks saat ini.

3. Film ini bisa menjawab pertanyaan "laki-laki masa nangis, sih?"

Berbagi Cerita di Balik Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar TuntasPotongan gambar dari film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (dok. Palari Films)

Keutuhan bahan riset film ini berasal dari novel karangan Eka Kurniawan. Masalah yang digambarkan bukan sesuatu yang mengada-ada. Sutradara film ini mengatakan kalau budaya kita memang kental dengan machismo atau machoisme. Edwin menambahkan kalau proses penulisan skrip diusahakan agar masalah ini dapat dibuat universal agar bisa ditangkap oleh khalayak umum. 

Sesederhana melarang laki-laki menangis sudah menjadi bentuk pembatasan berekspresi karena tatanan sosial tradisional. Mengutip Yayasan Pulih, tindakan seperti ini bisa menjadi bentuk toxic masculinity. Laki-laki harus digambarkan sebagai sosok kuat dan tangguh dan tidak baik untuk menunjukkan tangisan. Padahal, menangis merupakan salah satu bentuk berekspresi.

4. Filmnya masih mau jalan-jalan dulu sebelum tayang di dalam negeri

Berbagi Cerita di Balik Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar TuntasPotongan gambar film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (dok. Palari Films)

Strategi distribusi film SDRHDT mengutamakan premiere yang ada di festival-festival. Pola ini mereka pakai agar dapat memetakan target distribusi secara internasional. Tidak hanya itu, Meiske Taurisia, produser film ini mengatakan masih ingin mencari partner distributor di tingkat internasional terlebih dahulu.

Setelah eksis di pasar Eropa, mereka sudah memiliki capaian selanjutnya. Salah satunya, Toronto International Film Festival (TIFF). Meiske dan tim masih mau mencari tahu pasar film ini di area Amerika Utara. 

4. Latar musik film yang dimaknai secara imajinatif

https://www.youtube.com/embed/fqvWIaGo3Y4

Komposer musik film SDRHDT, Dave Lumenta mengatakan kalau dirinya memasukkan dangdut imajiner di film ini. dave memaknai film ini sebagai fiksi, sehingga tidak ada keterikatan budaya yang harus diwakilkan secara utuh. Dangdut imajiner yang Dave rancang merupakan hasil gabungan dangdut 80-an dan campur sari.

"Interpretasinya bebas, karena ini film fiksi," kata Dave

Selain itu, dirinya berusaha memberikan kontradiksi melalui musik yang dimainkan. Film yang menggambarkan maskulinitas ini dihiasi dengan musik bertema melankolis. Nah, bagaimana coba membayangkannya?

Penghargaan ini bisa membuat kita berbangga. Karena tidak hanya Indonesia mampu membuat karya indah, namun bisa pula menjadi penanda semakin baiknya kualitas film bagi penonton lokal. Mulai penasaran caranya nonton Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas? Sabar, ya. Sedikit bocoran dari Meiske, pihaknya mengusahakan untuk bisa menayangkan film ini di dalam negeri pada akhir tahun ini, lho.

Topik:

  • Triadanti

Berita Terkini Lainnya