ilustrasi musisi bermain gitar (unsplash.com/jefflssantos)
Dharma menyebut, satu-satunya solusi bagi pemilik kafe atau UMKM yang memutar musik karya orang lain di ruang publik, hanya dengan cara membayar royalti. Atau, memakai lagu bebas lisensi hingga ciptaan sendiri. Ia menegaskan, memakai suara alam, yang belakangan ini juga jadi sorotan, juga diperbolehkan. Dengan syarat, suara alam itu merupakan karya original. Bukan karya orang atau musisi lain yang sudah diubah sedemikian rupa menjadi satu karya kreatif.
"Suara burung harus bayar royalti, ya bayar royalti kalau rekaman itu ada fiksasinya. Kalau rekaman suara burung itu ada formulasi kreatifnya, direkam lalu diolah menjadi satu harmoni, nah, itu yang membuat adanya hak cipta," tutur Dharma.
Dharma mengimbau agar pemilik kafe, restoran maupun UMKM gak perlu khawatir. Sebab, menurutnya, LMKN telah membuat tarif yang sebisa mungkin tidak merugikan pelaku usaha.
Ia merinci secara detail bahwa tarif royalti untuk satu kursi di sebuah kafe atau restoran, yaitu Rp120 ribu per tahunnya. Jadi, jika sebuah kafe memiliki 10 kursi di dalamnya, royalti yang harus dibayar adalah Rp1,2 juta per tahun. Royalti itu berlaku bukan hanya untuk pemutaran lagu via Spotify atau YouTube, melainkan pemutaran lagu dari media lain termasuk jika ada penampil memainkannya secara live.
"Misalnya dia mau mainkan 1 juta lagu dia mau putar, dia mau live music di situ, ya silakan, satu tahun cuma bayar segitu. Dia mau putar lagu apa pun, mau lagu tradisi, lagu dari India, lagu Jepang, lagu China, lagu bahasa Inggris, apa pun silakan," tuturnya.
Meski mengaku LMKN memiliki cara untuk melakukan pemantauan, Dharma mengimbau pelaku usaha yang memutar musik karya orang lain di ruang publik untuk mandiri membayar royalti melalui website LMKN.