Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Kekurangan Live Action Avatar: The Last Airbender di Netflix

Aang dalam Avatar: The Last Airbender. (dok. Netflix/Avatar: The Last Airbender)

Serial live action Avatar: The Last Airbender (2024) yang dirilis di Netflix tengah jadi sorotan. Seri adaptasi ini menuai banyak pujian karena mampu menghidupkan kartun Avatar: The Last Airbender (2005—2008) dengan spektakuler. Ini terutama dalam hal pemilihan peran yang sangat cocok dengan karakter versi animasinya.

Namun, serial ini juga bukan tanpa kekurangan. Ada beberapa hal yang dirasa masih kurang pas pada adaptasi live action ini. Berikut ini adalah empat kekurangan dari live action Avatar: The Last Airbender yang harus kamu tahu!

1. Pada episode awal, alurnya terlalu penuh karena banyak yang harus dijelaskan

Kebangkitan Avatar menjadi awal kisah ini. (dok. Netflix/Avatar: The Last Airbender)

Sudah lumrah jika adaptasi live action selalu meringkas dan memodifikasi alur cerita menyesuaikan jumlah episode yang dimiliki. Adaptasi live action Avatar: The Last Airbender ini tentu tidak mungkin bisa mengadaptasi keseluruhan episode dari tiga musim versi kartun. Itu karena jumlahnya mencapai 61 episode.

Episode awal dari serial ini yang terdampak. Alur cerita jadi berjalan terlalu cepat dan padat. Namun, menjelang pertengahan menuju akhir, laju alurnya sudah mulai pas dan enjoyable. Pada akhirnya, delapan episode terasa kurang untuk mengover seluruh cerita yang hendak disampaikan. Namun, musim perdana ini diakhiri dengan fondasi solid untuk perkembangan pada musim kedua nantinya.

2. Beberapa efek CGI terasa kaku dan kurang natural

CGI untuk waterbender terlihat kurang natural. (dok. Netflix/Avatar: The Last Airbender)

Secara keseluruhan, efek visual dari serial ini sudah sangat bagus. Namun, masih ada beberapa adegan yang menggunakan teknologi CGI dengan kurang maksimal dan konsisten. Earthbending dan firebending, misalnya, punya efek yang sangat memukau. Namun, waterbending dan airbending terlihat kurang natural.

Pada duel Katara melawan Master Pakku pada episode tujuh, misalnya, adegannya mencoba meniru versi kartun. Namun, eksekusinya kurang oke. Efek air dan es masih terlihat terlalu artifisial seperti sebuah kartun tiga dimensi. Bagaimanapun, kita tidak bisa mengharapkan kualitas setara film untuk sebuah serial yang memiliki anggaran di bawahnya. Serial ini juga lebih berfokus dengan koreografi bela diri yang bagus banget. Jadi, sedikit kekurangan pada special effect tidak banyak berpengaruh.

3. Terlalu banyak subplot dan karakter sehingga alur terasa penuh sesak

Perkembangan karakter Aang, Katara, dan Sokka kurang dalam. (dok. Netflix/Avatar: The Last Airbender)

Keputusan pihak studio untuk menampilkan sebanyak mungkin karakter pada musim perdana terasa kurang pas. Avatar: The Last Airbender ini menggabungkan berbagai episode dari tiga musim kartunnya ke dalam 8 episode yang tiap episodenya berdurasi kurang lebih 1 jam. Tiap episode kadang mengadaptasi 3 sampai 4 episode dari musim berbeda. Hal ini membuat serial ini terasa penuh sesak.

Dikenalkannya banyak karakter secara bersamaan juga membuat perkembangan karakter mereka menjadi tidak maksimal. Bahkan, perkembangan karakter Aang, Katara, dan Sokka terasa masih kurang. Seharusnya, musim perdana ini memfokuskan cerita kepada trio karakter utama dan Zuko saja. Untuk karakter penting lain yang tidak perlu muncul pada awal serial ini cukup jadi kameo untuk ditampilkan pada musim kedua nantinya.

4. Hilangnya vibes humor yang hangat

adegan humor di kartun Avatar (dok. Nickelodeon Animation Studio/Avatar: The Last Airbender)

Meski termasuk adaptasi yang faithful, ada perubahan yang cukup terasa pada live action Avatar: The Last Airbender ini. Ia mengubah suasana cerita menjadi lebih grounded, serius, kelam, dan berorientasi ke penonton dewasa. Tidak ada lagi vibes humor hangat ala kartun anak-anak pada live action ini. Padahal, humor adalah salah satu nilai plus dari cerita Avatar: The Last Airbender.

Hal ini sangat disayangkan. Aang pada versi kartun sangat jenaka, suka bermain, dan sering melupakan tanggung jawabnya sebagai Avatar. Hal itu membuat ia terasa lebih manusiawi. Versi live action seperti memaksakan anak-anak ini untuk tumbuh dewasa dan menerima realitas perang. Sokka, Paman Iroh, bahkan Zuko juga kehilangan selera humor ikonik mereka. Meski humor pencair suasana masih ada, itu tidak sebanding dengan versi orisinal.

Meski memiliki beberapa kelemahan, baik dari segi visual maupun alurnya, Avatar: The Last Airbender (2024) masih menjadi adaptasi yang solid. Ia membawa suasana baru dengan karakter yang sangat menjiwai perannya. Saran saja, nih, ada baiknya kamu menonton live action ini sebagai sebuah cerita alternatif tanpa membandingkan dengan versi kartun, sih.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us